Salah satu ciri khas yang paling kentara adalah bentuknya yang sangat unik. Arsitektur resor ini menggunakan gaya vernakular dengan mengadopsi bentuk honai, rumah adat Suku Dani yang mendiami Lembah Baliem. Tapi ini bukanlah honai biasa yang pengap dan penuh asap. Atapnya memang mengadopsi bentuk atap honai, tapi dindingnya terbuat dari bata dan semen, bukan papan kayu seperti rumah tradisional. Selain itu setiap unit resor dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi dengan aksen natural dan double bed yang lega.
Salah satu fasilitas yang tidak bisa dilupakan adalah akses langsung jendela kamar berupa kaca yang lebar, dimana kita bisa melihat langsung barisan pegunungan Jayawijaya dengan leluasa. Ini adalah kenikmatan yang tiada tara, meski tidak ada acara hiking dalam itinerary kami, tapi melihat panorama Pegunungan Jayawijaya dengan jelas adalah sebuah kepuasan tersendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu tempat terbaik untuk melihat pemandangan adalah dari balkon lobby. Kota Wamena terlihat tampak kecil dari kejauhan, dikelilingi barisan pegunungan yang mengepung seperti mangkok mie ayam yang kosong.
Selain karena pemandangannya, saya dan Mas Sukma juga mengagumi ruangan lobby yang juga difungsikan sebagai galeri. Koleksi Werner berupa artifak dari suku pedalaman Papua memang mudah menimbulkan decak kagum; tameng Sorowako, berbagai jenis patung mbis dari Asmat, baju perang Suku Korowai, dan tengkorak buaya dari sungai Mamberamo adalah sebagian koleksinya.
Werner sendiri di masa mudanya adalah seorang petualang yang melakukan ekspedisi di banyak tempat Nusantara pada tahun 70-an. Beberapa daerah yang pernah dikunjungi olehnya adalah Lamalera, NTT; Papua; dan Kalimantan. Dari berbagai perjalanannya tersebut ia menulis sebuah buku berjudul "Expeditionen Durch Indonesien".
Saat check in kami diterima oleh sang resort manager, Agustina Ika Savitri Dewi. Wanita asal Bali ini sudah tujuh tahun mengurus penginapan dengan luas tanah 100 hektar ini. Banyak dari tamunya yang berupa sosialita dan pesohor negeri ini. “Kemarin baru saja Shanty nginap di sini, untuk syuting sebuah iklan jamu,” kata Ika. Desainer fashion terkemuka, Edward Hutabarat, juga sering singgah untuk melakukan sebuah riset tentang Wamena.
Saat malam tiba, suhu udaranya bisa berkali lipat lebih dingin, apalagi saat subuh hampir tiba, membuat badan selalu menggigil kedinginan dan meringkuk di bawah selimut dan jaket tebal adalah hal yang paling pantas dilakukan. Memang di daerah lembah seperti Wamena ini angin bertiup sangat kencang, serta menimbulkan bebunyian lirih saat bergesekan dengan celah-celah bukit. Desau angin adalah suara yang paling dominan di malam hari selain ceracau binatang nokturnal dan degup jantung kami sendiri.
Tapi jantung kami berdegup semakin kencang saat makan malam tiba. Ini memang bukanlah sebuah makan malam biasa, hanya kami berdua yang ada di ruang makan sebesar gudang yang penuh dengan barang antik itu. Sebetulnya banyak tamu yang menginap malam itu, tapi semua sedang pergi meninggalkan honai-nya untuk trekking dan bermalam di hutan. Yang tersisa hanya ada dua pasang tamu, sepasang suami istri dari Jerman, sepasang lagi adalah dua pria tampan Petualang ACI.
Udara yang dingin menahan agar keringat kami tidak mengalir seperti aliran Sungai Baliem. Acara makan malam ini memang tidak lumrah bagi dua orang pria; sebuah candlelight dinner. Suasana bertambah tidak menarik ketika mbak Ika memutar sebuah cakram padat milik Frank Sinatra yang mengalunkan nada swing yang romantis.
Mungkin jika saya melewatkan acara makan malam ini dengan kekasih bisa menjadi sesuatu yang luar biasa. Masalahnya yang ada di depan saya adalah seorang pria beristri bernama Sukma Kurniawan.
Saya bisa mendengar degup jantung sendiri, karena malam memang begitu sepi. Tidak lama keheningan itu pecah, mas Sukma melontarkan pertanyaan,”Yos, gimana perasaan kamu?”
Tentu saja ini bukanlah sebuah pertanyaan yang wajar diungkapkan oleh seorang pria kepada pria lainnya.
Saja jawab saja,”Lapar, Mas,” mencoba menutup kemungkinan pertanyaan lain dari Mas Sukma yang bisa jadi tidak terduga. Tangan saya meraih udang Baliem yang bercangkang keras, dan segera menyibukkan diri untuk melepas daging empuknya.
Untung saja acara makan malam berdua ini tidak berjalan lama, pasangan gaek Jerman pun mulai turun gunung. Ikut bergabung untuk menikmati sajian istimewa ala Baliem Valley Resort.
Sambil sibuk melayani pasangan gaek itu, mbak Ika melewati meja kami, dengan nada menggoda ia bilang saja,”Gimana? Kalian sudah jadian belum?” ujarnya menjauh sambil tertawa cekikikan. Oh Tuhan. []
Silahkan lihat foto-foto Baliem Valley Resort dan panorama yang disuguhkannya pada link berikut: http://de.tk/mgjzA
(gst/gst)
Komentar Terbanyak
Prabowo Mau Borong 50 Boeing 777, Berapa Harga per Unit?
Bandung Juara Kota Macet di Indonesia, MTI: Angkot Buruk, Perumahan Amburadul
Prabowo Mau Beli 50 Pesawat Boeing dari AS, Garuda Ngaku Butuh 120 Unit