Greenpeace 'Kuliti' Pidato Jokowi, Ini 9 Poin Bantahannya

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Greenpeace 'Kuliti' Pidato Jokowi, Ini 9 Poin Bantahannya

Putu Intan - detikTravel
Rabu, 03 Nov 2021 10:55 WIB

3. Indonesia disebut telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektar sampai di 2024

Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia yaitu 3.489.140,68 ha (tahun 2015) yaitu 23% dari ekosistem mangrove dunia.Namun lebih dari setengah dalam kondisi rusak yaitu seluas 1.817.999,93 Ha.

Sampai hari ini alih fungsi lahan gambut untuk tambak, pemukiman, illegal logging, perkebunan, infrastruktur di kawasan pesisir seperti reklamasi, jalan, pariwisata dan pelabuhan, masih terus terjadi. Kondisi ini diperburuk dengan pencemaran dari darat seperti limbah plastik, limbah rumah tangga, tumpahan minyak dan juga sedimentasi akibat rusaknya kawasan hulu sungai.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rencana pemerintah untuk merestorasi hutan mangrove seluas 600.000 ha di tahun 2024 terdengar sangat hebat, tetapi jika dibandingkan luas hutan mangrove yang rusak di Indonesia yang telah mencapai 1,8 juta hektar, hal ini tidak ambisius mengingat hutan mangrove mempunyai fungsi ekologi yang sangat vital bagi kawasan pesisir yang saat ini sedang menghadapi ancaman krisis iklim.

Selain itu, hal ini sepertinya bertolak belakang dengan kebijakan utama Pemerintah Indonesia yang saat ini lebih mengutamakan laju investasi yang telah menyebabkan masifnya pembangunan kawasan industri dan infrastruktur di kawasan pesisir.

ADVERTISEMENT

Kebijakan utama ini akan mengorbankan dan merusak ekosistem mangrove yang masih ada, dan juga akan menghambat laju pertumbuhan mangrove yang sedang direhabilitasi karena rehabilitasi mangrove membutuhkan kondisi lingkungan yang baik.

4. Presiden Jokowi menyebutkan, Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara 2010-2019

Capaian ini perlu dipertanyakan ulang mengingat terdapat peningkatan laju deforestasi seperti yang disebutkan sebelumnya di atas. Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi. Walaupun ada klaim penurunan laju deforestasi dari pemerintah dalam 2 tahun terakhir, angka itu menjadi kurang berarti karena adanya pergeseran area-area terdeforestasi dari wilayah barat ke wilayah timur (Papua).

Nasib komitmen moratorium sawit yang tidak jelas sampai saat ini menjadi sinyal perlunya peningkatan target perbaikan tata kelola hutan. Hasil analisis Greenpeace Indonesia dan The Tree Map menemukan seluas 3,12 juta ha perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan hingga akhir tahun 2019, setidaknya terdapat 600 perusahaan perkebunan di dalam kawasan hutan, dan sekitar 90.200 ha perkebunan kelapa sawit berada di kawasan hutan konservasi.

Letak perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan paling luas berada di pulau Sumatera (61,5%) dan Kalimantan (35,7%). Dari kedua pulau tersebut, terdapat dua provinsi dengan ekspansi sawit terbesar yaitu provinsi Riau (1.231.614 ha) dan Kalimantan Tengah (821.862 ha). Kedua provinsi ini menyumbang dua pertiga dari total nasional.

5. Pemerintah menyebutkan, sektor kehutanan dan lahan yang semula menyumbang 60% emisi Indonesia akan mencapai carbon net sink pada 2030

Sudah saatnya Indonesia untuk segera mengakhiri deforestasi, didukung oleh undang-undang dan kebijakan yang ketat, yang mengakui hak atas tanah masyarakat adat, melindungi hutan secara total, juga menghilangkan deforestasi melalui rantai pasokan industri berbasis lahan.

Masyarakat adat dan praktek pengelolaan berkelanjutan terhadap sumberdaya alam adalah solusi untuk krisis iklim. Hak-hak masyarakat adat dan lokal harus menjadi inti dari semua kebijakan perlindungan alam.

6. Terkait sektor energi, pemerintah menjalankan pengembangan ekosistem mobil listrik

Sektor kelistrikan Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, khususnya batu bara. Bauran energi batu bara pada kelistrikan saat ini mencapai 67% dan tetap mendominasi hingga tahun 2030, yaitu sebesar 59%. Untuk itu, jika pengembangan mobil listrik tersebut dilakukan dengan kondisi jaringan yang masih brown, maka tujuan pengurangan emisi secara signifikan tidak akan tercapai karena hal tersebut sama saja dengan memindahkan emisi dari sektor transportasi ke sektor pembangkitan listrik.

Selain itu, Indonesia juga dihadapkan dengan permasalahan oversupply listrik yang mencapai 45% di Pulau Jawa-Bali dan 55% di Pulau Sumatera dan juga pembangunan PLTU batu bara baru sebesar 12,5 Gigawatt di wilayah-wilayah tersebut. Apabila ekosistem mobil listrik dibuat hanya untuk menyerap kelebihan pasokan listrik dari energi kotor batu bara, maka Indonesia akan semakin jauh dari pencapaian target Paris Agreement.


Hide Ads