Pak Itam dan Kaisarnya

Kep. Riau - Perjalanan laut dari Pelabuhan Sri Bintan Pura di Tanjung Pinang (Pulau Bintan) ke Pelabuhan Tanjung Buton di Daik (Pulau Lingga) memakan waktu kurang lebih 5 jam. Setelah sebelumnya harus singgah di beberapa pulau dan pelabuhan, seperti Pulau Bukit, Pulau Lejai, Tanjung Kelit, dan Jagoh di pulau Singkep. Tanggal 29 September 2010 memang jadwal kami menuju Pulau Lingga, untuk menilik sejarah di Pulau Bunda Tanah Melayu ini.
 
Sampai di Pelabuhan Tanjung Buton kami disambut oleh beberapa tukang ojek yang menawarkan jasanya untuk mengantarkan ke pintu keluar Pelabuhan yang tidak begitu besar ini, karena dari tempat turun penumpang kapal hingga pintu keluar dimana terdapat angkutan umum ada sekitar 400 meter. Cukup jauh bukan?? apalagi harus membawa tas besar di punggung dan tas kecil di depan serta bungkusan cemilan di tangan kanan dan kiri.
 
Ojek di Daik ada 2 jenis, jenis yang pertama adalah jenis motor bebek biasa, dan jenis yang satu lagi adalah motor yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa hingga menyerupai bajaj, beroda tiga tapi tanpa atap. Yang unik dari ojek ini namanya, masyarakat setempat menyebut ojeg ini dengan sebutan ojeg Kaisar.
 
Karena tas-tas kami yang cukup besar, kurang memungkinkan untuk naik ojeg bebek biasa. Akhirnya kami putuskan untuk menyewa ojeg Kaisar, cukup lapang untuk memuat kami bertiga dengan 4 tas besar dan 3 tas kecil. Setelah bernegosiasi mengenai ongkos untuk mengantarkan kami ke penginapan Sun Ling, akhir disepakati harga 30.000 rupiah. Jumlah yang tidak begitu besar untuk kami bertiga daripada harus terlalu repot membawa tas-tas besar, berjalan kaki keluar pelabuhan dan harus naik angkot yang belum tentu ada. Benar saja, ketika kami sudah diatas Kaisar dan diantarkan menuju penginapan Sun Ling yang jaraknya kami rasa cukup jauh, hanya satu angkutan umum yang kami temui di sepanjang jalan. Mungkin sore itu sudah pukul 5 , atau memang angkutan umum jarang karena sebagian besar masyarakat berjalan kaki atau naik motor pribadi.
 
Kami diantarkan sampai penginapan Sun Ling di Jalan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah. Ternyata si pengemudi Kaisar, Pak Itam, sudah dikenal sering mengantarkan tamu ke penginapan ini. Dipanggil Pak Itam karena memang beliau berkulit hitam.
 
Mengingat angkutan umum yang jarang sekali ada di Daik, maka kami putuskan untuk diantarkan Pak Itam dengan Kaisarnya ke tempat-tempat yang akan kami kunjungi di hari berikutnya.
 
Pagi berikutnya dengan menumpang di bak belakang Kaisar milik Pak Itam, kami diantarkan ke beberapa situs sejarah yang ada di Daik. Tidak hanya situs sejarah, kami juga diantarkan ke makam raja-raja kesultanan Lingga Riau, Pantai Panjang, Desa Suku Mantang (Suku Asli yang dulunya tinggal di atas perahu, kini sudah menetap, tapi masih dengan rumah yang berada diatas laut), dan Masjid Sultan Lingga.
 
Jangan anggap remeh Pak Itam dan Kaisarnya, walau usia pak Itam sudah kepala 5 dan bercucu 3 namun Pak Itam masih kuat dan lihai, sekuat dan selihai Kaisarnya yang dibawa Off Road sepanjang jalan menuju Desa Suku Mantang yang terletak di bibir pantai dekat pantai Pasir Panjang. Untuk menuju lokasi Desa Suku Mantang, medannya sangat berat karena belum ada akses jalan aspal apalagi dengan menggunakan Kaisar yang beroda 3 dengan ukuran agak lebar dan harus melalui jalan-jalan kecil yang masih berupa tanah yang sengaja diurukkan rawa-rawa bakau.
 
Belum lagi medan lainnya adalah jalan tanah berkelok-kelok naik turun bukit yang sepertinya baru dibuat dan harus melewati 3 jembatan kayu diatas sungai selebar 7 meter yang lebar jembatannya hanya lebih beberapa centimeter dari lebar Kaisar pak Itam. Jika Pak Itam tidak ahli membawa Kaisarnya, mungkin kami akan terjebak dalam lumpur di tengah rawa-rawa bakau yang jauh dari pemukiman atau terguling masuk ke rawa-rawa.
 
Satu lagi, ternyata Pak Itam yang baru tinggal 4 tahun di Daik ini sebelumnya adalah nelayan di pulau kecil dekat tetangga pulau Lingga. Pak Itam cukup dikenal masyarakat setempat, entah itu di Museum Mini Lingga, di Penginapan, di Desa Kelumu, di Desa Suku Mantang, ataupun disepanjang jalan yang kami lalui. Padahal jarak antar perkampungan di Daik cukup jauh. Tak salah rasanya jika kami putuskan untuk diantarkan Pak Itam ke tempat-tempat yang mungkin luput dari perhatian orang pada umumnya, seperti kawasan adat terpencil Suku Mantang.
 
(gst/gst)