Gelombang wisatawan asing yang membanjiri Tokyo, Osaka, dan Kyoto membuat pesona Jepang tak lagi sama. Dari gang sempit Kyoto hingga Shibuya Crossing, warga mengeluh negeri sakura berubah jadi arena konten wisatawan.
Bukan sekali dua kali warga lokal Jepang mengeluhkan tingkah polah turis asing. Di kaki Gunung Fuji, di Kyoto, juga di jantung kota Tokyo. Selfie sembarangan hingga membahayakan nyawa, juga tidak kenal waktu. Wisatawan naik transportasi umum, namun melanggar etika dengan menyetel lagu yang disambungkan dengan pelantang suara.
Warga dewasa, remaja, hingga anak-anak terdampak ledakan jumlah wisatawan. Yang dewasa dan remaja mengatakan transportasi umum harus berebut transportasi umum dengan wisatawan. Anak-anak sekolah harus mengalah dengan memindahkan lokasi study tour ke kota lain, bukan lagi ke Kyoto.
"Yang selalu dibicarakan itu Tokyo, Osaka, dan Kyoto. Di sana jumlah turisnya luar biasa banyak," kata Hanako Kakuta, pemandu wisata dari Wakayama, dilansir news.com.au.
"Kami pikir itu karena yen sangat lemah sekarang. Mungkin sepuluh tahun lalu, orang-orang itu tidak mampu datang," dia menambahkan.
Sebenarnya, bukan hanya warga lokal yang tidak nyaman dengan overtourism di kota-kota wisata di Jepang. Turis asing menggambarkan berjalan di gang-gang sempit Kyoto saat musim ramai setara dengan ikan sarden yang dipaksa melewati saringan.
Sementara itu, Shibuya Crossing di Tokyo, persimpangan paling sibuk di dunia, gagal menjadi konten estetik dan berubah jadi kekacauan tingkat tinggi kala musim liburan turis.
"Saat saya keluar dari salah satu stasiun tersibuk di dunia, seorang turis asing langsung berlari ke tengah persimpangan ketika lampu hijau menyala. Dia berpose di depan kamera temannya demi mendapatkan foto yang berharga. Video viral seorang perempuan berlari ke tengah jalan demi berfoto sudah jadi pemandangan yang terlalu sering terjadi," kata Alex Blair, dalam catatan yang diunggah di news.com.au.
Blair mengatakan Tokyo jauh tampak lebih memukau jika dibandingkan dengan Sydney. Dengan 37 juta penduduk, semuanya berjalan mengejutkan efisien di Tokyo. Warga tetap tertib, kereta tepat waktu hingga hitungan detik, bahkan toilet mungil di restoran cepat saji bawah tanah Shibuya tetap bersih berkilau.
"Kegilaan yang tertata ini bikin candu. Siapa pun yang pernah terjebak pesona Tokyo akan bilang hal serupa," ujar dia.
Candu itu yang kini bikin Jepang menderita. Survei dari Bank Pembangunan Jepang dan Yayasan Biro Perjalanan Jepang, menunjukkan wisatawan asing tidak nyaman dengan overtourism di negeri sakura. Survei itu mengumpulkan tanggapan dari hampir 7.800 wisatawan internasional yang dilakukan secara online pada 8-18 Juli 2023 terhadap individu berusia 20 hingga 79 tahun di Asia, Inggris, Prancis, Amerika Serikat, dan Australia.
Dikutip dari Travel and Tour World, angka tersebut tak berbeda jauh dari survei serupa pada 2019. Artinya, kepadatan terus berlanjut bahkan setelah pandemi. Selain kepadatan, perilaku buruk, seperti membuang sampah sembarangan dan memasuki area terlarang, merusak pengalaman pengunjung, dan mengancam keberlanjutan industri pariwisata Jepang.
Survei tersebut juga menunjukkan adanya perubahan dalam sikap wisatawan. Lebih dari 60 persen responden menyatakan kesediaan untuk membayar biaya yang lebih tinggi di tempat-tempat wisata untuk membantu mengurangi kepadatan dan melindungi warisan budaya dan alam Jepang.
Data terbaru Japan National Tourism Organization (JNTO) mencatat, sepanjang Januari hingga Juli 2025 jumlah pengunjung asing ke Jepang mencapai 24,9 juta orang, melonjak 18,4% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Dari jumlah tersebut, 373.600 wisatawan berasal dari Indonesia, menempatkan RI di peringkat ke-11 sebagai penyumbang turis terbanyak. Dalam catatan JNTO, pada Juni 2025 saja sebanyak 51.500 wisatawan asal Indonesia tercatat masuk Jepang.
Baca juga: Cara Unik Jepang Perangi Overtourism |
Simak Video "Video: Rencana Jepang Naikkan Pajak untuk Turis Asing"
(fem/fem)