Keuskupan Ruteng: Kenaikan Tiket TN Komodo Rp 3,75 Juta Kurang Tepat

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Keuskupan Ruteng: Kenaikan Tiket TN Komodo Rp 3,75 Juta Kurang Tepat

Wahyu Setyo Widodo - detikTravel
Rabu, 27 Jul 2022 16:22 WIB
Menparekraf Sandiaga Salahuddin Uno menanggapi kenaikan tarif masuk kawasan TN Komodo saat Weekly Press Briefing, di Gedung Sapta Pesona, Senin (11/7/2022). Menparekraf mengatakan kenaikan tarif masuk kawasan untuk biaya konservasi jasa ekosistem.
Foto: Ilustrasi Komodo (dok. Kemenparekraf)
Labuan Bajo -

Keuskupan Ruteng menilai kenaikan harga tiket TN Komodo menjadi Rp 3,75 juta sebagai kebijakan yang kurang tepat. Bahkan, bisa menghambat kebangkitan pariwisata.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia bersama dengan Pemerintah Provinsi NTT, berencana menerapkan kebijakan harga tiket baru untuk menikmati wisata pulau Komodo menjadi sebesar Rp 3,75 juta per orang. Kebijakan itu akan diresmikan pada Jumat (29/7) mendatang.

Keuskupan Ruteng di Kabupaten Manggarai, NTT yang diwakili oleh Pastor RΓΆf Alfons Segar menilai kebijakan itu kurang tepat jika melihat situasi yang berkembang di tengah masyarakat seperti sekarang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami menilai bahwa momentum kenaikan tiket tersebut kuranglah tepat karena dunia pariwisata di Labuan Bajo dan Flores pada umumnya sedang bangkit dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19," ujar Pastor Alfons dalam keterangan resminya yang diterima detikTravel, Rabu (27/7/2022).

Kenaikan harga tiket masuk TN Komodo itu juga dinilai akan menghambat kebangkitan sektor pariwisata di sekitar Taman Nasional Komodo apabila jadi diterapkan.

ADVERTISEMENT

"Selain itu, kenaikannya yang sangat drastis mengganggu animo wisatawan dan menghambat kebangkitan dunia pariwisata yang menjadi motor penggerak perekonomian masyarakat. Kebijakan publik demikian, mesti melibatkan pelbagai pihak yang berkepentingan dalam sebuah dialog dan uji publik yang intensif," ujar Pastor Alfons.

Keuskupan Ruteng menilai, seharusnya kebijakan tersebut terlebih dahulu mempertimbangkan berbagai aspek sosial masyarakat dan dampaknya, terutama soal ekonomi.

"Selain kajian akademik, dituntut pula kajian sosial yang mempertimbangkan dampak ekonomis, politis, kultural dan ekologis dari kebijakan tersebut. Selain itu dibutuhkan pula proses sosialisasi yang tepat dan terus menerus," dia menambahkan.

Pastor Alfons pun menghimbau agar mengedepankan dialog supaya isu sosial masyarakat ini bisa diselesaikan bersama-sama, sesuai dengan filosofi dan budaya Manggarai.

"Kami mengimbau kepada semua pihak untuk membangun dialog dalam menangani isu-isu sosial bersama. Hal ini sangatlah selaras dengan budaya Manggarai, yakni lonto leok dalam rangka memperkuat kebersamaan dan kesatuan kita (mi ca anggit, tuka ca leleng). Cara dan metode yang digunakan untuk menyampaikan pendapat secara demokratis kiranya tidak berdampak merugikan pariwisata," kata dia.




(wsw/fem)

Hide Ads