Kenapa Orang Jawa Zaman Now Ogah Beri Nama Ndeso ke Anaknya?

CNBC Indonesia - detikTravel
Selasa, 15 Agu 2023 21:05 WIB
Foto: Ilustrasi orang Jawa (Getty Images/Boogich)
Jakarta -

Jika kita perhatikan di zaman sekarang, ada banyak orang Jawa yang enggan memberikan nama-nama 'ndeso' kepada anak mereka. Apa sebabnya?

Nama adalah identitas. Dari sebuah nama, kita bisa mudah mengetahui dari mana orang itu berasal. Dengan melihat atau mendengar nama seperti 'Suyatmin', 'Sugiyem', 'Ponimin', 'Suparno', dan sebagainya, pasti kita bisa menebak bahwa mereka berasal dari suku Jawa.

Memang, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa orang suku Jawa mudah dikenali dari nama yang melekat. Tiap ada orang dengan nama satu atau dua kata yang diikuti oleh konsonan 'so', 'to', 'no', 'wo' bagi laki-laki dan 'si', 'ti', 'ni' untuk perempuan, sudah pasti dia adalah orang Jawa.

Lebih lanjut, peneliti Amerika Serikat Ron Hatley dalam What's in a name: Arti Sosial seperti Terlihat dalam Nama dan Perubahan Nama di Jawa (1977) menyebut nama-nama orang Jawa biasanya diambil dari tempat tinggal, bahasa Sansakerta, mitologi pewayangan, peristiwa besar, dan kombinasi. Contohnya: Ponimin, Sukarno, Merdekawati, Rini Safitri, dan sebagainya.

Meski begitu, pengetahuan pakem ihwal penamaan Jawa seperti ini tidak bisa lagi digunakan di masa sekarang. Sebab, seiring berjalannya waktu kita akan sulit menemui nama-nama seperti itu.

Nama Jawa yang dikenal pendek dan sederhana, semakin lama kian menghilang dan tergantikan dengan nama-nama yang susah dieja oleh orang Jawa itu sendiri. Nama itu juga menjadi semakin panjang.

Kendati demikian, perubahan ini bukan terjadi akhir-akhir ini saja melainkan sudah berlangsung sejak tahun 1960-an sebagaimana dipaparkan Moordiati dalam riset "Saat Orang Jawa Memberi Nama: Studi Nama di Tahun 1950-2000" tahun 2015 silam.

Moordiati mencatat titik balik perubahan nama itu terjadi di tahun 1950-an. Sebelum tahun tersebut, masih banyak orang Jawa yang memiliki nama satu kata saja. Dengan catatan, hanya golongan priyayi dan terdidik yang memiliki corak berbeda. Barulah setelah tahun tersebut mulai terjadi perubahan bentuk nama.

Sejak kurun 1960-an, orang Jawa mulai menamai anak lebih dari satu kata. Sekalipun terdiri dari satu kata, nama itu paling tidak tersusun dari tiga suku kata atau lebih, seperti Munawaroh, Sugiono, Maesaroh, Hartono, dan sebagainya.

Selanjutnya, di periode 1970 hingga 2000-an, seluruh nama pun semakin bervariasi. Variasi itu disebabkan karena orang Jawa sudah mengadopsi berbagai sumber bahasa untuk menjadi nama baru, mulai dari bahasa Arab dan bahasa Inggris.

Lalu, Apa Alasan di Balik Perubahan Nama itu?

"Tampak sekali bahwa orang Jawa semakin "alergi" dengan nama-nama yang "kampungan" dan mungkin menjadi alasan bila pada akhirnya nama orang Jawa semakin panjang," tulis Moordiati (hlm. 385).

"Alergi" ini, katanya, berkat modernisasi. Namun, itu bukan faktor tunggal. Dalam risetnya disebutkan juga bahwa perubahan nama rupanya dibarengi oleh peningkatan kemapanan ekonomi keluarga, tingkat pendidikan dan pekerjaan orang tua.

Ambil contoh penamaan orang di tahun 1970-an. Ternyata, ada korelasi positif antara panjang nama dengan tingkat kesejahteraan orang tua dan keluarga.

"Minah, Poniti dan Kastar adalah anak dari Kasan, Munaji dan Giman yang berprofesi sebagai petani dan buruh tani. Bandingkan dengan nama-nama Sofiani Mulyanah (Putri Sikin seorang kepala desa) atau Misbachul Munir (putra Sampuri karyawan pabrik gula)," ungkapnya.

Singkatnya, berkat modernisasi nama sudah tidak dapat dijadikan acuan untuk mengenali identitas dan latar belakang seorang anak. Pemilihan nama kini dapat menggambarkan ideologi dan harapan suatu masyarakat dalam orientasi kehidupannya. Akibatnya, ditinggalkan-lah nama-nama asli Jawa menjadi nama modern.

Pernyataan ini juga sejalan dengan riset Kania Larasati dari UGM berjudul "Malu Menjadi Jawa? Perubahan Pola-Pola Penamaan Anak di Desa Troso Kabupaten Klaten Jawa Tengah" (2018).

Kania turut menyimpulkan bahwa perubahan sosial dari akulturasi dan asimilasi budaya Jawa dengan budaya lain menjadi orientasi baru masyarakat Jawa. Alhasil, pemilihan nama pun sesuai dengan tren yang ada, yakni menjadi modern.

Kendati demikian, menurut Moordiati, keindahan ataupun tingkat modern nama seringkali tanpa disadari juga telah menghapus arti atau makna akan nama itu sendiri. Pada akhirnya, nama bukan lagi doa, melainkan sudah menjadi citra.

------

Artikel ini telah tayang di CNBC Indonesia.



Simak Video "Video: Pimpinan DPR Sudah Kantongi Nama Calon Dubes AS-Korut"

(wsw/wsw)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork