Cerita Penyintas Terakhir Bom Atom Jepang, Hibakusha-Hujan Hitam

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Cerita Penyintas Terakhir Bom Atom Jepang, Hibakusha-Hujan Hitam

Ahmad Masaul Khoiri - detikTravel
Jumat, 02 Agu 2024 07:02 WIB
Penyintas bom atom Hiroshima Jepang
Kota Hiroshima Jepang usai dibom atom (BBC)
Jakarta -

Saat itu masih pagi, tetapi sudah terasa panas. Sambil menyeka keringat di dahinya, Chieko Kiriake mencari tempat teduh.

Di saat itu pula, muncul cahaya menyilaukan dan tidak pernah sekali pun dilihat oleh anak berusia 15 tahun itu. Saat itu pukul 08.15 pada tanggal 6 Agustus 1945.

"Rasanya seperti matahari telah jatuh dan saya merasa pusing," kata Chieko seperti dikutip dari BBC, jumat (1/8/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ternyata, Amerika Serikat (AS) baru saja menjatuhkan bom atom di kota tempat tinggal Chieko, Hiroshima. Itu adalah pertama kalinya senjata nuklir digunakan dalam perang.

Di saat itu disiarkan kabar Jerman menyerah di Eropa, pasukan sekutu yang bertempur dalam Perang Dunia Kedua masih berperang dengan Jepang.

ADVERTISEMENT

Chieko adalah seorang siswa, tetapi seperti banyak siswa yang lebih tua, ia telah dikirim untuk bekerja di pabrik-pabrik selama perang. Dia berjalan terhuyung-huyung ke sekolahnya, menggendong seorang teman yang terluka di punggungnya.

Banyak siswa yang mengalami luka bakar parah. Dia mengoleskan minyak bekas, yang ditemukan di ruang kelas ke luka-luka mereka.

Penyintas bom atom Hiroshima JepangPenyintas bom atom Hiroshima Jepang, Chieko Kiriake (BBC)

"Itulah satu-satunya perawatan yang bisa kami berikan kepada mereka. Mereka meninggal satu demi satu," kata Chieko.

"Kami para siswa yang lebih tua yang selamat diperintahkan oleh guru-guru kami untuk menggali lubang di taman bermain dan saya mengkremasi teman sekelas dengan tangan saya sendiri," kata Chieko yang sekarang berusia 94 tahun.

Waktu senja para Hibakusha

Sudah hampir 80 tahun sejak bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Waktu hampir habis bagi para korban yang masih hidup untuk menceritakan kisah penyintas yang dikenal sebagai hibakusha.

Banyak dari mereka hidup dengan masalah kesehatan, kehilangan orang yang mereka cintai, dan didiskriminasi karena serangan atom.

Setelah kesedihan itu, kehidupan baru mulai kembali ke kota. Orang-orang mengatakan bahwa rumput tidak akan tumbuh selama 75 tahun.

"Tetapi pada musim semi tahun berikutnya, burung-burung pipit itu kembali," kata Chieko.

Selama hidupnya, Chieko mengatakan bahwa ia telah berkali-kali hampir meninggal, tetapi ia yakin bahwa ia telah dipertahankan oleh kekuatan yang lebih besar.

Mayoritas hibakusha yang masih hidup saat ini adalah anak-anak yang hidup pada masa pengeboman. Seiring bertambahnya usia, konflik global semakin meningkat. Bagi mereka, risiko eskalasi nuklir terasa lebih nyata dari sebelumnya.

Penyintas bom atom Hiroshima JepangPenyintas bom atom Hiroshima Jepang, Michiko Kodama (BBC)

"Tubuh saya gemetar dan air mata saya meluap," kata Michiko Kodama, 86 tahun, saat memikirkan konflik di seluruh dunia saat ini. Ia mencontohkan invasi Rusia ke Ukraina dan perang Israel-Gaza.

"Kita tidak boleh membiarkan neraka bom atom tercipta kembali. Saya merasakan adanya krisis," kata dia.

Michiko adalah seorang juru kampanye yang vokal untuk perlucutan senjata nuklir dan mengatakan bahwa ia berbicara agar suara mereka yang telah meninggal dapat didengar dan kesaksiannya dapat diteruskan ke generasi berikutnya.

"Menurut saya, penting untuk mendengar cerita langsung dari para hibakusha yang mengalami pengeboman secara langsung," kata dia.

Hujan hitam radioaktif

Michiko berusia tujuh tahun sedang berada di sekolah ketika bom dijatuhkan di Hiroshima. Melalui jendela kelas, ia melihat cahaya yang sangat terang yang melesat ke arahnya, warnanya kuning, oranye, perak.

Dia menggambarkan bagaimana jendela-jendela itu pecah dan berserakan di seluruh ruang kelas. Puing-puingnya menyembur ke mana-mana menusuk dinding, meja, dan kursi.

"Langit-langitnya pun runtuh. Jadi saya bersembunyi di bawah meja," kata dia.

Setelah ledakan itu, Michiko melihat ke sekeliling ruangan yang hancur. Di setiap arah ia dapat melihat tangan dan kaki yang terperangkap.

"Saya merangkak dari ruang kelas ke koridor dan teman-teman saya berkata, 'Tolong saya'," kata dia.

Ketika ayahnya datang menjemput, ia menggendongnya pulang ke rumah dengan punggungnya. Hujan hitam mengiringi, seperti lumpur, turun dari langit dan itu adalah campuran bahan radioaktif dan residu dari ledakan.

Dia tidak pernah bisa melupakan perjalanan pulang ke rumah. "Itu adalah pemandangan dari neraka," kata Michiko.

"Orang-orang yang melarikan diri ke arah kami, sebagian besar pakaian mereka telah terbakar habis dan daging mereka meleleh," kata dia.

Dia ingat melihat seorang anak perempuan, sendirian, seumuran dengannya. Gadis itu mengalami luka bakar yang parah tapi matanya terbuka lebar.

"Mata gadis itu, masih menusuk saya. Saya tidak bisa melupakannya. Meskipun 78 tahun telah berlalu, dia membekas dalam pikiran dan jiwa saya," kata Michiko.

Michiko tidak akan hidup hari ini jika keluarganya tetap tinggal di rumah lama mereka. Rumah itu hanya berjarak 350 meter dari tempat bom meledak. Sekitar 20 hari sebelumnya, keluarganya telah pindah rumah, hanya beberapa kilometer jauhnya dan itu menyelamatkan nyawanya.

Diperkirakan, jumlah nyawa yang hilang di Hiroshima, pada akhir tahun 1945, mencapai sekitar 140.000. Di Nagasaki, yang dibom atom oleh Amerika Serikat tiga hari kemudian, setidaknya 74.000 orang terbunuh.




(msl/fem)

Hide Ads