Polemik Bagi-bagi Bir di Pocari Run 2025, Para Pelari Setuju Nggak Sih?

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Polemik Bagi-bagi Bir di Pocari Run 2025, Para Pelari Setuju Nggak Sih?

Femi Diah - detikTravel
Kamis, 24 Jul 2025 14:52 WIB
Polemik Bagi-bagi Bir di Pocari Run 2025, Para Pelari Setuju Nggak Sih?
Kapten Evorunner Jakarta Ilham Zulfikar
Jakarta -

Ajang lari terbuka Pocari Sweat Run 2025 memikat ribuan pelari dari berbagai penjuru Indonesia. Namun, di tengah euforia dan semangat sportivitas, sebuah momen kecil mengundang perdebatan, yakni distribusi bir oleh sebuah komunitas lari pada race day.

Race itu dihelat dua hari, pada 19 dan 20 Juli 2025. Tidak hanya pelari yang pentas di ajang itu, namun supporter dari warga dan anggota komunitas juga turut hadir. Mereka kebagian menjadi supporter para peserta.

Nah, di zona cheering salah satu komunitas membagikan bir dengan gelas-gelas polos. Anggota komunitas itu menyodorkan kepada pelari yang hampir bisa jadi tenaganya mulai terkuras.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aktivitas itu menuai pro dan kontra. Ada yang sepakat, namun banyak pula yang mencibir sebagai tindakan tidak pantas, karena bertentangan dengan budaya ketimuran dan Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim. Arah komunitas lari di Indonesia juga dipertanyakan.

"Kalau kita bicara komunitas, kita harus kembali ke akar. Komunitas lari itu dibuat untuk apa?" kata Ilham Zulfikar, kapten Evorunners Jakarta, dalam perbincangan dengan detiktravel, Kamis (24/7/2025).

ADVERTISEMENT

"Kalau komunitas Evorunners, saya rasa, sebagai komunitas lari pada umumnya, awalnya dibentuk untuk sehat bareng, olahraga bareng, saling support, bukan hanya soal performa, tapi juga menjaga dan saling dukung satu sama lain," Ilham menambahkan.

Nah, saling dukung itu, menurut Ilham, tidak hanya saat race, namun dimulai sejak persiapan, mendekati race juga ada shake out run, carbo loading bersama, kemudian berlanjut mendukung sesama pelari di race day dengan cheering. Biasanya panitia pelaksana menyediakan zona cheering khusus untuk komunitas. Caranya bermacam-macam, dengan menyediakan sound system mini, balon tepuk, bendera, hingga makanan dan minuman.

Ilham bilang minuman yang disediakan tidak dibatasi, sesuai dengan kemampuan komunitas. Makanan dan minuman pendukung juga support itu tidak hanya diberikan kepada anggota komunitas, namun siapa saja yang berlari.

"Soal minuman beralkohol yang disediakan di zona cheering dan dibagikan secara terbuka, apalagi tanpa penanda jelas atau pemberitahuan, lumrah atau tidak? Kita kembalikan lagi ke akar komunitas itu. Menurut saya sebagai kapten komunitas lari hal ini, belum terkait agama ya, tetapi pada budaya, sudah berbenturan dengan norma-norma sosial, budaya dari masyarakat timur," kata Ilham.

Dengan pengalaman mengikuti race di luar negeri, Ilham berspekulasi, bisa jadi komunitas itu menyediakan bir dan menawarkan kepada peserta lari dengan berkaca pada race lari di luar negeri. Dia berpendapat budaya itu tidak sepenuhnya bisa diadopsi dan diimplementasikan mentah mentah di Indonesia.

"Mungkin pada beberapa event race lari di luar negeri, baik kecil, sedang, atau besar, memang memiliki budaya menyediakan bir dan itu biasa. Kultur itu kontra dengan di sini. Bisa jadi pelari atau komunitas lain mirroring budaya luar negeri untuk diterapkan di sini, misal lari dengan sepatu karbon atau apparel lain, dan itu sah sah saja, tetapi soal bir atau minuman beralkohol ini beda," kata Ilham.

"Sekali lagi saya tekankan komunitas itu, apalagi komunitas olahraga, akarnya hidup sehat, mengedukasi, olahraga bersama, dengan norma-norma ketimuran yang sudah ada. Bukan berarti tidak ada hal negatif di komunitas olahraga, namun hal negatif itu dibatasi secara sadar, kembali lagi ke akarnya," dia menambahkan.

Stena Tegas Tidak Setuju, Sangat Riskan untuk Pelari Muslim

IG Stena Wakari, kapten Hoka Running Club Kapten Hoka Running Club Stenna Wakari (IG Stena Wakari)
Senada dengan Ilham, Stena Wakari, kapten dari Hoka Running Club juga menilai pentingnya mempertimbangkan konteks budaya lokal saat beraktivitas olahraga.

"Cheering untuk peserta lari di race lari itu lumrah, namun ada batasannya. Secara pribadi saya tidak menyetujui, tapi kalau memang ada yang menyediakan harus ada tanda yang jelas itu minuman alkohol. Tidak ditawarkan dengan cara disodorkan dan sampai menutupi jalan pelari," kata Stena.

"Jangan langsung dibandingkan dengan race lari di luar ngeri, meskipun tidak semua pelari di race di sini muslim. Apa y ang dilakukan komunitas lari di Pocari Run dengan menyodorkan bir itu riskan, menyodorkan gelas tanpa merk, nutupi jalan. Itu agak sedikit riskan, enggak ngasih tahu, kalau yang ambil pelari muslim kan nggak pas. Saya samasekali enggak menyetujui," dia menegaskan.

Stena sekaligus mengatakan bahwa sebaiknya komunitas lari selektif dalam memilih produk atau perusahaan pendukung. "Pilih yang selaras dengan gaya hidup sehat," kata dia.

Astrid Toar Tulung, langganan pacer dan pelari yang tergabung dalam komunitas Adidas Running Club, mengatakan bir di race itu bukan sesuatu yang baru, hanya saja dia baru mengetahui jika dibagi-bagikan kepada peserta lari di luar komunitas.

"Menurut pengalaman saya, bir di race lari itu sudah ada, cuma memang rata-rata konsumsi sendiri tidak untuk dibagi-bagi secara umum. Nah, kalau di race lari di luar negeri memang ada, tapi bukan dari official, warga sekitar yang cheering di pinggir jalan menyediakan. jadi, siapa yang mau ya ambil saja," kata Astrid.

Pehobi lari dan langganan pacer di race lari Astrid Toar TulungPehobi lari dan langganan pacer di race lari Astrid Toar Tulung (IG Astrid Toar Tulung)

"Yang tidak pantas kemarin itu adalah sudah tahu yang sedang berlari adalah peserta yang memakai hijab, malah disodorin. Ya jangan kalau seperti itu. Lagi pula, tidak perlu dibagi-bagikan. Kondisi itu bikin pelari enggak fokus, apalagi sudah mau finish, tenaga sudah mau habis," kata Astrid.

Astrid juga mengatakan selama ini panitia penyelenggara race lari tidak mencantumkan larangan untuk menyediakan bir. Hanya saja ada batasan yang seharusnya suadh diketahui oleh komunitas lari.

"Setahu saya larangan enggak ada, ini lebih ke moral masing-masing. Kultur ketimuran," ujar Astrid.

Euforia Berlebihan, Bisa Rugikan Panpel

Eko Trihatmoko, kapten detikcomrunners Kapten detikcomrunners, Eko Trihatmoko (IG Eko Trihatmoko)
Kapten detikcomrunners, Eko Trihatmoko, menilai aktiviitas cheering komunitas di setiap race wajar, namun menyediakan bir tidak sesuai dengan kultur dan Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim.

"kalau dari kacamata saya, sebenarnya ada dua sudut pandang. Yang pertama, ini bisa dilihat dari hanya sebuah euforia (excitement) dan satu sisi cheering-nya dilakukan mungkin oleh komunitas mereka sendiri. Artinya, memang mungkin biasa dilakukan di kalangan komunita situ. Bagi mereka mungkin hal itu wajar buat seru-seruan aja atau biar keliatan asyik aja," kata Eko.

"Sayangnya, hal itu menjadi tidak wajar di sini karena negara kita negara mayoritas muslim dan tentu bir dan sejenisnya jadi hal yang tabu. Selain itu, aksi itu dilakukan di event yang katanya besar untuk dunia lari yang konteks semangatnya sesuatu yang sehat. Nah, bir itu sesuatu yang haram," kata dia.

Eko berpendapat, komunitas lari memilih aktivitas di zona cheering dengan mempertimbangkan nama baik penyelenggara race lari. Sebab, race lari biasanya dilaksanakan secara rutin, bukan hanya sekali.

"Bagi penyelenggara ini mungkin menjadi sesuatu yang buruk karena anggapan minuman keras di event mereka, bagi pelaku mungkin di judge merusak semangat berkaitan dengan lari dan sehat dan hal terkait aturan muslim," dia menambahkan.

"Secara umum, kalau saya secara pribadi nggak ada masalah dengan euforia tersebut (mungkin jadi rewards buat mereka yang memiliki target masing-masing), namun saya nggak akan minum bir. Itu jadi ujian, balik lagi seberapa kuat iman kita," ujar dia.

Sementara itu, salah satu manajemen Evofitplus, yang menaungi pelatih dan program strength dan running di Jakarta, Rudi Iyal Hendrawan berpendapat bahwa boleh atau tidaknya menyediakan bir sangat tergantung pada event yang berlangsung.

Manajemen Evofitplus Rudi Iyal Hendrawan (kiri)Manajemen Evofitplus Rudi Iyal Hendrawan (kiri) (IG jejakrudi)

"Jika event itu resmi atau kompetitif, sebaiknya dihindari. Membawa bir bisa dianggap tidak pantas atau bahkan melanggar aturan. Berdampak membuat reputasi peserta dan penyelenggara jadi buruk, terutama dikaitkan dengan brand atau komunitas," kata Rudi.

"Selain itu, berpotensi mengganggu peraturan acara dan bisa di diskualifikasi. Apalagi, hal tersebut tidak mendukung nilai-nilai kesehatan dan sportivitas yang dijunjung dalam olahraga. Dan dapat mengganggu peserta lainnya dengan bau dan perilaku yang ditimbulkan dari peserta itu sendiri," dia menegaskan.

"Jika fun run yang santai, pastikan tetap mematuhi aturan dan bertanggung jawab dalam mengonsumsinya," kata dia.

Halaman 2 dari 3
Senada dengan Ilham, Stena Wakari, kapten dari Hoka Running Club juga menilai pentingnya mempertimbangkan konteks budaya lokal saat beraktivitas olahraga.

"Cheering untuk peserta lari di race lari itu lumrah, namun ada batasannya. Secara pribadi saya tidak menyetujui, tapi kalau memang ada yang menyediakan harus ada tanda yang jelas itu minuman alkohol. Tidak ditawarkan dengan cara disodorkan dan sampai menutupi jalan pelari," kata Stena.

"Jangan langsung dibandingkan dengan race lari di luar ngeri, meskipun tidak semua pelari di race di sini muslim. Apa y ang dilakukan komunitas lari di Pocari Run dengan menyodorkan bir itu riskan, menyodorkan gelas tanpa merk, nutupi jalan. Itu agak sedikit riskan, enggak ngasih tahu, kalau yang ambil pelari muslim kan nggak pas. Saya samasekali enggak menyetujui," dia menegaskan.

Stena sekaligus mengatakan bahwa sebaiknya komunitas lari selektif dalam memilih produk atau perusahaan pendukung. "Pilih yang selaras dengan gaya hidup sehat," kata dia.

Astrid Toar Tulung, langganan pacer dan pelari yang tergabung dalam komunitas Adidas Running Club, mengatakan bir di race itu bukan sesuatu yang baru, hanya saja dia baru mengetahui jika dibagi-bagikan kepada peserta lari di luar komunitas.

"Menurut pengalaman saya, bir di race lari itu sudah ada, cuma memang rata-rata konsumsi sendiri tidak untuk dibagi-bagi secara umum. Nah, kalau di race lari di luar negeri memang ada, tapi bukan dari official, warga sekitar yang cheering di pinggir jalan menyediakan. jadi, siapa yang mau ya ambil saja," kata Astrid.

Pehobi lari dan langganan pacer di race lari Astrid Toar TulungPehobi lari dan langganan pacer di race lari Astrid Toar Tulung (IG Astrid Toar Tulung)

"Yang tidak pantas kemarin itu adalah sudah tahu yang sedang berlari adalah peserta yang memakai hijab, malah disodorin. Ya jangan kalau seperti itu. Lagi pula, tidak perlu dibagi-bagikan. Kondisi itu bikin pelari enggak fokus, apalagi sudah mau finish, tenaga sudah mau habis," kata Astrid.

Astrid juga mengatakan selama ini panitia penyelenggara race lari tidak mencantumkan larangan untuk menyediakan bir. Hanya saja ada batasan yang seharusnya suadh diketahui oleh komunitas lari.

"Setahu saya larangan enggak ada, ini lebih ke moral masing-masing. Kultur ketimuran," ujar Astrid.

Kapten detikcomrunners, Eko Trihatmoko, menilai aktiviitas cheering komunitas di setiap race wajar, namun menyediakan bir tidak sesuai dengan kultur dan Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim.

"kalau dari kacamata saya, sebenarnya ada dua sudut pandang. Yang pertama, ini bisa dilihat dari hanya sebuah euforia (excitement) dan satu sisi cheering-nya dilakukan mungkin oleh komunitas mereka sendiri. Artinya, memang mungkin biasa dilakukan di kalangan komunita situ. Bagi mereka mungkin hal itu wajar buat seru-seruan aja atau biar keliatan asyik aja," kata Eko.

"Sayangnya, hal itu menjadi tidak wajar di sini karena negara kita negara mayoritas muslim dan tentu bir dan sejenisnya jadi hal yang tabu. Selain itu, aksi itu dilakukan di event yang katanya besar untuk dunia lari yang konteks semangatnya sesuatu yang sehat. Nah, bir itu sesuatu yang haram," kata dia.

Eko berpendapat, komunitas lari memilih aktivitas di zona cheering dengan mempertimbangkan nama baik penyelenggara race lari. Sebab, race lari biasanya dilaksanakan secara rutin, bukan hanya sekali.

"Bagi penyelenggara ini mungkin menjadi sesuatu yang buruk karena anggapan minuman keras di event mereka, bagi pelaku mungkin di judge merusak semangat berkaitan dengan lari dan sehat dan hal terkait aturan muslim," dia menambahkan.

"Secara umum, kalau saya secara pribadi nggak ada masalah dengan euforia tersebut (mungkin jadi rewards buat mereka yang memiliki target masing-masing), namun saya nggak akan minum bir. Itu jadi ujian, balik lagi seberapa kuat iman kita," ujar dia.

Sementara itu, salah satu manajemen Evofitplus, yang menaungi pelatih dan program strength dan running di Jakarta, Rudi Iyal Hendrawan berpendapat bahwa boleh atau tidaknya menyediakan bir sangat tergantung pada event yang berlangsung.

Manajemen Evofitplus Rudi Iyal Hendrawan (kiri)Manajemen Evofitplus Rudi Iyal Hendrawan (kiri) (IG jejakrudi)

"Jika event itu resmi atau kompetitif, sebaiknya dihindari. Membawa bir bisa dianggap tidak pantas atau bahkan melanggar aturan. Berdampak membuat reputasi peserta dan penyelenggara jadi buruk, terutama dikaitkan dengan brand atau komunitas," kata Rudi.

"Selain itu, berpotensi mengganggu peraturan acara dan bisa di diskualifikasi. Apalagi, hal tersebut tidak mendukung nilai-nilai kesehatan dan sportivitas yang dijunjung dalam olahraga. Dan dapat mengganggu peserta lainnya dengan bau dan perilaku yang ditimbulkan dari peserta itu sendiri," dia menegaskan.

"Jika fun run yang santai, pastikan tetap mematuhi aturan dan bertanggung jawab dalam mengonsumsinya," kata dia.

(fem/ddn)

Simak Video "Menikmati Suasana Malam di Banyuwangi dengan Naik Becak dan Berburu Oleh-Oleh Khas "
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads