Pakar lingkungan Universitas Indonesia Dr. Ir. Mahawan Karuniasa, MM menyampaikan saran kepada Presiden Prabowo Subianto setelah banjir ekstrem melanda Sumatera. Dia meminta Indonesia harus bertindak lebih tegas dalam menghadapi perubahan iklim, sekaligus memperbaiki tata kelola lingkungan di dalam negeri.
Mahawan mengatakan hujan tanpa henti hingga mengakibatkan banjir dahsyat di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November bukanlah hujan biasa. Hujan itu bermula dari bibit siklon 95B, yang kemudian berevolusi menjadi Siklon Tropis Senyar.
"Biasanya, siklon tropis biasanya menjauh dari ekuator, tapi kali ini muncul di dekat garis khatulistiwa, sehingga terbentuk badai siklon," kata Mahawan dalam perbincangan dengan detikTravel, Senin (1/12/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mahawan menyebut kondisi itu sebagai cerminan dampak perubahan iklim global. Siklon tropis, yang biasanya jarang mencapai garis khatulistiwa kini muncul di perairan Sumatera, menunjukkan ketidakstabilan pola cuaca.
Nah, banjir menjadi parah karena sungai-sungai di Sumatera tidak siap menerima volume air yang begitu besar akibat hujan ekstrem itu. Sudah begitu, deforestasi. Air tidak bisa ditahan lagi oleh pepohonan.
Mahawan menyarankan agar pemerintah mengambil sejumlah langkah, baik di dalam negeri atau pun ke luar ngeri.
1. Dorong Tanggung Jawab Negara Maju
Mahawan menekankan bahwa Indonesia tidak boleh hanya menjadi korban perubahan iklim. Dia menyebut negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat (AS), yang merupakan salah satu penghasil emisi karbon terbesar di dunia, harus lebih bertanggung jawab dan aktif dalam platform global seperti COP (Conference of the Parties).
Menurutnya, Indonesia perlu mendorong negara maju untuk memenuhi komitmen pendanaan iklim dan menurunkan emisi secara signifikan.
"Siklon dan cuaca ekstrem yang kita alami merupakan dampak perubahan iklim. Indonesia tidak boleh diam," ujarnya.
2. Penyesuaian Tata Ruang Sesuai Realitas Iklim Baru
Mahawan menilai bahwa kejadian cuaca ekstrem akan semakin sering terjadi. Dia mengingatkan bahwa hujan ekstrem di Bali pada 9 dan 10 September 2025 hingga mengakibatkan banjir juga terjadi akibat perubahan iklim. Selain itu, kawasan lain berpotensi untuk juga menghadapi kondisi serupa.
Karena itu, kebijakan tata ruang harus diperbarui dan disesuaikan dengan risiko iklim terkini. Dia menegaskan perlunya pemetaan ulang kawasan budidaya, kawasan lindung, serta daerah rawan bencana.
"Ruang harus ditata ulang berdasarkan data ilmiah terbaru. Pemerintah perlu memastikan mana wilayah yang aman untuk permukiman dan mana yang harus dipertahankan sebagai kawasan lindung," kata dia.
3. Percepat Rehabilitasi Ekosistem dan Manfaatkan Pendanaan Karbon
Mahawan juga menilai implementasi pemulihan ekosistem masih harus diperkuat. Rehabilitasi dan restorasi kawasan yang rusak, terutama hutan dan daerah tangkapan air, perlu dipercepat.
Ya, banjir ekstrem di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat turut membuka persoalan deforestasi serta kerusakan tutupan hutan di sejumlah wilayah. Kondisi tersebut memperburuk kemampuan alam menyerap air hujan dengan intensitas tinggi, sehingga banjir dan longsor semakin mudah terjadi. Di antaranya di Ulu Masen di Aceh dan Batang Toru di Sumut.
Dia menambahkan bahwa pendanaan berbasis karbon sebenarnya dapat menjadi peluang ekonomi yang menarik.
"Secara ekonomi, pendanaan karbon per hektar bisa lebih menguntungkan dibanding penanaman sawit atau kakao. Jika dihitung jangka panjang, masyarakat justru bisa mendapatkan manfaat lebih besar," kata dia.
4. Ajak Masyarakat Mengubah Pola Penggunaan Lahan
Selain aspek kebijakan nasional, Mahawan menilai bahwa perubahan di tingkat masyarakat juga sangat penting. Menurutnya, konsep ekstensifikasi-terus memperluas lahan untuk membuka kebun-perlu digantikan dengan intensifikasi, yaitu meningkatkan hasil tanpa memperluas lahan.
Masyarakat perlu didorong untuk memaksimalkan hasil pertanian berbasis pengetahuan, mengelola lahan secara lestari, serta mengembangkan produk pertanian skala kecil yang bisa dipasarkan ke daerah lain, termasuk Jawa.
"Dengan model seperti itu, pendapatan bisa meningkat tanpa harus memperluas lahan dan merusak hutan," kata Mahawan.
5. Pentingnya Kesadaran Moral dalam Mengelola Alam
Mahawan menegaskan bahwa aspek moralitas tidak boleh diabaikan. Dorongan ekonomi dari komoditas seperti sawit memang besar, tetapi bukan berarti seluruh lahan harus diubah menjadi perkebunan.
"Masyarakat dan pemerintah harus ingat bahwa nilai ekologis jauh lebih penting untuk kehidupan jangka panjang. Jangan semua dikorbankan demi komoditas yang menguntungkan sesaat," ujar dia.
(fem/fem)












































Komentar Terbanyak
Sumut Dilanda Banjir Parah, Walhi Soroti Maraknya Deforestasi
Viral Tumbler Penumpang Raib Setelah Tertinggal di KRL, KAI Sampaikan Penjelasan
Bandara IMIP Disorot, Morowali Punya Berapa Bandara Sih?