Kisah Kampung Batik Giriloyo Produksi Batik Sejak Zaman Raja-raja

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Kisah Kampung Batik Giriloyo Produksi Batik Sejak Zaman Raja-raja

Putu Intan - detikTravel
Minggu, 26 Des 2021 05:02 WIB
Kampung Batik Giriloyo
Foto: Ikhfan Yusuf Kurniawan/d'Traveler
Bantul -

Masyarakat Kampung Batik Giriloyo terbiasa membatik sejak ratusan tahun lalu. Kala itu, mereka membatik hanya untuk raja dan kaum bangsawan.

Tahukah kamu, kain batik yang saat ini banyak digunakan orang Indonesia dan orang asing dulunya merupakan kain sakral yang hanya boleh digunakan bangsawan?

Fakta ini diungkap Diah, salah satu perajin sekaligus pengurus paguyuban di Kampung Batik Giriloyo, Imogiri, Bantul. Diah bercerita, masyarakat Kampung Batik Giriloyo sudah terampil membatik sejak abad ke-17.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Batik Giriloyo ini sudah turun-temurun sejak abad ke-17 dan dilakukan semua oleh perempuan, ibu rumah tangga di Giriloyo," kata Diah.

Kampung Batik GiriloyoBatik di Kampung Batik Giriloyo. Foto: Putu Intan/detikcom

Masyarakat kampung diperkenalkan pada batik oleh anggota Kerajaan Mataram. Ini tidak terlepas dari pendirian Makam Raja Imogiri yang letaknya tepat di sebelah desa. Karena adanya pemakaman itu, terjadi pertemuan intens antara keluarga kerajaan dengan masyarakat desa.

ADVERTISEMENT

Lalu, masyarakat diajari cara membatik dengan harapan dapat membantu keluarga kerajaan memproduksi batik. Saat itu, keluarga kerajaan membutuhkan banyak kain namun sumber daya manusianya terbatas.

"Batik itu dikenalkan kepada kami karena kebutuhan sandang di kerajaan yang cukup banyak. Batik itu dulu hanya dipakai oleh kalangan bangsawan, bukan orang biasa," Diah menjelaskan.

Karena merupakan kain yang ekslusif, masyarakat desa hanya diajari dan diminta membatik saja. Mereka belum diajarkan prosesnya sampai kain itu dapat digunakan.

"Kita hanya diajari membatiknya saja. Belum diajari warna, belum diajari cara menjadi kain," ujar Diah.

Namun seiring berjalannya waktu, terutama setelah Gempa Yogyakarta tahun 2006, masyarakat desa mulai diberdayakan untuk memproduksi batik dengan tujuan ekonomi. Sebanyak 1.000 perempuan memproduksi batik untuk membangkitkan ekonomi desa itu setelah diguncang gempa.

Batik yang awalnya hanya digunakan bangsawan kerajaan pun kini dapat dinikmati orang umum. Akan tetapi, satu hal yang tidak berubah sejak ratusan tahun adalah motif batik Mataraman yang dibuat di Kampung Batik Giriloyo.

Kampung Batik GiriloyoBelajar membatik di Kampung Batik Giriloyo. Foto: Putu Intan/detikcom

Motif ini mengandung filosofi dan penggunaannya disesuaikan dengan acara tertentu. Beberapa motif yang paling sering diproduksi adalah sidomukti, sidoasih, wahyu tumurun, parang, dan kawung.

"Misalnya kalau menikah, pengantin menggunakan batik motif sidomukti supaya mencapai kehidupan yang mukti," kata Diah.

"Kemudian pada malam midodareni, menggunakan wahyu tumurun supaya pengantin yang melaksanakan akad besok pagi tidak mengalami kendala apapun dan mendapatkan cahaya atau wahyu dari Yang Mahakuasa," sambungnya.

Nyatanya, batik memang sudah bukan lagi kain sakral yang hanya boleh digunakan kalangan tertentu. Kampung Batik Giriloyo lebih memilih untuk melestarikan batik dengan cara mengajarkan membatik pada anak-anak sejak usia dini, bahkan pada wisatawan asing.

"Kalau hanya digunakan raja-raja saja, batik ini bisa punah. Jadi dibuat untuk digunakan semua orang supaya batik terus eksis," tutup Diah.




(pin/fem)

Hide Ads