Suaka Simpanse Tutup, Lawan Pembangunan yang Tebang Hutan

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Suaka Simpanse Tutup, Lawan Pembangunan yang Tebang Hutan

bonauli - detikTravel
Jumat, 08 Agu 2025 13:37 WIB
Simpanse berumur 10 bulan
Ilustrasi simpanse (Getty Images/iStockphoto/curioustiger)
Freetown -

Sebuah taman konservasi simpanse terbesar di Afrika Barat menolak kedatangan wisatawan. Langkah itu sebagai bentuk protes terhadap penggundulan hutan yang merajalela.

Tacugama Chimpanzee Sanctuary yang berada di Freetown, Sierra Leone, Afrika Barat tutup selama lebih dari dua bulan. Pihak berwenang mengakui bahwa satwa liar di Siera Leone terancam dengan perampasan lahan dan penebangan liar yang semakin meluas.

"Beberapa bulan yang lalu, kami melihat perampasan lahan dan perambahan semakin mendekati suaka," kata kata pendiri taman konservasi itu Bala Amarasekaran seperti dikutip dari Reuters pada Jumat (8/8/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Suaka tersebut merupakan rumah bagi lebih dari 100 simpanse yang sebagian besar yatim piatu di alam. Turis diperbolehkan untuk menginap di pondok yang tersebar du taman konservasi itu sebagai salah satu aktivitas unik yang ditawarkan.

ADVERTISEMENT

Namun, penggundulan hutan menjadi ancaman bagi satwa dan wisatawan. Deforestasi itu benar-benar mengancam simpanse.

Amarasekaran, yang telah memimpin suaka itu selama 30 tahun, berkata bahwa terlalu berbahaya bagi orang-orang awam untuk mendekati kawasan suaka di tengah penebangan liar. Bahkan, penebangan pohon itu menjadi krisis paling mengerikan dibandingkan krisis lain yang pernah melanda , seperti perang saudara dan epidemi Ebola pada 2013-2016.

Penebangan pohon itu bukan berlangsung setahun atau dua tahun. Dan, dia menjadi saksi betapa mengerikannya deforestasi yang mengatasnamakan pembangunan itu.

Semenanjung Wilayah Barat, tempat ibu kota Freetown dan Tacugama berada, kehilangan lebih dari 10.000 hektar tutupan pohon selama periode yang sama. Konsekuensi dari deforestasi itu berupa tanah longsor di lereng Gunung Sugar Loaf pada 2017, yang menewaskan sekitar 1.000 orang.

Sebuah jurnal ilmiah yang diterbitkan pada 2019 oleh Geological Society of London menyalahkan insiden tersebut pada gabungan hujan lebat, lereng yang gundul, dan konstruksi yang tidak terkendali. Makalah tersebut menyatakan bahwa hilangnya pohon telah melemahkan kemampuan tanah untuk menyerap air dan menahannya, sehingga memperburuk aliran lumpur.

"Ini masalah serius, masalah eksistensial," kata Menteri Informasi Sierra Leone, Chernor Bah, kepada Reuters.

"Kami menyesalkan bahwa otoritas Tacugama telah mengambil langkah untuk menutup wilayah ini, tetapi kami memahami hal ini," dia menambahkan.

Bah mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk melindungi hutan di semenanjung tersebut.




(bnl/fem)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads