Desa Trunyan dan Tradisi Sakral Kematian yang Masih Lestari

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Desa Trunyan dan Tradisi Sakral Kematian yang Masih Lestari

Abu Ubaidillah - detikTravel
Senin, 03 Mei 2021 21:35 WIB
Desa Trunyan
Foto: CXO Media
Jakarta -

Membicarakan tradisi dan kebudayaan di Indonesia, tentunya tak akan ada habisnya. Kebudayaan dan tradisi bangsa ini layaknya harta peninggalan yang tak akan pernah habis seumur hidup, meski sudah banyak tradisi yang kemudian termodernisasi, tapi tentu saja jauh lebih banyak lagi tradisi yang lestari dan terjaga kesakralannya. Uniknya tradisi di Indonesia tidak hanya berafiliasi pada yang hidup atau benda-benda peninggalan, tetapi juga pada yang mati.

Salah satu tradisi yang berkaitan dengan kematian dan masih sangat kental terpelihara yaitu tradisi kematian di Desa Trunyan, Bali. Desa Trunyan ialah desa tertua di Pulau Dewata. Ada kepercayaan yang beredar mengenai desa ini, mereka, setidaknya orang-orang di Desa Trunyan, percaya bahwa leluhur mereka adalah manusia yang langsung turun dari langit untuk memberikan kehidupan di desa Trunyan tanpa kontaminasi adat mana pun.

Berbicara soal kematian di Desa Trunyan, mereka memiliki sebuah tradisi yang masih kental yang disebut tradisi mepasah. Tradisi pemakaman atau mepasah sangatlah berbeda dengan tradisi pemakaman pada umumnya. Di Desa Trunyan, mayat tidak dikubur atau dibakar melainkan diletakkan di atas tanah dan dibiarkan membusuk di bawah udara terbuka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Desa Trunyan terletak di Kintamani, Bali. Desanya berada di ujung jalan dan diapit di antara Gunung Batur dan Danau Batur. Mata pencaharian orang-orang di sana kebanyakan adalah petani dan nelayan. Meskipun kepercayaan Hindu di Trunyan sama, namun adat, budaya, dan tradisinya sangat jauh berbeda dari masyarakat Bali pada umumnya. Contohnya pemakaman yang disebut mepasah tadi. Untuk menuju ke tempat pemakamannya, kita harus menyeberangi Danau Batur menggunakan sampan atau perahu baik manual maupun bermesin. Jarak dari desa ke tempat pemakaman sekitar 10 menit perjalanan perahu mesin.

Di tempat pemakaman Desa Trunyan, masyarakat hanya boleh memakamkan maksimal 11 jenazah di sana, boleh kurang, namun tidak boleh lebih dari jumlah tersebut. Tergeletak di atas tanah, mayat-mayat di sana dibalut pakaian mereka selama hidup dan ditutup dengan ancak saji yaitu potongan bambu yang disusun membentuk kerucut seperti pagar. Jika 11 makam sudah terisi semua namun ada jenazah baru yang harus dimakamkan, maka salah satu mayat terlama dari 11 makam tersebut harus diangkat dan dipindahkan keluar ancak saji dan dibiarkan membusuk.

ADVERTISEMENT

Di Desa Trunyan, sebenarnya terdapat tiga pemakaman di antaranya Seme Wayah, Seme Ngude, dan Seme Bantas. Seme Wayah adalah tempat pemakaman bagi orang yang meninggal secara wajar, Seme Ngude adalah pemakaman untuk orang-orang yang belum menikah dan bayi, sedangkan Seme Bantas adalah pemakaman untuk orang-orang yang meninggalnya tidak wajar menurut orang sana, misalnya kecelakaan dan bunuh diri.

Di pemakaman Desa Trunyan ini, wanita dilarang berkunjung atau berziarah. Mereka hanya boleh mengantarkan jenazah dan rombongan laki-laki sampai ke perahu saja. Jadi, hingga sekarang, belum ada perempuan yang berkunjung ke pemakaman tersebut. Untuk melangsungkan pemakaman, biasanya orang Trunyan menunggu hari baik yang ditentukan oleh orang pintar yang ada di Desa Trunyan. Jika belum ada hari baik, walau berbulan-bulan, jenazah belum bisa dimakamkan

Desa TrunyanDesa Trunyan Foto: CXO Media

Banyak orang menganggap bahwa pemakaman di Desa Trunyan penuh dengan sampah dan kotor, padahal hal yang dianggap sampah tersebut bukanlah sampah, melainkan barang-barang kesayangan orang yang dimakamkan di situ. Barang-barang tersebut wajib dibawa ke pemakaman dan tak boleh ada yang membawanya keluar dari pemakaman tersebut.

Ada hal paling unik dari pemakaman di Desa Trunyan, meski mayat-mayat tergeletak di atas tanah hingga membusuk, namun mayat tersebut tidak berbau sama sekali. Hal ini disebabkan oleh adanya pohon Taru Menyan yang sudah ada sejak 11 abad yang lalu di sana. Orang-orang percaya bahwa pohon Taru Menyanlah yang membuat mayat-mayat tersebut tidak berbau busuk.

Taru Menyan berarti pohon yang wangi. Pohon ini dikabarkan hanya ada di Desa Trunyan. Bahkan dari pohon ini lah nama Desa Trunyan berasal. Inilah potret kekayaan salah satu budaya di Indonesia. Desa Trunyan, hidup di antara ragam tradisi di Bali dan banyaknya pengunjung lokal hingga mancanegara, namun tidak terpengaruh untuk mengikis tradisinya. Justru mereka bertahan dalam sakralnya budaya Bali Aga di Trunyan.

Masih banyak lagi fakta-fakta menarik tentang pemakaman Desa Trunyan yang mungkin belum diketahui. Untuk itu, Anda bisa menyaksikannya langsung di video berjudul Kultur: Tradisi 11 Abad Masyarakat Bali Asli yang disiarkan di CXO Media bekerja sama dengan Citilink.




(mul/ddn)

Hide Ads