Di luar negeri, museum menjadi primadona wisata, hal itu tidak terjadi di dalam negeri. Ternyata, tak cuma itu saja perbedaannya.
Museum di Indonesia dirasa belum menjadi prioritas wisata bagi para masyarakat. Hal itu karena museum konvensional saat ini harus bersaing dengan berbagai destinasi wisata lainnya, misalnya cafe, spot hangout, wisata alam, galeri, hingga museum yang lebih modern.
Sehubungan dengan itu, Museolog sekaligus Dosen Universitas Indonesia, Ajeng Ayu Arainikasih, menyarankan untuk museum memberikan experience yang menyenangkan juga relevan, serta melibatkan pengunjung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada beberapa museum yang sudah bagus, sudah pakai teknologi digital terkini. Tapi tetap aja itu masih pasif. Jadi museum itu cuma kita sebagai pengunjung cuma lihat. Paling maksimal, dengar. Padahal kebudayaannya kita sekarang, way of life-nya kita sekarang, itu bukan cuma sebagai konsumen, tapi juga kreator," ujar Ajeng.
"Kita share, kita create, kita nge-like, kita reshare. Nah, sebenarnya itu yang seharusnya diubah sama museum. Sesuatu yang pasif itu seharusnya sekarang sudah tidak lagi pasif. Jadi kalau di Ilmu Museologi itu ada namanya pendekatan inklusif, interaktif, dan participatory. Jadi sebenarnya pameran museum bisa didesain sedemikian rupa untuk pengunjung berinteraksi dengan konten dan objeknya tanpa harus merusak objek dan dengan menarik jadi gak cuma lihat dan baca label, lihat koleksi baca label," tuturnya.
Ajeng yang sempat tinggal di Australia berujar, bahwa di Australia museum sangat berbeda. Ia mencontohkan dengan museum maritim yang sempat ia datangi dalam kunjungan sekolah anaknya. Dalam kunjungannya ke sana, ia mendapatkan activity book yang bisa dimanfaatkan oleh pengunjung. Selain itu, tema yang akan dipelajari oleh pengunjung juga dapat disesuaikan dengan rentang umur dan juga kebutuhan pengunjung.
"Kayak maritime museum, dia bisa bahas khusus misalnya tentang dolphin aja gitu. Jadi pasti nggak akan mengambil semua tema yang ada di situ. Ada tema-temanya yang mesti diangkat gitu. Nah misalnya dia bahas dolphin, nanti dia eksperimen tentang cara dolfin cari makan, sambil main tuh, karena kan pakai sonar. Jadi mata ditutup, terus ada temannya yang pakai lonceng," katanya.
"Nanti lari-lari, terus mereka harus kejar-kejaran gitu. Tapi mereka jadi tahu kalau dolphin cari makan itu enggak pakai mata, tapi pakai sonar. Terus eksperimen tentang dingin air laut, pakai sarung tangan yang ada gel, jadi mereka tahu kalau dolphin nggak kedinginan karena ada lapisan lemak," tuturnya.
"Jadi semua anak pulang itu, dia tahu banget nih tentang si Dolphin. Dari lihat pameran museumnya, dari eksperimen, storytelling, pakai kostum dolphin. Jadi pengalaman ke museum adalah menyenangkan. Kalau misalnya dia balik lagi dengan tema yang lain, misalnya kalau bahas Mercusuar, ya nanti ada lagi, programnya beda lagi.
Ia juga berujar, bahwa museum di Australia, khususnya museum maritim, memiliki aktivitas berbeda sesuai dengan preferensi pengunjung. Mulai dari anak sekolah, dewasa, lansia, hingga tamu umum dapat memilih aktivitas.
"Jadi tergantung anak, tergantung umur, tergantung kelas, sesuai sama kursus-kursus sekolah juga. Belum lagi keluarga, program untuk lansia beda lagi. Anak-anak dan keluarga dengan special needs beda lagi. Jadi mereka bisa akomodir," jelasnya.
Menurutnya, program ini juga bisa diterapkan oleh banyak museum di Indonesia. Yang paling penting adalah keinginan dari para stakeholder dan pengelola museum untuk berubah.
"Sebenarnya kalau program ya, selama kita kreatif dan kita tau teorinya gimana terus kita mau berubah yang penting kita mau berubah sih bisa harusnya," imbuhnya.
"Biasanya kan kita tendensinya untuk doing business as usual udah kayak gini nih biasanya. Misalnya bikin lomba gambar, karena sudah dari dulu seperti ini. Justru kalau di luar negeri, museum nggak ada yang namanya lomba sama sekali. Kita bisa melakukan sesuatu, mengalami sesuatu, kita be something, do something, experience something, doing art and craft tidak dilombakan," pungkasnya.
Meningkatnya kunjungan museum karena inovasi juga dirasakan oleh Museum Bahari Jakarta. Itu yang disampaikan oleh Edukator dan Sosial media Administrator Museum Kebaharian Jakarta, Dhita Amelia.
Ia menyebut Museum Bahari Jakarta saat ini telah memiliki kegiatan workshop dan teknologi Virtual Reality (VR). Selain itu, upaya pendekatan dengan generasi muda lewat keaaktifan media sosial juga ia rasa sangat berperan.
"Pengaruh juga sih, kita juga kan sekarang main di sosial media dan itu anak-anak lihatnya di sosial media. Itu ngaruh. Dari sebelum corona sudah dikelola, jadi kita aktifnya di Instagram sama Tiktok, yang ramai di Instagram," ujarnya saat dihubungi detikTravel.
(wkn/wsw)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol