Jejak sejarah Gunung Tambora kini terabadikan dalam sebuah film dokumenter epik. Bisa ditonton secara gratis!
Gunung Tambora berdiri gagah di ujung utara Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat dan berada di dalam kawasan konservasi yaitu Taman Nasional Tambora sekaligus merupakan taman nasional ke 51 di Indonesia.
Puncak Tambora menjadi magnet tersendiri bagi para pendaki tidak hanya dari Indonesia namun juga mancanegara. Saat ini, ada 4 jalur pendakian yang menjadi pintu masuk bagi para pendaki yaitu Doroncanga, Kawinda To'i, Pancasila dan Piong.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di kaki Tambora, hamparan padang savana, bukit, lahan kering, tanah kuning kecokelatan, semak belukar akan menyambut para petualang. Kawanan kuda dan kerbau yang sedang merumput adalah pemandangan khas yang sering dijumpai.
Tambora tidak hanya menarik perhatian para pendaki, namun juga para ahli vulkanologi. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa letusan Tambora telah mencatat sejarah penting dalam peradaban manusia pada 200 tahun lalu.
Letusannya yang mencapai skala 7 Volcanic Explosivity Index (VEI) pada April 1815 mengoyak langit dan bumi serta meninggalkan lubang sedalam 1.100 meter atau terdalam di dunia dengan diameter 7 km.
Tinggi semula yang diduga ada pada 4.300 mdpl, setelah ledakan tubuhnya menghilang hingga menyisakan ketinggian pada 2.851 Mdpl.
![]() |
Letusan dahsyat Tambora telah menggulung tiga kerajaan; Pekat, Sanggar dan Tambora. Peradaban di seputar Tambora pun musnah. Jumlah korban tewas diperkirakan mencapai 92.000 jiwa.
Ini belum termasuk kematian yang melanda Eropa dan Amerika, yang turut merasakan dentuman Tambora. Akibat abu vulkanik, dua benua dipisahkan samudera itu didera kelaparan.
Sekitar setahun usai letusan, pada 1816, Eropa dan Amerika melewati tahun tanpa musim panas atau dikenal sebagai "Year without Summer." Bahkan kekalahan Napoleon Bonaparte pada perang Waterloo, diyakini sebagai dampak tak langsung letupan Tambora. Pemicunya adalah musim dingin yang panjang dan kegagalan panen.
Arkeolog Haroldur Sidurdsson dari Universitas Rhode Island, Amerika Serikat yang melakukan penggalian di Tambora bersama Direktorat Vulkanologi menyebut Tambora sebagai "Pompeii dari Timur." Sebutan ini mengacu pada situs kota Romawi Kuno Pompeii dekat Napoli, Italia, yang terkubur oleh letusan Gunung Vesuvius pada tahun 79 Masehi.
Letusan Gunung Tambora tidak hanya menimbulkan bencana alam dan kemanusiaan saat letusan dan beberapa tahun paskanya, tetapi juga melahirkan hal-hal yang luar biasa dalam sejarah pengetahuan, seni, budaya dan sastra.
Letusan gunung Tambora merubah bentang alam dengan menyisakan kaldera terdalam di dunia. Untuk memperingati 200 tahun meletusnya Tambora, pada tanggal 11 April 2015 sebuah event digelar dengan tajuk 'Tambora Menyapa Dunia' yang diselenggarakan di Dompu, Sumbawa.
Acara ini dihadiri oleh sekitar 15.000 orang baik dari dalam negeri maupun luar negeri, termasuk Presiden RI Joko Widodo. Pada kesempatan tersebut, Presiden meresmikan Taman Nasional Tambora sebagai taman nasional ke 51 yang dimiliki Indonesia.
Selanjutnya: Jejak kehidupan di Tambora dalam film dokumenter
Hingga saat ini, para ahli seperti ahli vulkanologi, geologi dan arkeolog masih terus memberikan perhatiannya kepada gunung yang masih aktif ini. Jejak-jejak letusan Tambora sampai hari ini masih terus diteliti.
Diamnya Tambora tak berarti tidak ada kehidupan di dalam kaldera. Ditemukannya kotoran Rusa, mata air dan satu jenis burung merupakan bukti adanya kehidupan.
Untuk itu, menjadi tugas kita bersama untuk terus melakukan penelitian dan upaya-upaya pelestarian agar Taman Nasional Tambora tetap dapat menjalankan perannya bagi kelestarian alam dan peradaban manusia.
Rupanya fakta-fakta sejarah tersebut menarik perhatian pemerhati alam dan lingkungan dan para pejalan atau traveler yang berada dalam sebuah group bernama Baraka Bumi, dimana anggotanya mempunyai keahlian dalam bidang menulis dan penyiaran.
Mereka menginisiasi untuk mendokumentasikan jejak-jejak letusan Tambora dalam sebuah film. Ide ini disambut baik oleh Balai Taman Nasional Tambora. Kolaborasi ini menghasilkan sebuah film dokumenter yang berjudul "Majestic Tambora."
Melalui Film Dokumenter "Majestic Tambora" dikisahkan perjalanan seorang pendaki gunung yang juga jurnalis dan penulis, untuk menelusuri kembali jejak letusan Tambora di masa lampau hingga mulai kembali didaki kembali untuk pertama kalinya.
Juga menggali sisa salah satu kerajaan dan keluarganya yang masih tersisa, bertemu para sejarah, konservasi, geologi dan budayawan. Melihat bagaimana Tambora yang kini berstatus Taman Nasional dapat memberi manfaat pada masyarakat sekitarnya.
Film dokumenter "Majestic Tambora" dikerjakan secara kolaboratif dengan Balai Taman Nasional Tambora sejak Agustus 2020. Adapun tujuan dibuat film adalah :
1. Memberi tontonan yang menghibur penuh petualangan sekaligus memberi edukasi.
2. Mengangkat kembali kemahsyuran gunung api Indonesia - khususnya Tambora.
3. Mendorong wisata minat khusus mendaki, hiking dan trekking gunung api di Indonesia sebagai salah satunya surga gunung api dunia (nomor 4 di dunia).
4. Promosi wisata alam Taman Nasional Tambora.
5. Mengangkat informasi bagaimana sebuah letusan gunung api dapat mempengaruhi iklim global dan mengubah peradaban.
6. Sosialisasi dan mendorong penetapan tanggal 10 April (peristiwa letusan Tambora) sebagai Hari Gunung Api Internasional - yang diusulkan pertama kali oleh dua pemerhati gunung berapi dunia: Tanguy De Saint-Cyr dan Jeannie Curtis, pada 2016 kepada UNESCO.
Launching Film Majestic Tambora oleh Direktur Jenderal KSDAE dilaksanakan pada tanggal 31 Januari 2022 lalu, bertempat di auditorium Perpustakaan Nasional.
Secara lengkap, film dokumenter "Majestic Tambora" dapat ditonton pada saluran YouTube Balai Taman Nasional Tambora dan Ayo Ke Taman Nasional.
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum