Dicari! Dalang Kerusakan Puncak, Sampai Bisa Terobos Aturan dan Izin

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Dicari! Dalang Kerusakan Puncak, Sampai Bisa Terobos Aturan dan Izin

Femi Diah - detikTravel
Rabu, 19 Mar 2025 04:05 WIB
Pembongkaran bangunan Hibisc Fantasy Puncak, Bogor, Jawa Barat (M Sholihin/detikcom)
Pembongkaran bangunan Hibisc Fantasy Puncak, Bogor, Jawa Barat (M Sholihin/detikcom)
Jakarta -

Banjir yang melanda Jabodetabek memicu pertanyaan besar siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di Puncak? Aktivis lingkungan menuding adanya dalang yang memfasilitasi kebijakan perusakan hutan dan alih fungsi lahan, bukan sekadar kesalahan individu.

Bencana banjir di Puncak, Bogor, yang berulang kali terjadi, dan paling anyar terjadi pada awal Maret, bukan hanya disebabkan oleh faktor alam, tetapi juga oleh alih fungsi lahan yang tidak sesuai. Bangunan-bangunan yang berdiri di kawasan Puncak, yang seharusnya menjadi area resapan air, menjadi kontributor utama banjir.

Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Prayoga, dalam acara Focus Group Discussion (FGD) Rencana Revisi Undang-Undang Kehutanan, pada Selasa (18/3/2025) di Jakarta mengindikasikan adanya "dalang" di balik kerusakan itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dengan dirusaknya hutan serta dialih fungsikan tidak semestinya menjadi sumber utama banjir yang terjadi. Selain itu, ia mengatakan adanya indikasi yang memfasilitasi kebijakan untuk merusak hutan dan mengalih fungsikannya," kata dia.

"Karena hutannya dirusak, kedua, juga alih fungsi. Alih fungsinya dari mana? Yang tadinya daerah resapan air kemudian dibangun objek-objek wisata, pembangunan jalan, dan lain halnya," kata Anggi.

ADVERTISEMENT

"Saya pikir itu juga kita bisa melihat bahwa ada fasilitasi kebijakan untuk merusak hutan dan mengalih fungsikan fungsi konservasi tadi menjadi fungsi budidaya," dia menambahkan.

Analisis FWI menunjukkan penyusutan kawasan lindung di wilayah Kabupaten Bogor hingga 70 ribu hektar.

"Jadi hasil analisis kami ada penyusutan kawasan lindung di Kabupaten Bogor itu luasnya sampai 70 ribu hektar lebih. Yang di mana kalau dikonversi atau beralih fungsi menjadi fungsi budidaya, maka yang tadinya pembangunan itu direm, maka ketika jadi fungsi budidaya pembangunannya lebih masif seperti yang terjadi saat ini," kata Anggi.

Anggi menekankan pentingnya revisi Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 untuk mengembalikan lingkungan yang rusak dan memberikan sanksi tegas kepada para perusak alam.

"Satu kembalikan lagi fungsi lindung di kawasan Puncak, Bogor, dengan cara apa? Dengan cara reforestasi. Reforestasi seperti apa? Gerakan masyarakat-masyarakat untuk menanam, untuk menjaga lingkungan mereka," dia menegaskan.

Ia juga menyebutkan perlunya insentif untuk masyarakat dan tanggung jawab konkret dari pemerintah, terutama Pemerintah Kabupaten Bogor, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kota yang terdampak, melalui alokasi anggaran untuk reforestasi.

Anggota Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI), Sunaryo, menjelaskan pentingnya sikap tegas pemerintah untuk menjaga kawasan Puncak.

"Harus punya sikap yang kuat bahwa kawasan Puncak itu harus dijadikan kawasan hijau, kalaupun dibutuhkan saran fisik, harus terbatas, dan dijamin tidak menimbulkan banyak dampak negatif. Boleh dibangun tapi terbatas hanya untuk kepentingan yang sangat urgent," kata dia.

Sunaryo juga menekankan pentingnya kontrol terhadap pemukiman dan penanganan pelanggaran yang lebih cepat.

"Pemerintah harus mengontrol dan sesegera mungkin pemerintah kalau terjadi pelanggaran harus menangani. Sekarang ya contoh yang dibongkar oleh (Pemprov) Jawa Barat itu Hisbic lantas ada jalan, jembatan itu, kenapa nggak dari dulu? Pada saat perizinan itu keluar," ujar Sunaryo.




(fem/ddn)

Hide Ads