Bali Wisata Dunia, tapi Gaji Pekerjanya Tak Seberapa

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Bali Wisata Dunia, tapi Gaji Pekerjanya Tak Seberapa

Fabiola Dianira - detikTravel
Jumat, 02 Mei 2025 08:07 WIB
Ilustrasi wisatawan di Bali. Bali diprediksi akan ramai dengan wisatawan sampai akhir tahun.
Ilustrasi wisata Bali (Kemenparekraf)
Jakarta -

Bali adalah surga wisata dunia dengan begitu banyak resor mewah, restoran bintang lima, dan kelab malam. Namun, di balik citra glamor itu, kehidupan para pekerja lokal jauh berbeda.

Upah minimum di Bali masih tergolong rendah dan belum mampu mengimbangi tingginya biaya hidup di daerah wisata. Padahal, masyarakat Bali memikul beban besar untuk menjaga tradisi dan budaya yang justru menjadi daya tarik utama pariwisata di pulau itu.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, Ida Bagus Raka Suardana, menyebut kesenjangan antara upah minimum dan biaya hidup di Bali sebagai masalah serius. Kesenjangan itu mempengaruhi kesejahteraan masyarakat lokal serta memperlambat pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk tahun 2025, Pemerintah Provinsi Bali menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar Rp 2.996.561 per bulan, naik 6,5% dari tahun sebelumnya. Raka mengatakan biaya hidup di Bali sangat bervariasi-mulai dari Rp 2,5 juta hingga Rp 30 juta per bulan tergantung gaya hidup dan lokasi tempat tinggal.

"Bagi pekerja yang hanya menerima UMP, memenuhi kebutuhan dasar saja sudah menjadi tantangan. Terlebih di kawasan wisata seperti Ubud dan Kuta," kata Raka saat dihubungi detikBali, dikutip Jumat (2/5/2025).

ADVERTISEMENT

Tak hanya soal upah rendah, sebagian besar pekerja di Bali juga bergantung pada sektor informal dan pariwisata musiman. Situasi itu membuat penghasilan mereka tidak menentu dan minim perlindungan jangka panjang.

Raka menegaskan bahwa kebijakan UMP saat ini belum mencerminkan kenyataan di lapangan. Dia mendorong pemerintah untuk mengadopsi pendekatan yang lebih komprehensif.

"Perlu penyesuaian upah berbasis kebutuhan hidup layak, pelatihan bagi pelaku sektor informal, dan kebijakan sosial yang mendukung kesejahteraan masyarakat lokal," ujar dia.

Dia juga menyoroti ketimpangan dalam pembagian keuntungan pariwisata. Raka mengatakan banyak keuntungan justru dinikmati oleh investor besar dari luar daerah atau luar negeri, sedangkan masyarakat lokal hanya mengisi posisi terbawah dengan upah standar.

"Ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi juga soal keadilan sosial. Bali tampil megah di mata dunia, tapi masyarakatnya masih berjuang memenuhi kebutuhan harian," ujar dia.

Beban ekonomi masyarakat Bali pun bertambah karena keharusan menjaga tradisi dan melaksanakan upacara adat, yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Raka menyebut pengeluaran itu sering kali tak diperhitungkan dalam kebijakan ekonomi formal.

"UMP Bali 2025 belum cukup untuk mengimbangi kenaikan harga kebutuhan pokok, biaya sewa tempat tinggal, serta keperluan adat. Ironisnya, saat sektor pariwisata menampilkan wajah kemewahan, para pekerjanya justru hidup dalam keterbatasan," kata dia.

***

Artikel ini sudah lebih dulu tayang di detikBali. Selengkapnya klik di sini.




(fem/fem)

Hide Ads