Manado di Sulawesi Utara merupakan daerah rawan bencana. Secara geologi, kota ini terletak di pertemuan lempeng Australia dan lempeng Pasifik.
Posisi Manado langsung berhadapan dengan Samudera Pasifik, menjadikannya juga rawan akan gelombang tsunami. Sejarah membuktikan, bahwa pada 1844, Manado diratakan oleh gempa bumi, sehingga pemerintah Belanda mendesain ulang kota ini dari awal.
Belanda mendesain Manado layaknya rumah-rumah bangunan bergaya Indis, yaitu perpaduan Eropa dan tropis. Bangunan Indis ini memiliki halaman luas, dengan banyak pohon di halaman. Bangunan Indis nampak terlihat pada gedung perkantoran, gereja, sekolah, rumah orang Belanda dan fasilitas publik lainnya. Sedangkan untuk penduduk asli, berupa rumah tradisional panggung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Empat belas tahun kemudian, ilmuwan Inggris ternama, Alfred Russel Wallace mengunjungi Manado dan mendeskripsikannya sebagai 'salah satu yang tercantik di Timur'. Predikat ini perlu dikembalikan lagi, seperti diketahui di awal tahun, biasanya curah hujan di Manado sangat tinggi dan begitu pula dengan gelombang laut juga tinggi.
Sejak tahun 2012, Manado mengembangkan Kota Model Ekowisata, jadi perlu lebih digalakkan lagi penghijauan di Manado, perlu penataan ulang, bukit-bukit yang sudah berubah fungsi sebagai pemukiman perlu dihijaukan lagi, dan penghentian perizinan alih fungsi lahan bukit atau lembah sekitar sungai jadi pemukiman.
Kawasan Megamas Manado yang setiap awal tahun dihantam banjir rob dan gelombang pasang, solusinya adalah penghijauan dan penanaman kembali mangrove. Untuk itu, mangrove ini diharapkan akan melindungi garis pantai, akar tumbuhan ini sangat kuat, sehingga mampu meredam gelombang besar termasuk tsunami.
---
Hari Suroto, peneliti Balai Arkeologi Papua
(elk/ddn)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum