Sebuah kampung di Kulon Progo ditinggalkan hampir seluruh penduduknya. Kampung itu pun dijuluki Kampung Mati.
Sebutan Kampung Mati disematkan masyarakat untuk Dusun Watu Belah, Kelurahan Sidomulyo, Kapanewon Pengasih, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Sebutan ini muncul bukan tanpa alasan. Dahulu, area kampung yang berada di tengah hutan kawasan perbukitan Menoreh itu dihuni oleh sedikitnya tujuh kepala keluarga (KK).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lambat laun, mereka memutuskan pergi meninggalkan wilayah tersebut. Eksodus itu membuat kampung ini menjadi sepi dan seakan mati dari geliat aktivitas manusia.
Kendati begitu kampung ini sepenuhnya senyap karena masih ada satu keluarga yang bertahan. Keluarga beranggotakan empat orang, yakni pasangan suami-istri Sumiran (49) dan Sugiati (50) serta dua anaknya Agus Sarwanto (23) dan Dewi Septiani (10) itupun menjadi penghuni terakhir Kampung Mati.
"Saya senang di sini, karena kalau cari kayu bakar dekat. Cari rumput dekat, cari daun singkong juga dekat. Air, walaupun itu airnya agak-agak putih, tetap bisa mengalir dari Sendang Pule di atas situ," ucap Sugiati menjelaskan alasannya tetap tinggal di Kampung Mati, Jumat (16/6/2023).
Keluarga ini telah menetap di Kampung Mati sejak 24 tahun silam. Untuk makan dan minum keluarga ini mengandalkan sumber daya alam yang memang masih banyak ditemukan di perbukitan Menoreh. Seperti sumber air bersih, sayur mayur, buah-buahan hingga hewan.
Hal tersebut sedikit membantu menekan biaya pengeluaran keluarga kecil ini. Sebab, keluarga ini tergolong kurang mampu. Sumiran bekerja sebagai tukang kayu dengan penghasilan tak menentu. Sedangkan Sugiati fokus mengurus rumah tangga.
Adapun anak sulung mereka, yakni Agus Sarwanto menjadi pekerja di sebuah pabrik pengolahan makanan di Bantul. Sementara si anak bungsu, Dewi Septiani masih duduk di kelas III, SDN Kutogiri.
Rumah yang keluarga ini huni merupakan warisan dari leluhur Sumiran. Rumah bergaya joglo dengan dinding kayu dan lantai tanah ini tampak mencolok karena menjadi satu-satunya bangunan yang berdiri di Kampung Mati.
Sejauh mata memandang hanya terlihat rerimbun pohon dan pekarangan penuh rumput liar. Dulunya pekarangan itu merupakan area permukiman.
"Di samping rumah ini (pekarangan) kita masih bisa lihat sisa pondasi bangunan. Nah itu bekas pondasi rumah tetangga kami yang sekarang sudah pergi," ujar Sugiati.
"Nah di atas bukit itu juga dulu ada rumah mas. Tapi sekarang yang punya udah pindah," timpal Sumiran.
Sugiati menjelaskan ada sejumlah alasan yang membuat penduduk meninggalkan Kampung Mati. Salah satunya karena jengah dengan kondisi kampung yang terisolir.
"Karena di sini jauh dari jalan yang bisa diakses kendaraan. Harus jalan kaki dulu sejauh 1,5 sampai 2 km. Jadi banyak yang pindah," ucapnya.
"Penduduk terakhir yang pindah itu sekitar 4 tahun lalu. Jadi sejak 4 tahun ini kami memang menyendiri," imbuhnya.
Artikel selengkapnya sudah tayang di detikJateng.
(pin/pin)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol
Tragedi Juliana di Rinjani, Pakar Brasil Soroti Lambatnya Proses Penyelamatan