17 Tahun Lumpur Lapindo: Wisata Makin Meredup, Warga Makin Nestapa

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

17 Tahun Lumpur Lapindo: Wisata Makin Meredup, Warga Makin Nestapa

Suparno - detikTravel
Selasa, 30 Mei 2023 19:03 WIB
Luas lahan yang ditenggelamkan lumpur mencapai 640 hektar. Ribuan rumah dan persawahan sirna sejak lumpur menyembur 26 Mei 2006. Bagaimana keganasan lumpur yang mengusir penduduk dari 4 desa dan 3 kecamatan di Sidoarjo itu .Semburan lumpur lapindo belum juga berhenti meski sudah menginjak tahun ke 9. Sejak menyembur pada 29 Mei 2006, luapan lumpur ini telah menenggelamkan sejumlah desa di tiga kecamatan di Sidoarjo. Seluas 640 hektar lahan kini berubah menjadi kolam penampungan lumpur. Ini penampakan ganasnya lumpur lapindo yang direkam pada tahun 2006 dan 2007. budi Sugiarto/file/detikfoto
Foto: Lumpur Lapindo (Budi Sugiharto/detikcom)
Sidoarjo -

Sudah 17 tahun lamanya semburan Lumpur Lapindo terjadi di Indonesia. Sekarang, meredupnya wisata Lumpur Lapindo membuat warga merasa makin nestapa.

Semburan Lumpur Lapindo terjadi di Kelurahan Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo pada 29 Mei 2006 silam. Peristiwa 17 tahun lalu itu membawa duka bagi ribuan warga belasan desa di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin.

Setelah beberapa tahun, tepatnya pada 2010, SBY mengusulkan lokasi lumpur itu dicanangkan sebagai objek wisata geologis. Mulanya, wisata lumpur Lapindo itu membawa berkah bagi sebagian warga terdampak yang kehilangan pekerjaan atau usahanya tumbang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan suka cita mereka menjadi pemandu wisata. Mereka jajakan jasa mengantar wisatawan keliling lokasi lumpur Lapindo, sembari menjual video dokumenter lumpur Lapindo.

Salah satu warga korban lumpur asal Kelurahan Jatirejo, Kecamatan Porong bernama Sastro (50) merupakan salah satu warga yang mula-mula menjadi pemandu wisata sejak 2008. Dia mengakui, pada tahun-tahun awal itu penghasilan dari wisata lumpur cukup menjanjikan.

ADVERTISEMENT

Bahkan, menurutnya, berkah dari wisata lumpur Lapindo itu cukup panjang. Dia mampu menggaet untung antara Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu per hari sejak 2008 hingga 2018 karena masih cukup banyak masyarakat yang penasaran untuk berwisata di lumpur Lapindo.

Seiring berjalannya waktu, pada 2023 atau 17 tahun setelah lumpur Lapindo menyembur ini, penghasilan dari pemandu wisata lumpur tidak bisa lagi diandalkan. Penurunan pendapatan itu terasa begitu drastis.

"Kalau sekarang hanya mendapatkan Rp 60 ribu per hari, kadang malah nggak sampai segitu. Sepi," kata Sastro ketika ditemui detikJatim di atas tanggul penahanan lumpur, Senin (29/5/2023).

Hal yang sama dirasakan Muaniza (39). Warga korban lumpur asal Reno Kenongo ini mengaku dia menjadi pemandu wisata di tanggul penahan lumpur sejak 2018. Belakangan ini dia bahkan sama sekali tidak mendapatkan penghasilan dari memandu wisata.

"Sekarang setiap hari hanya menghasilkan uang sangat sedikit sekali. Dapat Rp 20 ribu sehari sudah bagus, seringkali seharian tidak dapat penghasilan sama sekali," kata Muanisa.

Warga korban lumpur Lapindo ini terpaksa kehilangan pekerjaan karena tempat mereka bekerja di desa turut terimbas lumpur. Oleh karena itul ketika ada peluang menjadi pemandu wisata di tanggul lumpur Lapindo, mereka segera menyambutnya.

Bahkan, salah satu pemandu wisata lainnya bernama Nartaji (52) mengaku sebelumnya dia memiliki bengkel sendiri. Korban lumpur asal Kelurahan Jatirejo itu mengatakan bahwa setelah terjadinya semburan lumpur, banyak masyarakat yang kehilangan mata pencarian.

"Sebelum munculnya semburan lumpur saya wirausaha mendirikan bengkel. Namun setelah desanya tenggelam oleh lumpur mencoba mencari nafkah menjadi pemandu wisata. Tapi saat ini penghasilannya tidak bisa untuk mencukupi keluarga," tandas Nartaji.

------

Artikel ini telah naik di detikJatim.




(wsw/wsw)

Hide Ads