Air pada pukul 16.00 WIB, hari Senin (22/2) masih menggenangi kampung Benteng atau Kampung Cina yang berada di sekitaran Kelenteng Sian Djin Ku Poh di Desa Tanjungmekar, Kecamatan Karawang Barat dengan ketinggian air sekitar 40 centimeter atau betis ukuran orang dewasa.
Tampak puluhan lilin berserakan akibat terjangan banjir luapan Sungai Citarum, dan Cibeet. Lilin kecil mengambang sebagian, dan yang besar tergeletak di gerbang pintu masuk kelentengnya.
Saat mencoba melihat lebih dalam, di ruang tengah, seorang lelaki berumur 65 tahun sibuk membersihkan altar peribadatan yang sebagiannya tertutup lumpur bekas banjir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Abah Yung An (65) sang penjaga kelenteng yang tetap tegar meski bekerja membersihkan kelenteng seorang diri.
"Ini sudah tugas saya, menjaga, dan merawat kelenteng ini," tuturnya sembari mengayunkan ember berisi air ke meja altar.
![]() |
Ia juga bercerita, banjir tahun ini lebih besar dibanding tahun 2010. Pada tahun 2010 silam, ketinggian air hanya sebatas pinggang orang dewasa, atau sekitar satu meter. Namun tahun ini, air merendam semua bangunan.
"Semua patung Dewa Penguasa Alam (Sam Kwan Tay Tee) terendam, dan semua berantakan," tutur si lelaki yang rambutnya mulai memutih keseluruhan.
Sebelumnya, Kelenteng Sian Djin Ku Poh terendam 3 hari lalu, hal tersebut diungkapkan oleh Ketua RW 07, Desa Tanjungmekar, Kecamatan Karawang Barat, Setiawan saat dihubungi lewat telepon.
"Kelenteng Sian Djin Ku Poh itu mulai terendam sejak hari Jumat siang, dengan ketinggian sampai 2 meter lebih," ujarnya.
Ia menambahkan, warga sekitar kelenteng pun ada sekitar 260 kepala keluarga mengungsi mandiri ke tempat aman.
"Tahun ini air begitu besar menerjang wilayah Kelenteng Sian Djin Ku Poh, tapi kami yakin bisa melewati musibah ini dengan kuat, dan tegar," tandasnya.
Sementara itu, dari beberapa sumber yang dikumpulkan, Kelenteng Sian Djin Ku Poh ini merupakan bukti sejarah bagi keberadaan etnis Tionghoa di Karawang
![]() |
Sejarah Kelenteng Sian Djin Ku Poh
Kelenteng Sian Djin Ku Poh yang terletak di Desa Tanjungmekar, Kecamatan Karawang Barat, Jawa Barat merupakan klenteng yang memiliki nilai sejarah bagi keberadaan etnis Tiong Hoa di Kabupaten Karawang.
Dalam buku yang ditulis oleh Her Suganda, berjudul "Kisah Para Preanger Planter" terungkap dalam kisah pemberontakan Tionghoa Makau tahun 1832 di wilayah Jawa Barat, atau dikenal di masa kolonial adalah wilayah priangan.
Peristiwa pemberontakan itu terjadi di wilayah Wanayasa, Kabupaten Purwakarta. Bermula karena perlakuan tidak manusiawi oleh tentara VOC terhadap para pekerja perkebunan teh Tionghoa Makau, terjadilah pertempuran besar pada tanggal 10 Mei 1832. Pengawas perkebunan teh Wanayasa yang bernama Sheper Leau dibunuh dengan sadis oleh pemberontak Tionghoa.
Bukan hanya itu, Komandan pasukan artileri Belanda, Christian Heinrich Macklot ikut menjadi korban. Kedua korban pemberontakan tersebut dianggap begitu kejam oleh Tionghoa Makau, hingga keduanya menjadi target dalam pertempuran. Bahkan pertempuran besar tersebut telah menjadi nama tempat di Purwakarta, yang bernama Rancadarah atau dalam artian bahasa Indonesia adalah rawa yang dipenuhi darah.
Kejadian tersebut juga dituliskan oleh budayawan, dan sejarawan Purwakarta yakni Budi Rahayu Tamsyah yang berjudul "Rintisan Penelusuran Sejarah Wanayasa". Pertempuran sengit tersebut tidak berakhir di Purwakarta, melainkan terus melebar menuju Tanjungpura, Karawang. Mereka para pemberontak menyebarkan teror ketakutan kepada masyarakat, dan juga pemerintah kolonial.
Hingga kemudian, Belanda mengirim pasukan yang dipimpin Alibasah Sentot Prawirodirjo, mantan senapati pasukan Pangeran Diponegoro. Pemberontakan orang-orang Tionghoa Makau dari Purwakarta tersebut dikenal dengan "Karaman Tiongkok Karawang".
Sebuah legenda yang tersisa dijumpai dalam riwayat berdirinya Kelenteng Sian Djin Ku Poh ini terdapat kuburan massal yang dipercaya sebagai kuburan orang-orang Tionghoa Makau. Kuburan massal ini pertama kali ditemukan oleh para imigran Tiongkok yang dipimpin oleh Khouw Sie Le.
Rombongan tersebut terdiri dari tiga marga, masing- masing berasal dari marga (she) Lauw, Tjiong/Chang, dan Khouw. Mereka berlayar meninggalkan negeri karena tekanan situasi keamanan akibat perebutan kekuasaan. Hingga akhirnya mendarat di laut Jawa, dan menyusuri Sungai Citarum kemudian mendarat di daerah yang dinamakan Tanjungpura yang kini berada di Desa Tanjungmekar.
Namun, pada saat melakukan pemeriksaan daerah sekitar, rombongan tersebut menemukan lubang besar menyerupai sumur. Dan ternyata ditemukan banyak kerangka manusia dengan jumlah banyak.
Singkat kisah, dibuat lah kelenteng Sian Djin Ku Poh, yang di dalamnya terdapat bangunan yang bertuliskan Ban Lin Tan atau Wan Kin Jung. Nama bangunan itu mengacu pada kerangka-kerangka manusia yang dikuburkan di sana. Saking banyaknya, jumlahnya ditaksir mencapai ribuan, atau bahkan puluhan ribu. Dalam dialek Hokian disebut "ban" yang artinya sama dengan puluhan ribu.
(sym/ddn)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Viral Keluhan Traveler soal Parkir Jakarta Fair 2025: Chaos!