Kematian tiga ekor harimau di Medan Zoo dalam waktu berdekatan disorot aktivis dan peneliti. Kematian hewan liar di kebun binatang adalah kabar menyedihkan, tetapi juga tidak mengejutkan.
Rheza Maulana, seorang peneliti dan aktivis lingkungan, menilai sejak pandemi hewan-hewan turut kesulitan. Kebun binatang tutup sehingga tidak mendapatkan pemasukan dari tiket masuk. Lini lain yang menyokong juga kemungkinan buntu.
"Kalau kita dengar penyebab hal ini bisa terjadi, intinya ada di faktor ekonomi karena berkurangnya pengunjung dan tidak adanya bantuan dana. Penjelasan yang sama juga kita dengar dari berbagai zoo yang terbengkalai selama masa pandemi, akhirnya kita bisa melihat pola 'kan? Nah pola ini yang perlu kita telaah. Karena kalau terus dibiarkan, ya kasus yang sama akan terjadi terus menerus. Bukan hanya kasihan bagi satwanya, tapi juga para pekerja di zoo tersebut," kata Rheza kepada detikcom, Kamis (11/1/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi kebun binatang terbengkalai itu bertolak belakang sekali dengan adanya pembangunan kebun binatang baru. Para praktisi lingkungan pun mengimbau untuk memprioritaskan operasional kebun binatang yang terbengkalai dibanding membangun baru.
"Dalam beberapa tahun terakhir juga kami para praktisi mengimbau, ketimbang membuat zoo baru dengan mendatangkan atau breeding satwa baru, kenapa tidak menolong zoo yang terbengkalai? Bahkan, ada juga individu yang mungkin memiliki kelebihan finansial, mereka pelihara satwa liar di rumahnya sendiri," kata dia.
"Ini kan menimbulkan pertanyaan, kenapa tidak merawat satwa liar yang sekarang sakit atau cacat dan tidak terurus? Kenapa terus menerus mendatangkan, breeding, dan 'memproduksi' satwa liar baru; termasuk satwa liar asing, padahal banyak satwa liar lokal yang perlu pertolongan? Kalau memang fokusnya konservasi kan sebaiknya seperti itu ya, tapi kalau fokusnya bisnis ya tentu berbeda," dia menambahkan.
Terkait keberadaan Medan Zoo, Rheza mempertanyakan bagaimana pengelolaan manajemen kebun binatang.
"Secara umum, zoo itu kan sistemnya terima untung ya? Maksudnya semuanya berbayar. Masuk bayar, beli makan minum bayar, beli merchandise bayar, foto dengan satwa bayar, nonton atraksi bayar. Mengapa begitu pengunjung berkurang, langsung terdampak finansialnya? Padahal, ada lho lembaga konservasi yang tidak terima pengunjung sama sekali, tapi tetap mampu beroperasi merawat satwa bertahun-tahun," katanya.
Dia pun memberi contoh bagaimana baiknya cara Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) yang sifatnya nirlaba, tidak terima untung. Mereka tidak terima pengunjung sama sekali, tapi mampu beroperasi dan bahkan ketika pandemi pun tetap beroperasi merawat satwa dan tidak tutup.
"Saya perhatikan PPS memiliki sumber pemasukan yang bervariasi. Mereka tidak terima untung dari pengunjung tapi mereka menerima donasi, sponsor, dan lain sebagainya. Mereka juga menerima volunteer atau relawan untuk membantu operasional seperti membantu memberi pakan atau membersihkan kandang. Bahkan salah satu PPS di Jawa Barat, selama pandemi mereka kekurangan dana untuk biaya pakan, mereka beradaptasi dengan bercocok tanam. Jadi, mereka produksi sendiri sumber pakan untuk satwa herbivoranya," kata dia.
Rheza saran itu bukan hanya untuk Medan Zoo, namun kebun binatang yang ada di Indonesia yang terdampak persoalan ekonomi dapat mempelajari sistem manajemen dari lembaga konservasi yang sejenis.
Di masa mendatang, tidak tertutup kemungkinan juga kebun binatang yang saat ini sedang jaya akan berada di posisi seperti Medan Zoo. Rheza pun mewanti-wanti, karena kebun binatang yang terbengkalai saat ini dulunya juga berjaya.
"Kita semua sebagai masyarakat harus mempertimbangkan, apakah zoo masih relevan di zaman modern? Karena zoo yang sekarang terbengkalai juga dulunya jaya. Apakah zoo yang sekarang masih jaya, dengan manajemen yang sama mampu kelak tidak terbengkalai juga? Apa jaminannya pengunjung tidak akan bosan kelak melihat satwa itu-itu saja di kandang, hingga akhirnya pengunjung sepi juga?" kata dia.
Sebagai aktivis dan akademisi, Rheza mengingatkan bahwa satwa liar kodratnya di alam. Dia pun memberikan saran untuk berfokus pada konservasi di dalam habitat
"Kalau mereka ditempatkan di kurungan seperti di zoo, tanpa ada rencana untuk dilepasliarkan atau program breeding agar anakannya dapat dilepasliarkan, ya satwa itu tidak memiliki nilai konservasi ke alam. Hanya tinggal tunggu waktu saja untuk satwa itu mati, entah karena usia tua, atau faktor lain," ujar dia.
"Misalkan rata-rata ukuran zoo adalah 15 hektar, bukankah lebih baik untuk mencadangkan 15 hektar areal alam seperti hutan lindung yang benar-benar alami untuk kehidupan satwa liar? Di sana satwa liar bisa hidup bebas, beranak pinak, bertambah populasinya, menjalankan peran konservasinya ke alam, dan kita bisa berekreasi melalui eko-wisata. Kalaupun ada satwa yang mati di sana, mereka tetap menjalankan peran konservasi mereka. Jasad mati mereka akan menjadi pakan bagi satwa lain, bahkan hingga tulang belulangnya terserap menyuburkan tanah dan segala mikro-organisme yang ada," kata dia.
(sym/fem)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol