Pakar konservasi satwa liar dari IPB University, Prof Burhanuddin Masyud, mengingatkan pada hari gajah, yang diperingati pada 12 Agustus, Indonesia memiliki PR yang cukup berat untuk menjaga agar gajah-gajah di Tanah Air selamat dan tidak punah. Dia menyarankan dua cara.
Dia menekankan hari gajah pada 2025 menjadi momentum untuk aksi nyata menjaga gajah. Sejak 2002 gajah sumatera masuk dalam kategori terancam oleh Serikat Internasional Pelestarian Alam (IUCN) dan dikhawatirkan akan punah dalam 30 tahun. kemudian menyusul gajah kalimantan yang masuk kategori terancam punah pada 2024.
Pernyataan itu disampaikan Burhanuddin setelah rentetan gajah yang terluka dan mati, juga terlibat konflik dengan manusia. Belum lama ini insiden menyedihkan menimpa gajah-gajah liar. Salah satunya, saat anak gajah mati tertabrak truk di Perak, Malaysia pada 11 Mei 2025. Kemudian, kasus serupa terjadi di Tol Pekanbaru-Dumai, Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Burhanuddin menilai kedua kasus tersebut menjadi risiko besar tumpang-tindih antara habitat satwa liar dan infrastruktur manusia.
"Respons induk gajah menyerang truk yang menabrak anaknya menunjukkan insting alami dan ikatan sosial kuat pada gajah. Secara umum, gajah dikenal sebagai satwa liar dengan insting perlindungan tinggi terhadap anaknya," kata Burhanuddin dikutip dari situs resmi IPB, Selasa (12/8).
Burhanuddin menekankan pentingnya kebijakan mitigasi yang sistematis dan kolaboratif agar kehidupan gajah sebagai hewan endemik dalam kawasan itu hingga kemudian manusia memasukinya, bisa beriringan.
Dia merekomendasikan dua langkah prioritas. Pertama berupa implementasi UU No 32 Tahun 2024 tentang Areal Preservasi (koridor satwa) secara kolaboratif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Kedua, pengembangan pusat konservasi gajah sebagai lembaga konservasi eks situ yang berfungsi untuk pelestarian sekaligus wisata edukasi.
Burhanuddin optimistis jika dua poin itu diterapkan maka konservasi gajah bisa dilakukan.
"Konservasi tidak boleh berdiri sendiri. Kita harus mampu menyelaraskan pembangunan dan kelestarian alam secara seimbang," kata dia.
Contoh Gajah dan Manusia Bisa Hidup Berdampingan
Burhanuddin mengatakan konsep koeksistensi manusia dan gajah seperti yang diterapkan di koridor Pekanbaru-Dumai adalah bentuk konservasi realistis yang dapat dikembangkan.
"Pendekatan ini integratif, apalagi gajah dekat dengan manusia. Contohnya, penggunaan gajah jinak untuk mengendalikan gajah liar sekaligus diintegrasikan dengan wisata," kata dia.
Dia juga mengapresiasi pembangunan terowongan lintasan gajah di Tol Pekanbaru-Dumai sebagai solusi konkret mitigasi konflik.
"Ini adalah alternatif mitigasi konflik di perbatasan habitat gajah dan kawasan masyarakat. Gajah memiliki pola pergerakan alami berulang sesuai musim, sehingga infrastruktur seperti ini penting untuk direplikasi di lokasi lain," ujarnya.
Prof Burhanuddin menambahkan bahwa risiko serupa juga ditemukan di jalan lintas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, yang menghubungkan Provinsi Lampung dan Bengkulu.
Dia menunjukkan hasil penelitian disertasi mahasiswa bimbingannya terkait model pengembangan "hidup berdampingan" di wilayah Aceh. Penelitian tersebut merumuskan rekomendasi pendekatan mitigasi konflik gajah yang masuk areal perkebunan masyarakat.
"Hasi riset tersebut menunjukkan, masyarakat dapat memilih tanaman perkebunan berbasis preferensi gajah. Secara budaya, kerusakan tanaman oleh gajah bisa dianggap sebagai 'amal sholeh', selama tidak menimbulkan kerugian ekonomi signifikan," katanya.
(fem/fem)
Komentar Terbanyak
PHRI Bali: Kafe-Resto Putar Suara Burung Tetap Harus Bayar Royalti
Traveler Muslim Tak Sengaja Makan Babi di Penerbangan, Salah Awak Kabin
Tanduk Raksasa Ditemukan Warga Blora, Usianya Diperkirakan 200 Ribu Tahun