Kayu Gelondongan Hanyut Terbawa Banjir, Pakar Lingkungan UI Beri Penjelasan

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Kayu Gelondongan Hanyut Terbawa Banjir, Pakar Lingkungan UI Beri Penjelasan

Femi Diah - detikTravel
Senin, 01 Des 2025 14:11 WIB
Foto udara sampah dari kayu gelondongan yang hanyut di danau Singkarak di Nagari Muaro Pingai, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Minggu (30/11/2025). Sampah kayu gelondongan tersebut menumpuk di sepanjang jalur banjir bandang beberapa hari terakhir.  ANTARA FOTO/Wawan Kurniawan/Lmo/nz
Foto udara sampah dari kayu gelondongan yang hanyut di danau Singkarak di Nagari Muaro Pingai, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Minggu (30/11/2025). S(Wawan Kurniawan/Antara)
Jakarta -

Pakar lingkungan Universitas Indonesia Dr. Ir. Mahawan Karuniasa, MM buka suara tentang spekulasi kayu-kau gelondongan yang terbawa banjir Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Dia berpendapat kayu-kayu itu menunjukkan betapa dahsyatnya hujan yang melanda tiga provinsi Sumatera itu.

Sejumlah video menampilkan ribuan kayu gelondongan terbawa saat banjir bandang di sejumlah daerah di Sumatera Utara (Sumut) viral di media sosial. Kayu-kayu gelondongan yang terbawa banjir dan mengapung Pantai Air Tawa di Padang dan Danau Singkarak, Nagari Muaro Pigai, Solok, Sumatera Barat juga terekam dalam foto udara yang diambil oleh Antara pada Minggu (30/11/2025).

Fenomena kayu gelondongan yang terbawa banjir itu memunculkan spekulasi bahwa banjir di Sumatera terkait dengan kayu bulat ditebang atau pohon tumbang. Mahawan menilai tudingan tersebut tidak tepat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kayu-kayu yang terbawa banjir sebagian besar adalah pohon yang roboh akibat kekuatan air, bukan karena ditebang. Kalau diperhatikan dari video-video itu, ukuran kayu bervariasi. Fenomena itu lebih mencerminkan skala masif banjir daripada aktivitas penebangan," kata Mahawan dalam perbincangan dengan detikTravel, Senin (1/12).

Melalui akun Instagram Mahawan menjelaskan perbedaan kayu logs atau kayu bulat dan kayu dari pohon tumbang. Dia menjelaskan bahwa logs atau kayu bulat, diperoleh dari menebang pohon.

ADVERTISEMENT

"Logs dari hutan tanaman di Indonesia (ditanam) biasanya ukurannya seragam, diameternya kecil, sekitar 30 cm. Logs dari hutan alam (tumbuh alami), ukurannya lebih besar, bisa 50 cm atau lebih. Biasanya logs ditebang dengan gergaji mesin, jadi kedua ujungnya rata," ujar Mahawan.

Mahawan juga merespons penilaian bahwa kayu-kayu gelondongan yang terbawa air itu diduga sebagai kayu hasil pembabatan hutan karena tidak tenggelam. Dia menjelaskan bahwa logs tenggelam atau mengapung dalam air itu tergantung jenis pohonnya.

Dia mengatakan bahwa logs yang tenggelam tranportasinya lewat darat, pakai truk logging atau dengan kapal ponton lewat sungai. Logs yang mengapung, dirakit, dihanyutkan lewat sungai yang landai, bukan sungai yang terjal, banyak batu, apalagi ada air terjunnya. Jika sungai terjal, ya diangkut truk, lewat darat.

"Jadi, logs kayu tenggelam biasanya dikumpulkan di pinggir jalan, bukan di pinggir sungai, kecuali mau diangkut kapal. Logs kayu tidak tenggelam, dikumpulkan di pinggir sungai yang landai, tidak terjal, tidak banyak batu, yang bisa dilewati kapal, untuk siap dirakit ke hilir. Kalau sungai tidak bisa, ya dikumpulkan di pinggir jalan," ujar dia.

Sejumlah warga berjalan di antara potongan kayu gelondongan yang bertumpuk di pantai Air Tawar, Padang, Sumatera Barat, Jumat (28/11/2025). Sampah kayu gelondongan itu menumpuk di sepanjang pantai Padang pasca banjir bandang beberapa hari terakhir.  ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/YUSejumlah warga berjalan di antara potongan kayu gelondongan yang bertumpuk di pantai Air Tawar, Padang, Sumatera Barat, Jumat (28/11/2025). Sampah kayu gelondongan itu menumpuk di sepanjang pantai Padang usai banjir bandang beberapa hari terakhir. (Iggoy el Fitra/Antara)

Mahawan juga memastikan bahwa pohon roboh, baik karena tua, lapuk, perubahan struktur tanah, longsor, atau karena banjir, bentuknya beda dengan logs.

"Pohon roboh karena tua dan lapuk terlihat dari batang dan rantingnya yang rapuh. Pohon roboh karena struktur tanah, longsor atau terhempas banjir, umumnya sebagian akar dan cabangnya terlihat, tidak serapi logs yang tanpa akar dan ranting, dan kedua ujung rata bekas gergaji mesin," dia menjelaskan.

"Banjir di sungai yang landai, bisa menghanyutkan pohon tepi sungai yang ikut tumbang dan logs kayu tidak tenggelam yang ditaruh di tepi sungai atau yang terkena banjir," ujar Mahawan.

"Banjir di sungai yang terjal, lebih banyak membawa longsoran tanah, batu, semak, dan pohon di tebing sungai yang tergerus banjir," dia menegaskan.

Mahawan sekaligus menegaskan bahwa banjir ekstrem itu diperparah dengan deforestasi. Dia menyebut bahwa tekanan ekonomi dan pertumbuhan penduduk membuat hutan dibuka, tutupan lahan berubah dari hijau menjadi coklat.

"Saat hujan ekstrem datang, ekosistem yang rentan itu tak mampu menahan air, potensi banjir pun meningkat, rumah-rumah tergenang, dan bencana menjadi nyata," ujar Mahawan

Data satelit memang menujukkan bahwa bahwa tutupan lahan berkurang drastis. Dalam laporan Jatam merujuk Google Satellite/Google Imagery per 28 November 2025, proyek PLTA Batang Toru telah membuka sedikitnya 56,86 hektare kawasan hutan di sepanjang aliran sungai untuk bangunan utama, kolam, jalan, dan area penunjang, yang tampak jelas sebagai pelebaran area terbuka di tubuh ekosistem.

Peta tambang SumateraPeta tambang Sumatera (dok. Jatam)

Selain itu, Jatam juga menyebut bahwa Sumatera telah diperlakukan seperti zona pengorbanan untuk industri tambang minerba. Setidaknya ada 1.907 izin usaha pertambangan aktif yang membentang di seluruh pulau, dengan total luas mencapai 2,45 juta hektare.

Kepadatan izin itu menumpuk di sejumlah provinsi, mulai dari Bangka Belitung (443 izin), Kepulauan Riau (338), Sumatera Selatan (217), Sumatera Barat (200), Jambi (195), hingga Sumatera Utara (170). Provinsi lainnya-seperti Lampung, Bengkulu, Aceh, dan Riau-juga dijejali puluhan hingga ratusan izin tambang di darat maupun laut.

Luas konsesi itu membuat jutaan hektare hutan, kebun rakyat, dan lahan basah yang sebelumnya menjadi penyangga air kini berubah menjadi area galian, jalan tambang, dan infrastruktur ekstraksi. Akibatnya, kemampuan daerah aliran sungai (DAS) untuk menahan dan mengalirkan air secara perlahan terus melemah.

Tekanan terhadap ekosistem Sumatera tidak berhenti pada sektor tambang. Pulau itu juga dipenuhi proyek energi air, yakni sedikitnya 28 Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sudah beroperasi atau sedang dikembangkan. Sebarannya terbesar berada di Sumatera Utara dengan 16 PLTA, disusul Bengkulu (5), Sumatera Barat (3), serta Lampung dan Riau yang masing-masing memiliki dua proyek.




(fem/fem)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads