Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah berdampak nyata ke bisnis perhotelan seiring dengan penurunan okupansi dan pemesanan kamar hotel. Begini data-data yang diungkap oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).
Survei dari PHRI menyebutkan bahwa penghematan APBN dan APBN yang mengikis aktivitas di perhotelan membuat 88% pelaku usaha mempertimbangkan pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Jadi memang kami melakukan survei ini untuk melihat dampak secara menyeluruh terkait masalah efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah. Karena tanpa melakukan survei tentu tidak akan mendapat data yang akurat untuk memberikan informasi sejauh apa dampak yang terjadi," kata Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusron dikutip CNBC Indonesia (Kamis, 27/02/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hal ini juga pernah kami lakukan pada saat Covid pada tahun 2020. Di mana kami juga melakukan survei untuk melihat dampak yang terjadi di seluruh Indonesia," imbuh dia.
Sekjen PHRI, Maulana Yusron mengatakan survei PHRI dilakukan untuk memastikan dampak efisiensi APBN. Di mana okupansi hotel terus turun hingga menyamai periode covid-19 yang hanya mencapai 20%.
"Kalau kita melihat dari survei yang kami lakukan, memang okupansi saat ini cukup tertekan dalam ya. Bahkan ini menyamai dengan bulan Maret-April 2020 yang lalu," tegas dia.
"Okupansi di bulan Maret rata-ratanya hanya 20%. Nah memang okupansi sedemikian itu ada beberapa hal yang kita perhatikan bahwa satu kondisinya di bulan ramadan, bulan puasa yang memang aktivitas itu rendah. Namun di sisi lain ada juga dampak dari efisiensi itu sendiri," terang Yusron.
"Karena kita melihat market yang tadinya ada sedikit di bulan ramadan itu sepertinya banyak yang hilang," dia menambahkan.
Yusron juga menyebutkan hilangnya pasar imbas efeisiensi memancing terjadinya perang tarif hotel. Sehingga bagi hotel kecil kondisi ini akan semakin memperberat beban operasional mereka.
"Dengan kondisi bahwa ada pasar atau market yang hilang tentu terjadi yang pertama adalah perang tarif. Perang tarif itu hotel besar akan memakan segmen hotel yang ada di bawahnya," kata dia.
"Karena semua bisnis akan menyelamatkan operasional costnya mereka. Jadi paling tidak mereka bisa mengisi. Ada berbagai hal yang tidak bisa diturunkan, seperti misalnya listrik ya. Turunnya tidak banyak ya karena kita memiliki abodemen. Jadi mereka tidak bisa turun dengan banyak karena tidak diisi hotelnya. Nah ini yang jadi masalah," urai dia.
"Kemudian yang terdampak ya semua segmen, mulai market dari bintang 5 sampai non bintang. Kalau kita bicara semua kena tentu hotel-hotel ini akan melakukan efisiensi dari operasional costnya mereka, salah satu yang paling besar, mudah, ya mengurangi pekerja," tegas Yusron.
Bagaimana bila pemerintah tidak segera merespon? Apakah PHK ini tidak hanya melanda di tahun ini saja?
"Kita kalau bicara kapan terjadi PHK maka masing-masing bisnis memiliki daya tahan berbeda-beda di situasi ini. Tapi minimal mereka bertahan selama tiga bulan dan mereka mulai merasakan di bulan Januari," kata dia.
"Pemerintah memang mengefisiensi anggaran, tapi yang terjadi tidak ada reservasi sama sekali. Hampir bisa dikatakan tidak ada untuk reservasi kegiatan di venue atau menginap. Kelihatan pemerintah tidak berkegiatan juga di daerah, ini yang jadi masalahnya," ujar Yusron.
"Kita bisa melihat ke depannya seperti apa. Libur lebaran bisa menjadi koreksi mungkin selama lima hari. Setelah lebaran ini akan menjadi pertanyaan besarnya. Kalau dilihat dari sistem reservasi ini yang tidak terjadi," terang dia.
(msl/ddn)
Komentar Terbanyak
Penumpang Hilang HP di Penerbangan Melbourne, Ini Hasil Investigasi Garuda
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol