Suku Karo memiliki beragam ritual yang sakral peninggalan para leluhur. Salah satunya adalah Nampeken Tulan-tulan, ritual penggalian tulang tengkorak manusia.
Nampeken Tulan-tulan adalah ritual penggalian kuburan leluhur yang telah lama meninggal. Penggalian ini biasanya dilakukan untuk memindahkan tengkorak ke tempat yang lebih bagus.
Dikutip dari Jurnal Eksplorasi Cerita Nampeken Tulan-Tulan Dalam Suku Karo dari Universitas Prima Indonesia, ritual tersebut merupakan wujud penghormatan kepada leluhur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penggalian biasanya tidak hanya satu kuburan, karena setelah penggalian kuburan, tulang tengkorak yang berasal dari dua atau tiga kuburan akan disatukan menjadi satu kuburan.
Dalam ritual Nampeken Tulan-tulan ini tidak ditentukan kapan harus digali, biasanya tergantung kondisi ekonomi keluarga tersebut. Selain itu, penyelenggara akan membuat rapat adat guna mendapat hari yang tepat.
Diketahui, dalam menjalani tradisi Nampeken Tulan-tulan, saat pengambilan tulang-tulang ini, kalimbubu simada dareh harus turut ikut. Kalimbubu simada dareh merupakan saudara laki-laki kandung dari ibu kita atau paman kita.
Kalimbubu simada dareh harus teliti dan harus mengingat yang dimana anak beru kita dikubur. Setelah semua kalimbubu berkumpul, kalimbubu akan mencangkul dan berdoa.
Setelah itu, kalimbubu menyerahkan kepada anak beru yang harus membersihkan tulang-tulang tersebut lalu dicuci bersih. Setelah bersih tulang belulang akan disusun sedemikian rupa dan kemudian dibacakan doa-doa.
Kemudian, tulang yang telah disusun akan dibawa ke rumah atau balai pertemuan desa. Acara Nampeken Tulan-tulan biasanya dihadiri oleh pihak keluarga yang bersangkutan.
Acara itu biasanya dihadiri lebih banyak orang dibandingkan pesta pernikahan ataupun adat kematian. Setelah prosesi adat selesai, maka tulang-tulang tersebut dimasukkan ke dalam satu bangunan yang disebut Geriten.
Walaupun begitu, saat ini tradisi adat Nampeken Tulan-tulan sudah mulai jarang dilaksanakan oleh masyarakat etnis Karo, khususnya yang sudah hidup dalam dunia modern. Beberapa masyarakat etnis Karo bahkan sudah tidak pernah mengikuti tradisi itu.
"Terakhir ikuti tradisi ini waktu SD tapi tidak ikut ke kuburannya, kami menunggu di jambur. Sekarang udah enggak pernah lagi ikut karena prosesinya yang cukup rumit," ucap Angel, warga etnis Karo.
-------
Artikel ini telah naik di detikSumut.
(wsw/wsw)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol