Para pekerja seks di Red Light District Amsterdam menolak untuk disingkirkan. Sama seperti di Amsterdam, para PSK di Bali juga menolak untuk punah.
Sejumlah pekerja seks komersial (PSK) tampak berjajar di kawasan Jalan Danau Tempe, Sanur, Denpasar, Bali pada Rabu (11/1/2023) malam. Mereka menunggu tamunya di beragam tempat karaoke.
Salah satu PSK yang bekerja di tempat karaoke di Jalan Danau Tempe ialah Putri (bukan nama sebenarnya). Senyum perempuan berkulit sawo matang ini mengembang saat menyambut kami.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perempuan berkaos abu-abu ketat dan mengenakan rok mini itu langsung mempersilakan masuk kamar yang terletak di belakang ruang karaoke. Kamar dengan kasur merah dan dilengkapi kipas angin itu menjadi tempat Putri berhubungan seksual dengan tamunya.
Kamar itu tidak berpintu dan hanya menggunakan tirai biru. Tisu tersedia di atas kasur dengan seprai yang banyak terdapat bercak.
Putri telah menjadi perempuan penghibur di kawasan Danau Tempe sejak setahun lalu. Sebelumnya, ia mangkal di lokalisasi lain yakni di Jalan Danau Poso, Denpasar.
Putri tiba di Bali empat tahun lalu. Seorang temannya mulanya mengajak ia bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran. "Ternyata saya dijual di sana," kisah Putri.
Putri menuturkan penghasilannya sebagai pelacur kini tak tentu. Apalagi, adanya pandemi COVID-19 yang berdampak pada perekonomian.
Putri pernah mendapatkan uang Rp 500 ribu dalam waktu tiga jam sebelum COVID-19 merebak. Para pria hidung belang itu juga datang sendiri ke lokalisasi. Namun, kini berubah.
"Kalau sekarang, saya yang harus menghampiri," ungkap perempuan asal Surabaya ini.
Putri menyadari persaingan di dunia prostitusi kini makin sengit. Apalagi sejak adanya aplikasi pesan seperti MiChat maupun Telegram yang bisa menghubungkan antara pria hidung belang dengan para pelacur.
Mereka cukup menyepakati tarif dan tempat berkencan sehingga tidak memerlukan lokalisasi lagi sebagai tempat pertemuan. Perempuan berambut panjang ini pernah mencoba menjajakan seks melalui MiChat. Namun, hanya bertahan dua bulan.
Menurut Putri, mencari pria hidung belang melalui MiChat sangat riskan. Sebab, ia tak tahu siapa calon tamunya itu. "Kadang di foto sama pas ketemu berbeda," keluhnya.
Lokalisasi Jalan Danau Tempe
Putri lebih suka mangkal di Jalan Danau Tempe dibandingkan open booking out (BO). Ia khawatir statusnya sebagai pelacur diketahui oleh keluarga.
"Keluarga cuma tahu kalau saya kerja di tempat karaoke," terang perempuan yang telah bersuami tersebut.
Jalan Danau Tempe sudah cukup dikenal sebagai lokalisasi di Denpasar. Berkali-kali petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merazia tempat itu. Namun, lokalisasi itu tetap eksis.
Tak hanya di Danau Tempe, lokalisasi juga ada di Jalan Tambaksari, Sanur, Denpasar, Bali. Salah satu yang menjadi pelacur di sana ialah Sinta, bukan nama sebenarnya.
Sinta menjadi wanita malam karena terpaksa. Ia sempat melamar pekerjaan di berbagai tempat seperti binatu hingga penjaga warung. Namun, tak ada yang mau menerimanya lantaran ia membawa putrinya saat bekerja.
"Ya karena kepepet saja karena cari kerja di Bali itu mustahil yang mau terima pegawai bawa anak," tutur Sinta Rabu (11/1/2023). "Apalagi kan hidup harus terus jalan."
Menurut Sinta, penghasilannya sebagai PSK tak menentu. Kadang, dalam semalam ia pernah tidak dapat tamu sama sekali. Meski begitu, ia tak tertarik beralih ke prostitusi online.
Sinta tetap selektif memilih tamu meski jumlahnya terus menurun. Dia mewajibakan pria hidung belang yang ingin berhubungan intim dengannya menggunakan kondom karena khawatir tertular HIV-AIDS.
"Kalau nggak mau pakai kondom ya sudah nggak masuk," tutur perempuan berusia 39 tahun ini.
------
Artikel ini telah naik di detikBali dan bisa dibaca selengkapnya di sini.
(wsw/wsw)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol