Desa adat di Bali tidak boleh menjual tanah pada pihak luar demi menjaga kelangsungan masyarakat dan adat istiadatnya. Di Bali, sebagian besar tanah dalam desa adat adalah tanah adat yang harus taat pada awig-awig setempat.
Awig-awig adalah aturan yang dibuat untuk krama desa adat, seperti disebutkan dalam Pedoman Ngadegang Bandesa Adat/Kelian Desa atau Sebutan Lain dan Prajuru Desa Adat. Awig-awig ada yang tertulis untuk memudahkan pelaksanaan aturan, sebagian lain diwariskan melalui nasihat dan kisah yag diceritakan antar generasi.
Desa Adat di Bali Dilarang Jual Tanah pada Pihak Luar
Larangan menjual tanah adat pada pihak luar, sebetulnya berlaku juga pada masyarakat setempat. Tanah di desa adat, kecuali yang dimiliki secara individu penuh, dikelola bersama untuk kepentingan masyarakat secara ekonomi dan lingkungan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Awig-awig melarang pengalihan hak atau jual beli tanah desa kepada yang bukan krama setempat. Selain itu, dilarang menggunakan tanah kecuali sesuai tujuan dalam awig-awig dan memperoleh persetujuan dalam rapat desa (paruman)," tulis I Made Suwitra dari Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar.
Tanah adat dianggap sebagai pemberian atau anugerah dari Yang Maha Kuasa, sehingga semua hak perorangan bersumber dari tanah tersebut bersama-sama. Tanah adat adalah hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat hukum adat, seperti dijelaskan dalam paper berjudul Dampak Konversi Dalam UUPA Terhadap Status Tanah Adat di Bali tersebut.
Status tanah adat adalah sebagai druwe atau druwen desa adat yang artinya milik, kepunyaan, dan atas kuasa desa adat. Dengan konsep ini, tanah adat sebagai tanah ulayat ada dalam kuasa desa adat untuk mengurus dan memelihara aset ini. Desa adat juga menentukan peruntukan tanah adat untuk berbagai kepentingan umum misal pasar, balai desa, dan makam.
Sebagai informasi, tanah ulayat adalah lahan bersama yang dikuasai dan dimiliki desa adat secara bersama-sama (komunal). Sebagian tanah adat ini penguasaannya diserahkan kepada anggota desa adat (krama) yang disebut sebagai hak milik tidak penuh. Tanah adat ini antara lain pekarangan desa dan ayahan desa (AYDS) dan pekarangan desa (PKDS).
Dengan status ini, kepentingan bersama masyarakat desa adat masih di atas kepentingan pribadi. Pengelolaan tanah desa adat mengutamakan keseimbangan antara faktor ekonomi, keseimbangan alam, hubungan dengan Yang Maha Kuasa dan lingkungan sekitar. Jadi, prioritas paling besar bukan kesejahteraan orang yang memegang tanah adat tapi kepentingan bersama dalam bentuk melaksanakan ayahan dengan dimensi sosial dan religius.
Untuk memastikan kuasa desa pada tanah adat, prajuru dan krama desa punya peran besar. Pengawasan warga dan pemerintahan desa menekan risiko tanah adat beralih status menjadi hak milik individu. Perubahan status bisa berdampak serius pada kelangsungan desa, penerapan tradisi, hingga hilangnya identitas dan ruh masyarakat adat.
Fakta Larangan Desa Adat Menjual Tanah pada Pihak Luar
Larangan desa adat menjual tanah pada pihak luar memang masih diterapkan. Pihak luar hanya boleh menyewa tanah adat untuk usaha atau kepentingan lain, setelah sebelumnya memperoleh izin dari perangkat dan krama desa.
Namun kondisi Bali yang terjepit antara keinginan menjalankan aturan adat dan tekanan pembangunan pariwisata, mengakibatkan penerapan awig-awig makin menantang. Apalagi belum ada aturan tegas yang melindungi desa adat, tanah adat, dan membatasi peran pihak luar.
Akibatnya, masyarakat desa rawan terjebak konflik terkait penyewaan tanah adat. Berikut beberapa perseteruan dalam arsip detikcom:
1. Polemik Tanah Adat di Desa Adat Bugbug
Kelian Desa Adat Bugbug saat itu, Jro Nyoman Purwa Ngurah Arsana, dituding menyewakan lahan adat tanpa persetujuan warga dan krama adat. Warga mempertanyakan nasib tanah seluas 1 hektare yang disewakan kelian kepada pengusaha untuk dibangun vila. Perangkat dan warga desa menggelar rapat dadakan untuk menyelesaikan polemik ini.
2. Polemik Tanah di Jimbaran
Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat) menuntut pengembalian tanah seluas 290 hektar pada masyarakat Jimbaran. Tanah berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) tersebut dikuasai investor, hingga berbuntut pengusiran warga yang tinggal di situ. Warga menduga proses penetapan HGB dipaksakan karena sebetulnya tanah tersebut terlantar.
Konflik ini menuntut peran aktif pemerintah untuk menjaga tanah di desa adat Bali agar sepenuhnya aman dari campur tangan pihak asing.
(row/ddn)
Komentar Terbanyak
Turis Brasil yang Jatuh di Gunung Rinjani Itu Sudah Tidak Bergerak
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Keluarga Indonesia Diserang Pria di Singapura, Anak Kecil Dipukul dengan Botol