Surga Ini Bernama Taneg Olen

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Sayyed Fahrul Pratama Almahdaly|5164|KALTIM 1|36

Surga Ini Bernama Taneg Olen

- detikTravel
Kamis, 31 Mar 2011 10:58 WIB
KALIMANTAN TIMUR - Taneg Olen terasa sejuk dan tenang. Satu setengah jam perjalanan melewati sungai Desa Setulang mengantarkan kami kesini, salah satu titik wisata hutan Borneo. Taneg Olen berasal dari bahasa Dayak Kenyah yang berarti tanah yang harus dijaga.

Kami berangkat pagi-pagi sekali dari rumah.  Perjalanan menuju Taneg Olen sempat terhambat karena salah satu perahu tidak bekerja maksimal. Hambatan tersebut tidak ada artinya dengan pemandangan hutan hujan tropis di kiri dan kanan.  Saya juga cukup beruntung, bisa melihat langsung bangau liar dan burung enggang (Buceros vigil). Saya tidak henti-hentinya menatap takjub. Ini surga!

Begitu sampai di camp, kami langsung menyiapkan santap siang.  Saya berinisiatif untuk memasak mie instan sementara teman seperjalanan saya, Cut Rindayu, meracik sayur dari bunga pepaya yang tumbuh liar di hutan. Bekal yang kami bawa dari rumah ditambah ikan segar hasil tangkapan Pak Kahang, pemandu lokal, dihabiskan dengan lahap karena kami harus bergegas untuk trekking ke dalam hutan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jalur trekking yang sangat terjal dan curam membuat kami cukup kewalahan.  Maklum, ini pengalaman baru.  Belum lagi hutan hujan tropis ini dipenuhi dengan pohon-pohon tua lapuk yang bisa jatuh kapan saja. Sebuah pohon meranti yang dikenal dengan sebutan Cifor Tree menjadi tempat istirahat kami yang pertama.  Pohon ini berdiameter 600cm dan menjadi pohon paling besar di radius setengah kilometer.

Trekking dilanjutkan menuju ke air terjun. Sepanjang perjalanan kami melihat jejak beruang madu, rusa, dan babi hutan.  Saya sempat melihat sepasang Otter civet (Cynogale bennettii), sejenis musang, yang kabur begitu menyadari keberadaan kami.

Sampai di air terjun Pak Kahang mengajari saya menjaring ikan.  Menjaring ikan tidak semudah yang saya bayangkan.  Satu ikan pun tidak berhasil saya dapatkan. Artinya, kami akan makan malam dengan mie instan dan telur.

Kami kembali ke camp tepat pukul 6 sore.  Hujan menghalangi niat untuk berburu payau (rusa). Saya memilih untuk beristirahat sampai dibangunkan Rinda sebelum makan malam.  Lauk malam ini adalah ikan hasil tangkapan Pak Ibut, pemandu lokal, dari sungai di depan camp. Makan malam dihabiskan dengah selingan gurauan para pemandu lokal.  Orang Dayak Kenyah ternyata lucu dan bersahabat. Saya diajarkan cara membuat sup ikan terjun dan cara merebut durian.  Nanti saya ceritakan bagaimana caranya.

Besok kami akan kembali ke Desa Setulang, meninggalkan Taneg Olen.  Saya kembali ingin berterima kasih.  Kali ini untuk suku Dayak Kenya yang sudah menjaga paru-paru dunia di bumi Indonesia.  Salam Aku Cinta Indonesia!
(gst/gst)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads