Ada berbagai faktor yang menyebabkan kecelakaan bus pariwisata. Salah satunya adalah kurangnya waktu istirahat bagi pengemudi.
Belakangan ini, kecelakaan bus pariwisata terjadi di tol Surabaya-Mojokerto. Tragedi tersebut disebabkan oleh human error, yaitu pengemudi yang mengantuk.
Setelah ditelaah, sopir memang mendapatkan jam kerja yang cukup panjang dan memiliki waktu istirahat yang kurang. Hal ini pun yang menjadi faktor kecelakaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di kasus Mojokerto kita melihat mereka nggak terkendali dalam beroperasi pengaturan waktu kerja ya mereka itu bisa saja 2-3 hari 34 malam juga mereka nggak tidur dan ini kami temukan juga di Panjalu kemarin kita wawancara dengan beberapa (pengemudi) bus," kata Investigator Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Ahmad Wildan dalam Webinar Edukatif Keselamatan Lalu Lintas Angkutan Jalan.
"Rekomendasi kami ke Kemenhub adalah agar Kemenhub membuat pengaturan dan pengawasan terhadap waktu kerja waktu istirahat dan waktu libur agar ditetapkan secara jelas dan tegas, berapa sih waktu kerja maksimal dalam satu hari? berapa waktu istirahatnya? berapa waktu kerja maksimal dalam satu minggu berapa liburnya? Ini selama ini belum ada yang jelas tegas dan yang mengawasi belum ada sehingga kecelakaan-kecelakaan ini banyak terjadi," kata Wildan.
Wildan menuturkan, para sopir bus pariwisata banyak melakukan pergerakan yang rata-rata menghabiskan waktu 3 hari 2 malam tanpa istirahat. Sehingga, KNKT pun memberikan rekomendasi kepada Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk membuat peraturan akan waktu kerja maksimal bagi para sopir.
Sementara itu, kecelakaan juga bisa terjadi akibat lintasan tajam yang tak biasa dilalui oleh sopir bis pariwisata, sehingga mengakibatkan hilang kendali.
"Perlu kita tahu semua hampir sebagian besar destinasi wisata kita kondisi jalannya sub standar ya turunannya tajam lebih dari 8% bahkan di atas 23% masih banyak. radius tikungannya juga kecil ya ini menjadi masalah, kecelakaan yang di Ciamis buktinya kemudian tikungan Harmoko di sana bus terbanting ke kiri," kata Wildan.
Bus pariwisata yang berukuran besar akan sulit melewati medan yang tak biasa, misalnya turunan panjang atau tikungan yang tajam. Padahal jalan tersebut biasa dilewati oleh kendaraan lain.
"Sebenarnya kendaraan-kendaraan yang biasa lewat jalan situ enggak ada masalah, enggak pernah kecelakaan tapi karena bus pariwisata enggak kenal medannya dia kaget ketika menemukan jalan turunan panjang atau tikungan yang patah nah ini menyebabkan mereka sering celaka," kata Wildan.
"Di sini karena bus-bus itu terus sebenarnya masuk ke jalan yang bukan kelasnya seperti yang di Panjalu itu Panjalu Ciamis atau Sumedang itu adalah jalan-jalan dengan karakteristik kelas 3, radiusnya saja sudah kita hitung itu sebenarnya maksimal untuk kendaraan panjang lebar panjang 8 meter ini base-nya panjangnya 12 meter, ketika itu jelas akan mengambil jalan orang lain," tambahnya.
Oleh sebab itu KNKT juga merekomendasikan Kemenhub untuk membuat route hazard mapping.
(elk/ddn)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol