Patut Dicontoh! Korea Selatan Mendaur Ulang 97% Limbah Makanan

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Patut Dicontoh! Korea Selatan Mendaur Ulang 97% Limbah Makanan

Femi Diah - detikTravel
Senin, 14 Okt 2024 18:05 WIB
Ilustrasi food waste (sampah makanan0
Ilustrasi food waste (sampah makanan (Getty Images/lucentius)
Seoul -

Korea Selatan mempunyai kiat ampuh untuk mengatasi sampah makanan. Warga dimudahkan untuk mendaur ulang sampah makanan, bagaimana caranya?

Bahkan, bagi warga Korsel, mendaur ulang sampah makanan, yakni makanan siap santap namun tidak termakan dan dibuang, sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Sistem itu dirintis pemerintah Korsel dengan kampanye pay as your trash, yakni aturan yang mengenakan biaya kepada individu yang membuang sampah berdasarkan volumenya.

Cara itu diterapkan sejak 2013. Tujuannya adalah mendorong warga untuk mengurangi sampah serta meningkatkan daur ulang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dikutip dari BBC, Senin (14/10/2024), pengalaman itu dikisahkan Yuna Ku, seorang jurnalis BBC Korea yang tinggal di Seoul. Yuna membayar untuk mendaur ulang sisa makanannya. Sisa-sisa makanan itu dimasukkan ke dalam mesin dengan sensor yang ada di berbagai titik apartemen tempat tinggalnya.

Yuna mengatakan mayoritas warga mematuhi sistem daur ulang itu, termasuk ketentuan soal sampah aluminium, plastik, dan material lainnya. Warga yang membuang sampah makanan dengan cara yang tidak benar maka harus membayar denda. Tindakan itu bisa ketahuan, terutama pada bisnis restoran atau katering. Membuang sampah yang tidak sesuai aturan juga bisa ketahuan melalui kamera keamanan.

ADVERTISEMENT

"Di gedung saya, misalnya, ada peringatan dengan pesan: 'Seseorang baru saja membuang sampah makanan dengan cara yang melanggar. Kami memiliki kamera keamanan dan kami mengawasi Anda. Jadi, kalau Anda melakukannya, Anda harus membayar denda," kata Yuna.

Denda untuk rumah tangga bisa mencapai USD 70 (Rp 1,095 juta) tergantung seberapa sering melanggar. Untuk bisnis, dendanya bisa melebihi 10 juta won (Rp 116,2 juta).

Dengan cara itu, Korsel bisa mendaur ulang nyaris 100 persen limbah makanan. Persentase itu lebih unggul ketimbang Amerika Serikat (AS).

"Menurut data terbaru dari Sistem Pengelolaan Sampah Nasional, ada sekitar 4,56 juta ton sampah makanan (dari rumah, usaha kecil dan restoran) yang diproses setiap tahunnya sejak 2022," kata Jae-Cheol Jang, profesor Institut Pertanian di Universitas Nasional Gyeongsang yang punya penelitian terbaru soal sistem daur ulang limbah makanan di Korea.

"Dari jumlah itu, sebanyak 4,44 juta ton didaur ulang untuk kebutuhan lain. Itu berarti sekitar 97,5% sampah makanan didaur ulang," dia menegaskan.

Badan Perlindungan Lingkungan AS memperkirakan bahwa 60% dari 66 juta ton sampah makanan yang dihasilkan oleh rumah tangga, supermarket, dan restoran pada 2019 berujung di tempat pembuangan akhir.

Berawal dari Protes Warga

Sistem yang diterapkan Korsel itu merupakan hasil dari usaha selama puluhan tahun. Pada 1996, Korea Selatan hanya mendaur ulang 2,6 persen sampah makanannya. Kemudian, muncul transformasi ekonomi pada era 1980-an.

"Tahun 1980-an adalah periode penting bagi perkembangan ekonomi Korea Selatan. Dengan industrialisasi dan urbanisasi, masalah sosial juga muncul. Salah satunya adalah pengelolaan sampah," kata Jang.

Korea Selatan berpenduduk 50 juta jiwa dengan kepadatan penduduk 530 orang per kilometer persegi. Perubahan ekonomi di Korea Selatan menyebabkan jumlah tempat pembuangan sampah meningkat. Beberapa di antaranya dekat dengan kawasan padat penduduk sehingga membuat warga protes.Sampah makanan yang bercampur dengan jenis sampah lainnya akan menimbulkan bau tidak sedap, menghasilkan limbah cair, hingga berkontribusi pada perubahan iklim.

Sampah makanan yang terurai akan menjadi sumber metana. Itu adalah gas rumah kaca yang bahkan lebih kuat daripada karbon dioksida.
Warga kemudian mendesak ada solusi soal masalah tempat pembuangan sampah.

"Ada solidaritas yang kuat untuk mengatasi masalah sosial bersama-sama, dan kebijakan pengelolaan sampah pemerintah dengan upaya secara nasional akhirnya menghasilkan sistem saat ini," kata Jang.

Pada 1995, sistem pembayaran untuk jumlah sampah yang dihasilkan telah disetujui tanpa memisahkan limbah makanan dari sampah umum.
Pembuangan sampah makanan di tempat pembuangan akhir (TPA) dilarang secara hukum pada 2005. Kemudian pada 2013, sistem pembayaran berdasarkan berat sampah makanan (Weight Food Waste Fee atau WBWF) mulai diterapkan dan berlaku sampai saat ini.

Sistem itu terus berkembang seiring kemajuan teknologi. Prinsip dasarnya: "Anda harus membayar setiap kali Anda membuang sisa makanan."




(fem/fem)

Hide Ads