Penyanyi kawakan Atiek CB (62), yang berhasil mencapai puncak Gunung Rinjani dan kembali ke basecamp dengan bugar, membuktikan bahwa mendaki gunung bukan hanya untuk traveler muda, namun juga bisa dilakukan lansia atau lanjut usia. Apa kuncinya?
Atiek CB memposting dirinya di puncak Gunung Rinjani, Lombok, Nuas Tenggara Barat (NTB). Namun jangan salah fokus, dia mendaki gunung bukan kali ini saja. Boleh dibilang Atiek CB salah satu penggemar aktivitas alam bebas dengan secara rutin mendaki gunung, baik gunung-gunung di AS atau tanah Air.
Mendaki gunung memang tak ada batas umurnya, bahkan untuk yang sudah berumur atau lansia. Ketua Komisi Operasional Dewan Normatif Wanadri dan Ketua Monev Recruitment Wanadri, Alisar, menjelaskan pendakian gunung bisa dilakukan siapa saja, namun tidak sembarangan.
Dia mengingatkan bahwa pendakian gunung adalah aktivitas alam yang berisiko tinggi. Apalagi, banyak gunung di Indonesia merupakan gunung api aktif sehingga karakter tanah yang dipijak dalam satu gunung bisa berbeda-beda.
Bisa jadi di awal pendakian jalur berupa bebatuan atau tanah padat, bahkan sudah berupa jalanan beraspal. kemudian, dilanjutkan dengan jalur penuh lumut dan lembab, kemudian ada area tanpa vegetasi yang berbatu dan berpasir namun mudah terlepas bahkan longsor.
Selain itu, suhu udara juga semakin dingin dan Oksigen semakin tipis seiring bertambahnya ketinggian. Suhu udara siang dan malam atau dinihari bisa sangat berbeda.
Alisar mengatakan para pendaki dari segala umur, termasuk lansia, harus menyiapkan diri dengan matang sebelum mendaki gunung dengan keunikannya itu.
"Aman atau tidaknya itu bukan tergantung daripada usia tapi kepada kesiapan. Jadi, gunung itu tidak mengenal usia, mau dia (pendaki) muda atau lansia, semua kalau misalkan beraktivitas di alam terbuka, apalagi yang kondisi ekstrem, si pendaki harus sadar betul dengan risiko yang akan dihadapi," ujarnya saat dihubungi detiktravel, Kamis (17/7/2025).
Menurut Alisar dalam persiapan itu, para pendaki harus mengetahui dua hal penting. Yakni, risiko subjektif dan risiko objektif.
"Jadi, ada dua risiko bahaya yang harus kita sadari ya. Pertama adalah bahaya subjektif, yang artinya risiko itu berasal dari traveler itu sendiri. Kaitannya apa? Misalkan kesiapan fisik, pengetahuan keterampilan itu dari diri kita sendiri, kita bisa mitigasi itu," kata Alisar.
Dia mencontohkan saat mendaki Gunung Rinjani, pendaki bisa menakar risiko subjektif dengan memahami situasi medan yang ada di sana. Dengan ketinggian yang dimiliki oleh gunung tersebut, maka seharusnya pendaki sudah bisa mengantisipasi beberapa hal ya: kurangnya oksigen, cuaca, hingga, jalur pendakiannya.
Kemudian, faktor dasar yang kedua adalah risiko objektif. Alisar melanjutkan istilah objective danger merujuk pada bahaya yang berasal dari lokasi.
"Itu adalah faktor alam atau bahaya yang berasal dari lokasi atau alam yang kita akan hadapi dan itu bisa dimitigasi. Bagaimana mitigasinya? Mitigasinya adalah kita mempelajari banyak-banyak lah area atau lokasi yang akan kita kunjungi tersebut," dia menambahkan.
"Dengan harapan kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi 'oh ternyata Rinjani itu ketinggian sekian pasti udaranya dingin' apa yang kita bawa, kaitannya ke sana kira-kira begitu," kata Alisar.
Sehingga dengan memperhatikan kedua faktor dasar itu para pendaki pemula muda ataupun lansia bisa memitigasi hal-hal yang akan berisiko selama beraktivitas di alam terbuka.
Simak Video "Video: Cuaca Cerah, Jalur Kering, Ini Saatnya Muncak!"
(upd/fem)