China mau melarang warganya memakai pakaian yang dianggap menyakiti perasaan bangsa. Kini sudah ada rancangan undang-undang yang juga melarang pembicaraan di mana itu merugikan semangat warga.
Dilansir dari BBC, Jumat (8/9/2023), rancangan undang-undang itu lalu memicu perdebatan di China. Jika berlaku, orang yang dinyatakan bersalah dapat didenda atau dipenjara.
Namun usulan tersebut belum menjelaskan secara rinci apa yang termasuk dalam pelanggaran. Pengguna media sosial dan pakar hukum menyerukan kejelasan lebih lanjut untuk menghindari penegakan hukum yang berlebihan.
Baru-baru ini, China merilis sejumlah usulan perubahan terhadap undang-undang keamanan publiknya. Itu merupakan reformasi pertama dalam beberapa dekade.
Undang-undang tentang pakaian ini mendapat reaksi langsung dari masyarakat dan banyak orang di dunia maya. Mereka mengkritik karena dianggap berlebihan dan tidak masuk akal.
Klausul kontroversialnya menyatakan bahwa orang yang mengenakan atau memaksa orang lain mengenakan pakaian dan simbol yang merusak semangat atau melukai perasaan bangsa China dapat ditahan hingga 15 hari dan didenda hingga 5.000 yuan atau Rp 10 juta.
Mereka yang membuat atau menyebarkan artikel atau pidato yang melakukan hal tersebut juga dapat menghadapi hukuman yang sama.
Perubahan hukum yang diusulkan juga melarang penghinaan, fitnah atau pelanggaran terhadap nama pahlawan dan martir setempat serta vandalisme terhadap patung peringatan mereka.
Di dunia maya, orang-orang mempertanyakan bagaimana penegak hukum dapat secara sepihak menentukan kapan perasaan suatu negara terluka.
"Apakah mengenakan jas dan dasi akan diperhitungkan? Marxisme yang berasal dari Barat. Apakah kehadirannya di China juga dianggap menyakiti perasaan nasional," kata salah satu pengguna Weibo.
Pakar hukum di negara tersebut juga mengkritik kalimat yang tidak jelas dalam undang-undang tersebut, dengan mengatakan bahwa undang-undang tersebut dapat disalahgunakan.
Zhao Hong, seorang profesor hukum di Universitas Ilmu Politik dan Hukum China mengatakan kurangnya kejelasan dapat menyebabkan pelanggaran hak-hak pribadi.
"Bagaimana jika penegak hukum, biasanya petugas polisi, memiliki interpretasi pribadi atas rasa sakit hati tersebut dan memulai penilaian moral terhadap orang lain di luar cakupan hukum," tulisnya dalam sebuah artikel.
Dia mengutip satu kasus yang menjadi berita utama China pada tahun lalu. Seorang wanita berkimono ditahan di Kota Suzhou dan dituduh menimbulkan pertengkaran dan memprovokasi masalah karena dia mengenakan pakaian Jepang dan insiden ini memicu kemarahan di media sosial China.
Pada bulan Maret tahun ini, polisi menahan seorang wanita yang mengenakan tiruan seragam militer Jepang di pasar malam.
Dan awal bulan lalu, orang-orang yang mengenakan pakaian bermotif pelangi ditolak masuk ke konser penyanyi Taiwan, Chang Hui-mei, di Beijing.
Rancangan undang-undang tersebut hanyalah salah satu contoh bagaimana Presiden China Xi Jinping berupaya mendefinisikan kembali apa yang menjadi teladan warga sejak ia menjabat sebagai pemimpin pada tahun 2012.
Pada tahun 2019, Partai Komunis China yang dipimpinnya mengeluarkan pedoman moral yang mencakup arahan seperti bersikap sopan, bepergian dengan jejak karbon yang lebih rendah, dan memiliki kepercayaan pada Xi dan partainya.
Simak Video "Video: Momen Bulan Purnama Mencapai Titik Terendah di Langit China"
(msl/fem)