Warga Baduy Dalam Ditolak RS karena KTP, Potret Buruk Layanan Kesehatan Masyarakat Adat

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Warga Baduy Dalam Ditolak RS karena KTP, Potret Buruk Layanan Kesehatan Masyarakat Adat

Femi Diah - detikTravel
Minggu, 09 Nov 2025 17:15 WIB
Warga Suku Baduy Dalam berjalan kaki ke Rangkasbitung untuk mengikuti ritual tradisi Seba Baduy di Cimarga, Lebak, Banten, Jumat (6/5/2022). Seba Baduy merupakan tradisi tahunan Suku Baduy untuk bertemu sejumlah kepala daerah di Banten guna menyampaikan aspirasi serta rasa syukur atas hasil panen berlimpah yang akan digelar pada 6-7 Mei 2022. ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/tom.
Warga Suku Baduy Dalam berjalan kaki ke Rangkasbitung untuk mengikuti ritual tradisi Seba Baduy di Cimarga, Lebak, Banten, Jumat (6/5/2022). (Muhammad Bagus Khoirunas/Antara)
Jakarta -

Penolakan pelayanan oleh sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat terhadap seorang warga Baduy Dalam disorot. Dinilai sebagai cerminan buruk layanan kesehatan.

Warga Baduy Dalam yang ditolak oleh rumah sakit itu adalah Repan. Pemuda berusia 16 tahun itu terluka setelah dibegal di kawasan Jalan Pramuka Raya, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat pada Minggu (26/11/2026) sekitar pukul 04.00 WIB.

Dia ditolak oleh rumah sakit karena tidak memiliki KTP. Dalam prosesnya, dia disarankan untuk menuju RS lain yang tidak jauh dari RS tersebut. Karena tidak mengetahui lokasi RS yang disarankan itu, Repan kembali ke RS semula. Lukanya kemudian ditutup kain kasa oleg salah seorang petugas di RS tersebut, namun tanpa dibersihkan dan tidak diberi obat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Koordinator BPJS Watch, Timbul Siregar menilai pembatasan layanan kesehatan seperti yang dialami Repan seharusnya tidak terjadi andai RS mengikuti azas keselamatan pasien yang diatur dalam UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Timbul menjelaskan UU itu mengatur bahwa rumah sakit wajib melaksanakan sistem keselamatan pasien, seperti termaktub pada Pasal 13 huruf k.

Ketentuan Pasal 29 ayat 1 huruf f itu menyatakan bahwa rumah sakit wajib menyelenggarakan pelayanan yang aman dan antidiskriminasi yang mengutamakan keselamatan pasien.

ADVERTISEMENT

"Jadi, enggak bisa ditanya KTP-nya mana, JKN atau bukan. Enggak bisa," ujar Timbul dikutip dari BBC Indonesia.

Timbul mengatakan Repan merupakan korban penganiayaan yang seharusnya dikecualikan dari kategori pasien yang ditanggung jaminan kesehatan nasional (JKN). Timbul menegaskan semestinya Repan dapat langsung ditangani dan tak perlu menunjukkan dokumen seperti KTP, KK, atau kartu BPJS.

Berpegang pada Pasal 52 ayat 1 huruf R Perpres 82 Tahun 2018, tanggung jawab pembiayaan korban penganiayaan dialihkan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), bukan JKN. Pasal tersebut berbunyi: 'pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.'

"Jadi, saudara kita warga Baduy itu, terlepas enggak punya KTP, enggak bisa ditolak karena dia korban penganiayaan. Dia [pembiayaan] di LPSK," kata Timbul.

Timbul menyadari LPSK tidak memiliki anggaran besar akibat pemotongan anggaran oleh Presiden Prabowo Subianto. Anggaran belanja LPSK untuk 2025 dipotong 53,16% hingga hanya tersisa Rp 107,7 miliar. Namun, ia menyebut LPSK semestinya dapat bersikap "kreatif", salah satunya dengan menghubungi Pemerintah Provinsi Banten untuk membantu menutup biaya perawatan medis Repan.

Terjebak Birokrasi Kaku

Timbul mengatakan kasus Repan itu menjadi potret perlindungan kesehatan setengah hati terhadap masyarakat adat di Indonesia. Dia mengatakan lembaga dan otoritas di Indonesia masih terjebak "birokrasi kaku", alih-alih substansi perlindungan hak warga negara.

Saat ini, masyarakat Baduy memang dapat mengakses jaminan kesehatan tanpa dokumen seperti KTP, KK, atau kartu BPJS, tapi sebatas di wilayah Banten. Padahal, beberapa warganya kerap bepergian ke Jakarta untuk berdagang.

Timbul menyarankan agar pemerintah daerah dapat membekali para warga Baduy, terutama Baduy Dalam yang tidak diperkenankan memiliki KTP elektronik, dengan identitas tertentu jika meninggalkan wilayah Banten.
"Kasih KTP dummy atau apapun. Itu kan administratif saja sebenarnya. Masa administratif mengalahkan hal konstitusional?" kata Timbul.

Senada, pengamat kesehatan masyarakat Universitas Indonesia, Hermawan Saputra, menilai pemerintah semestinya tidak terjebak pada tindakan normatif. Nah, untuk menghadapi masyarakat adat dengan ciri khas masing-masing seharusnya bersikap lentur dan kreatif.

Hermawan menegaskan bahwa kartu identitas hanya memudahkan identifikasi jaminan kesehatan nasional, bukan harga mati.

Dia mengusulkan masyarakat adat, tidak hanya Baduy Dalam, diberi kartu jaminan kolektif. Kartu jaminan itu bisa digunakan di luar wilayah Banten.

Dia mengatakan metode jaminan kolektif itu mirip seperti asuransi kesehatan yang biasa diterapkan pada satu perusahaan, yang mendaftarkan seluruh pegawainya.

"Menjadikannya jaminan kolektif, itu bisa diatur secara khusus," kata Hermawan.

Dia menambahkan bahwa pola itu juga dapat diterapkan di masyarakat adat lain seperti Suku Anak Dalam di Jambi dan daerah-daerah lainnya.

"Harusnya tidak ada yang bisa mempersulit hanya karena identitas di lapangan. Itu bisa dijembatani pemerintah daerah," ujar dia.

Layanan Kesehatan untuk Suku Baduy Dalam di Banten

Enip, panggiwa Desa Kanekes, mengatakan warga adat Baduy Dalam sudah mendapatkan layanan kesehatan cukup baik di Banten, kendati tidak memiliki KTP dan dokumen administrasi lain. Masyarakat Baduy dapat mengakses layanan kesehatan di rumah sakit umum daerah.

"Ditangani dulu, baru diurus identitasnya ke desa," kata Enip.

Enip mengatakan warga Baduy yag sakit memiliki waktu tiga hari untuk mengurus segala berkas administrasi. Berkas itu meliputi surat keterangan tidak mampu atau surat keteangan rawat inap yang kemudian akan diserahkan ke dinas sosial.

"Ada atau tidak ada KTP akan tetap dilayani. "Jangan ditanyakan identitas dulu orang Baduy Dalam, karena sampai kapan pun Baduy Dalam itu tidak boleh punya identitas atau KTP," ujar dia.

Enip mengatakan selain perawatan di rumah sakit umum daerah, warga Baduy juga bisamengakses sejumlah Puskesmas di kampung-kampung yang berbatasan dengan Baduy Luar, salah satunya di Cijahe.

"Di Cijahe [kampung berbatasan Baduy] itu ada. Jadi kalau orang Baduy sakit, mereka akan ke sana," kata Enip.

"Enggak ada dokter yang ke Baduy Dalam. Bukan karena menolak medis, tapi kalau ke dalam bawa obat tidak boleh. Intinya, orang Baduy yang datang, mereka yang meminta obat," dia menegaskan.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Kawasan Baduy Dalam Resmi Blank Spot Internet"
[Gambas:Video 20detik]
(fem/fem)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads