Terkait aturan karantina, tak sedikit masyarakat yang merasa simpang siur hingga merasa dipermainkan. Ini kisah dari salah satu jamaah dan pengusaha umrah.
Sempat tertunda dua tahun akibat pandemi COVID-19, Indonesia telah mulai mengirimkan jamaah umrah di bulan Januari 2022. Adapun di bulan Desember 2021, tim advance telah lebih dulu berangkat untuk mengamankan semua kesiapan.
Faktanya, sejumlah jamaah umrah ada yang telah kembali ke Indonesia usai pergi dari Tanah Suci. Mengikuti aturan Pemerintah, mereka pun dites PCR setibanya di tanah air untuk memastikan perihal keselamatan diri.
Salah satunya adalah Ahmad (bukan nama sebenarnya), salah satu jamaah umrah yang menceritakan keluh kesahnya ketika menjalani proses karantina sepulang dari Tanah Suci secara eksklusif pada detikTravel, Sabtu (22/1/2022) Dimana ia melihat, ada banyak ketimpangan dan ketidaksesuaian yang dilihatnya di lapangan.
Ketimpangan pertama di bandara
Keanehan itu pun dirasakan oleh Ahmad setibanya di bandara. Setelah melakukan tes PCR, tanpa tahu hasilnya ia langsung dibawa ke hotel karantina untuk menanti hasil tes yang seharusnya bisa ditunggu di bandara dalam durasi dua jam.
"Di sini saja sudah ada hal yang gak sesuai dengan prosedur, hasil belum keluar kita masuk karantina dulu," ujar Ahmad via sambungan telepon. "Setelah kita dibawa ke hotel, hari kedua keluar hasil tes positif atau negatif," lanjutnya.
Yang jadi keluh kesah, ternyata jamaah diperbolehkan menunggu hasil tes di bandara ketimbang menunggu di hotel repatriasi dengan paket yang berbayar. Hanya hal itu tidak diinfokan oleh pihak bandara.
"Kita langsung ke hotel, soalnya informasi boleh menunggu itu baru saya dapatkan beberapa hari lalu dan itu tidak diinfokan ke kita ternyata," ujar Ahmad.
Di hotel, Ahmad langsung diwajibkan membayar biaya paket 7 hari yang ditawarkan oleh hotel repatriasi. Tarifnya mencapai nominal Rp 5 jutaan untuk satu orang.
Ketimpangan di hotel repatriasi
Setelah menunggu di hotel repatriasi bilangan Serpong selama dua hari, keluar lah hasil tes yang negatif dari lab bandara. Hanya walau mendapat hasil negatif, Ahmad harus tetap melakukan karantina dan dites PCR oleh pihak hotel.
"Kemudian berjalan waktu hari keenam, dilakukan tes PCR, Hari ketujuh harusnya checkout (kalau negatif). Kemudian saya divonis positif malam harinya," urai Ahmad.
Tak terima begitu saya, Ahmad mencari tes pembanding di RSPAD dengan biaya mandiri nominal Rp 2 jutaan (Ekspres). Hanya belum sempat mengambil keputusan, pihak hotel berujar kalau mereka tak akan menerima hasil tes lab lain sekali pun hasilnya negatif.
Lantas, Ahmad bertanya pada pihak hotel selaku penyelenggara tes. Namun, pihak hotel bahkan tak bisa menyebut detil Lab yang jadi mitra mereka.
"Saya kordinasi dengan tim di RSPAD untuk tes pembanding. Setelah saya komunikasikan dengan pihak hotel, saya tanyakan ini labnya apa mereka bilang singkatan. Mereka pun gak tahu (namanya), kita hanya kerjasama," ujar Ahmad menirukan.
Di hotel, Ahmad mengaku kalau kamarnya tak mendapat sirkulasi udara melainkan hanya dari AC. Dengan kondisi demikian, seseorang bisa tertular apabila ada tamu karantina lain yang positif COVID-19. Padahal Ahmad hanya menginap seorang diri.
Setelah diklaim positif COVID-19, Ahmad diberi tiga pilihan untuk melakukan karantina. Yang pertama adalah rumah sakit komersil dengan deposit yang besar, hotel repatriasi atau Wisma Atlet.
Dihadapkan pada tiga pilihan, Ahmad pun memilih yang ketiga. Hanya di Wisma Atlet, Ahmad melihat sejumlah kejanggalan lain.
Selanjutnya: Kejanggalan di Wisma Atlet
Simak Video "Video: 50 Orang Tertipu Travel Umrah Bodong di Banten, Rugi Rp 450 Juta"
(rdy/rdy)