Mengintip Pabrik Cerutu Tertua se-Asia Tenggara yang Ada di Yogyakarta

Mahendra Lavidavayastama dan Galardialga Kustanto - detikTravel
Jumat, 01 Des 2023 13:45 WIB
Pabrik cerutu tertua se-Asia Tenggara, Taru Martani. (Mahendra Lavidavayastama/detikJogja)
Yogyakarta -

Yogyakarta memiliki sejarah panjang terkait cerutu. Terbukti dengan adanya Taru Martani, yakni pabrik cerutu yang disebut tertua se-Asia Tenggara.

Pabrik cerutu Taru Martani telah beroperasi sejak 1918. Pabrik ini mulanya berada di Jalan Magelang dan dimiliki oleh warga berkebangsaan Belanda.

Pantauan detikJogja, Kamis (30/11/2023), di Jalan Komol Bambang Suprapto, Gondokusuman, Yogyakarta ini terdapat beberapa ruangan. Ruangan pertama berisi beberapa lukisan dan foto mulai dari pendiri pabrik yakni Adolphe Antoine Louis Marie Mignot dan sederet foto kunjungan tamu. Bahkan, ada pula potret pejuang revolusi Kuba, Ernesto 'Che' Guevara dan beberapa tokoh Indonesia.

Di bagian belakang pabrik tersebut terlihat aktivitas pegawai yang tengah menjemur daun tembakau dan memisahkan daun tembakau dari tulang daunnya. Terlihat juga para perempuan yang sibuk melinting cerutu dengan alat linting manual.

Pabrik cerutu Taru Martani 1918. Foto diambil Kamis (30/11/2023). (Mahendra Lavidavayastama/detikJogja)

Memasuki lokasi, aroma tembakau langsung menyeruak pekat di ruangan besar tersebut. Di ruangan lainnya, tampak beberapa cerutu yang sudah dikemas dan siap diedarkan.

Inisiasi Warga Belanda Keturunan Prancis

Perusahaan ini dulunya dimiliki seseorang berkebangsaan Belanda keturunan Perancis, itu dijelaskan Kepala Divisi Produksi Taru Martani 1918, Adam Santosa. Ia juga menjelaskan jika perusahaan ini mulanya berada di Jalan Magelang, Yogyakarta, pada tahun 1918

"Jadi berdirinya (Taru Martani) tahun 1918 dulu dimiliki oleh pribadi bukan company. Awalnya di Jalan Magelang itu, pemiliknya bernama Adolphe Antoine Louis Marie Mignot, dia berkebangsaan Belanda tapi punya keturunan Perancis juga," kata Adam saat ditemui di Taru Martani, pada Kamis (30/11/2023).

Seiring berkembangnya waktu, pabrik cerutu ini mengalami perkembangan yang pesat dan Adolphe memutuskan untuk membeli tanah di daerah Baciro yang menjadi lokasi saat ini. Di kawasan Baciro inilah, Adolphe memutuskan untuk mendirikan perusahaan yang lebih besar pada 1921 dan diberi nama N.V. Negresco.

"Kemudian 1921 (pabrik) dipindahkan, dia (Adolphe) merasa bahwa perlu mendirikan perusahaan yang cukup besar maka dia beli tanah di daerah sini, Baciro dari dulu tanah itu seluas ini. Karena usahanya berkembang dengan baik, waktu itu (nama) perusahaan N.V. Negresco waktu itu," jelasnya.

Namun, pada masa penjajahan Jepang pada 1942 perusahaan ini diambil alih. N.V. Negresco ini pun berganti nama menjadi Jawa Tobacco Kojo.

"Ketika Jepang menduduki Indonesia saat itu tahun 1942, maka otomatis perusahaan ini direbut oleh Jepang kemudian diganti lah namanya menjadi Jawa Tobacco Kojo. (Mereka) Kemudian mengeluarkan produk-produk, kalau dulu ada namanya merek Panther dan lain sebagainya, oleh Jepang produknya diubah namanya menjadi ada Mizuho, Momo Taro, Koa," ujar Adam.

Berganti Jadi Taru Martani di Masa Sultan HB IX

Hingga akhirnya adanya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima membuat semua perusahaan yang di bawah kendali Jepang saat itu tidak bertahan lama. Pada 1945, pabrik ini diambil alih oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diberi nama Taru Martani.

"Perusahaan ini dinamakan Taru Martani yang filosofi dari itu adalah Taru (artinya) daun, Martani (artinya) yang memberi kehidupan. Jadi dimaksudkan bahwa perusahaan yang mengolah daun tembakau ini diharapkan bisa memberikan kehidupan kepada pekerja maupun masyarakat di sekitar DIY tahun 1946," jelas Adam.

Meskipun sudah bertahan selama satu abad lebih, nyatanya perjalanan pabrik Taru Martani tidak selalu berjalan mulus. Pada 1961, pemerintah Indonesia melalui Bank Industri Negara menghidupkan kembali pabrik cerutu ini dengan melakukan kerja sama.

Namun, upaya tersebut kurang membuahkan hasil. Akhirnya, Taru Martani di bawah kepemilikan Sri Sultan Hamengku Buwono IX melakukan kerja sama dengan perusahaan Belanda yaitu Douwe Egberts. Semenjak saat itu, mulai ada peningkatan penjualan yang pesat, bahkan karyawan pada saat itu mencapai 1.000 orang.

Sempat Jaya di Tahun 1997

Pada 1986 Belanda melepaskan usaha tersebut dan menghibahkan semua peralatan pabrik kepada Pemerintah Provinsi DIY. Hingga akhirnya puncak kejayaan cerutu Taru Martani disebut terjadi pada 1997.

"Saya pertama masuk tahun 1997 itu pas gemilangnya, saat itu cerutunya lho sangat gemilang. Dulu di tahun 1997 satu bulan hanya Amerika saja itu 1,2 juta batang per bulannya," kenang Adam.

_________________

Artikel ini telah tayang di detikJogja



Simak Video "Video: Detik-detik KA Sancaka Dilempar Batu, Penumpang Kena Serpihan Kaca"

(wkn/wkn)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork