Boven Digoel, Tempat Pengasingan Banyak Pejuang Kemerdekaan

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Boven Digoel, Tempat Pengasingan Banyak Pejuang Kemerdekaan

Weka Kanaka - detikTravel
Kamis, 06 Jun 2024 06:05 WIB
Camp Konsentrasi Boven Digoel
Patung Bung Hatta di Boven Digoel, Papua Selatan. (Gema Bayu Samudra/d'Traveler)
Jakarta -

Boven Digoel sedang diperbincangkan belakangan ini. Kawasan di Papua itu terkait erat dengan banyak tokoh kemerdekaan Indonesia.

Kabupaten Boven Digoel merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, dan Kabupaten Mappi. Daerah itu diresmikan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2002.

Kendati terbilang baru secara administratif, namun daerah yang dulunya disebut Digul Atas memiliki sejarah panjang sejak era pra kemerdekaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Boven Digoel menjadi tempat pengasingan tokoh-tokoh penting seperti Mohammad Hatta, Sayuti Melik, Mas Marco Kartodikromo, Mohammad Bondan, Thomas Najoan, Chalid Salim, Lie Eng Hok, Muchtar Lutfi, Ilyas Ya'kub dan lainnya.

Melansir Indonesia.go.id, Kamis (6/6/2024), terdapat 1.308 orang yang sempat diasingkan ke sana.

ADVERTISEMENT

Digoel dikenal sebagai penjara alam karena di sekelilingnya berisikan hutan rimba dengan pepohonan yang menjulang tinggi. Daerah itu jauh dari pusat pemukiman dan dulu hanya dapat diakses lewat jalur udara.

Selain itu, Digoel masa itu disebut daerah yang mengerikan karena terdapat banyak nyamuk malaria yang ganas. Adapun, Sungai Digul yang punya panjang 525 kilometer, kendati bisa menjadi sumber air dan makanan, juga terdapat banyak buaya di sana. Korbannya, tawanan bernama Mangoenatmodjo tewas dimangsa buaya saat sedang mandi di Sungai Digoel.

Di samping itu, di sekitar kamp Boven Digoel juga banyak dihuni oleh suku setempat yang masih tak ramah dengan orang asing. Tawanan bernama Dahlan dan Sukrawinata yang adalah mantan pemimpin Komite Revolusioner Batavia pun menjadi korban ketika diserang suku Mappi-Papua saat itu.

Bung Hatta pun sempat merasakan liarnya alam Digoel selama satu tahun. Saat ini, patung Bung Hatta pun berdiri di sana bersama dengan tulisannya perihal pengalamannya menjalani pengasingan.

"Ke mana kita dibawa oleh nasib, ke mana kita dibuang oleh yang berkuasa, tiap-tiap bidang tanah dalam Indonesia ini, itulah juga Tanah Air kita. Di atas segala lapangan tanah air aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang tersimpan dalam dadaku," tulis kutipan Bung Hatta.

Penghuni Digoel hampir semuanya adalah eks aktivis politik yang melakukan pemberontakan kepada kolonial Belanda.

Dulu, para tapol di Digoel berusaha melarikan diri dari kawasan yang amat berbahaya itu. Namun, berbagai kesulitan dihadapi mereka. Misalnya salah satu tawanan Thomas Nayoan asal Minahasa.

Dalam Buku Jalan ke Pengasingan karya John Ingleson, ia diceritakan adalah tawanan yang gigih melarikan diri. Namun pelariannya gagal dan sempat tersesat hingga Australia ketika ia mencoba menyusuri sungai dengan perahu. Sialnya, karena Australia memiliki perjanjian ektradisi dengan Belanda, ia dikembalikan ke kamp digoel.

Sedangkan ada kisah pelarian terlama dari Digoel yang dilakukan oleh Sandjojo dan kawan-kawannya. Mereka tiba di Thursday Island, Australia, dan sempat membuka jasa cukur rambut. Namun sayang, mereka kembali tertangkap polisi rahasia Hindia Belanda yang mendapat informasi dari salah satu surat yang dikirimkan oleh buronan kepada keluarga di kampung.

Menurut sejarawan Belanda, J.M. Pluvier, suasana kamp Digoel tidak seseram kamp yang dibangun rezim Nazi seperti di Auswitch. Tetapi pemerintah Hindia Belanda melakukan cara lain untuk menghancurkan mental para pejuang.

Yakni setiap penahanan dan pembebasan tapol selalu diberitakan di media massa saat itu. Mereka yang dibuang ataupun dibebaskan akan diwawancara oleh media. Itu yang membuat banyak pejuang era kemerdekaan merasa takut jika dibuang di kamp Boven Digoel.

Kini, Boven Digoel lah yang terancam. Hutan adat di kawasan itu bakal dialihfungsikan menjadi kebun sawit. Itu bermula dari pemerintah provinsi yang mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL) seluas 36.094 hektar. Sebagian izin tersebut berada di hutan adat marga Woro, bagian dari suku Awyu.

Pada akhir Mei 2024, suku Awyu dan Moi bersama perwakilan organisasi masyarakat sipil menggelar aksi di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta. Mereka meminta MA dapat membatalkan izin perusahaan sawit yang tengah mereka lawan.

Pembatalan izin itu bisa menyelamatkan hutan Papua. Selama ini, mayoritas masyarakat adat di Papua, termasuk warga Awyu dan Moi, memanfaatkan hutan dan tanah adat sebagai ruang penghidupan bersama sekaligus keperluan berburu, berkebun, pangan, obat-obatan, budaya, ekonomi, dan pengembangan pengetahuan. Perubahan hutan menjadi perkebunan sawit akan menghilangkan fungsi dan daya dukung lingkungan alam.




(wkn/fem)

Hide Ads