Jakarta - Ini bukanlah perjalanan satu dua hari, atau libur akhir pekan, datang berfoto lalu pulang. Inilah petualangan sendirian berlayar ke Pulau Timor.Ketika saya bertanya tentang Atambua, pada umumnya orang menjawab tidak ada apa-apa. Di sana kamu hanya hanya akan menemukan tanah yang tandus, rumput yang mati, pohon-pohon tanpa daun, malam yang yang sepi, cuaca yang dingin di malam hari lalu panas di siang hari dan pada waktu tertentu bisa mencapai suhu 40 derajat celcius. Sungai-sungai kering, tidak banyak juga sisa-sisa pembangunan di era penjajahan Belanda dan Jepang. Laut dan pantai di sana memang berpasir putih tetapi di beberpa pantainya malah cukup berbahaya karena habitat dari buaya.Dan kini seseorang di Pelabuhan Kupang pun menanyakan hal serupa pada saya.Apa yang ingin kamu cari di sana? Apa kamu ada teman di sana? Keluarga? Saudara, dsb? "Tidak seorang pun," saya menjawab. Lalu untuk apa kamu ke sana jauh-jauh dari Jakarta, bukankah di Jakarta semuanya ada dan tersedia?TetapI tanpa sempat saya menjawab, ia kembali melanjutkan ceritanya yang menggebu-gebu tentang Atambua sembari memutar-mutar sendok di dalam cangkir kopi di genggamanya,Saya tidak terlalu menyimak, mata saya mengantuk semalaman. Saya belum tertidur menanti fajar, di tangan jam menuNjukan pukul 06.00 pagi tetapi matahari sudah meninggi saya lihat jam dinding menujukan pukul 07.00 ruapanya saya lupa mengatur ulang jam tangan sesuai waktu setempat, entah dimana perbedaan rentan waktu itu terjadi semalam.Kapal datang dini hari, ribuan orang bergegas memebereskan ulang barang-barang mereka sebelum kapal bersandar. Beberapa orang berdandan memoles penampilan setelah berhari-hari di atas kapal. Ini adalah pertemuan pertama mereka dengan rumah, setelah ada yang 4,10, atau bahakan 18 tahun lamanya tidak pernah pulang ke kampung halaman semua saya dengar dari cerita langsung beberpa orang saat kapal masih berlayar.Kini mereka kembali ke tempat dimana mereka dilahirkan, dimana mereka bernaung semasa kecil bersama orang tua dan saudara kandung lainya. Bagaimana rasanya kembali?Saya terduduk di atas kasur memperhatikan kesibukan orang-orang, kini kasur yang semula saya gunakan untuk tidur sudah berisi penuh barang-barang yang orang kelompokan, tidak bisa lagi walau hanya sekedar rebahan dan cuma dapat duduk berpangku tas yang sama besar dengan tubuh kecil saya sembari menanti panggilan akhir dari ruang informasi.Pada saat yang sama, benak saya di penuhi banyak pertanyaan, kemana saya hrus pergi, dimana saya akan tinggal, bagimana jika terjadi sesuatu setelah turun dari kapal nanti? Terlalu banyak kabar negatif yang saya dengar selama di kapal, bahkan beberpa malah merekomendasikan ke tempat tempat lain setelah mendengar jika tujuan saya ke Atambua seorang diri, tanpa teman, tanpa saudara, dan tanpa keahlian bahasa setempat.Kenpa tidak ke Lombok saja, Bali, Labuan Bajo, Pulau Komodo? Di sana banyak pantai bagus, pulau yang bagus-bagus, banyak turis kamu bisa bersenang-senang di sana, di sana surga memang, ujar salah seorang di atas kapal.Saya hanya mengangguk meski tanpa rasa keingitahuan yang tinggi akan surga-surga yang ia sampaikan tadi, mungkin akibat dari konsumsi informasi yang sudah terlalu banyak saya terima baik berupa cerita teman, ataupun foto-foto di media cetak dan online yang berlomba-lomba menafsirkan surga lewat tempat-tempat yang eksotis dan kenyamaanan yang memanjakan setiap turis baik lokal maupun manca negara di pulau-pulau sana.Tetapi dalam hati saya, pilihan sudah bulat semenjak 3 tahun yang lalu. Saya ingin tinggal dan menetap untuk kurun waktu tertentu di perbatasaan Atambua. Saya ingin merasakan hidup di sana. Saya ingin tahu bagimana rasanya bernafas bersama orang-orang di sana, bagaimana keseharian mereka, bagimana mereka melihat kehidupan, bagimana mereka bertahan di tengah tekanan politik berupa garis batas negara yang mendikte kehidupan mereka dengan bayang-bayang sejarah di penghujung runtuhnya Orde Baru silam.Perjalanan ini bukanlah perjalanan satu dua hari, atau sekedar mengisi libur di akhir pekan, datang ke berbagai tempat, berfoto lalu pulang dan menceritakan keindahan laksana duta pariwisata. Meski dalam benak ini terjadi banyak peperangan dan tubuh meresponsnya dengan tuntuan mencari kehidupan yang nyaman.Tinggal di satu tempat, bekerja lalu disibukan persaingan-persaingan superfisial, menjalin hubungan-hubungan emosional, menikah, membangun rumah, memiliki keturunan lalu menua dalam banyak lamunan.Tidak perlu bermandi peluh tanpa karir, tanpa jaminan pensiun, dapat tidur di kasur yang hangat di musim hujan atau pergi berwisata untuk mengisi akhir pekan, hidup yang demikian memanglah sangat menggoda.Tetapi kehidupan bukanlah barang yang bisa kita garansikan. Kehidupan menghilang dari detik ke menit, menit ke jam, hari ke minggu, minggu ke bulan, bulan ke tahun, dan tahun ke tahun, tidak ada seorangpun yang tahu pada detik keberapa dan pada tahun keberapa kita akan pergi selamanya, bahkan barisan angka di buku-buku rekining tidak akan mampu menyelamatkan kita dari satu-satunya kepastian setiap apa-apa yang mampu hidup.Bapak Paulus dari Alor sempat berkata pada saya saat saya berbincang sembari memandangi kapal memecah ombak di tengah Laut Jawa. "Anak hidup itu harus berani, berani menjalani apa yang kamu yakini, harga diri, kasta sosial hanyalah ilusi," kata dia."Di beritahukan kepada para penumpang kapal sudah tiba di tujuan akhir Pelabuhan Tenau kami persilakan untuk turun dari pintu depan lambung kiri kapal, terima kasih atas kepercayaan anda telah berlayar bersama kami," begitu bunyi pengeras suara.Bunyi pengeras suara dari ruang informasi menyadarkan saya dari lamunan tadi, dengan hati yang cemas, bercampur dengan gairah hidup yang baru saya mengambil langkah menuruni tangga kapal lalu berpijak di tanah tempat dimana fantasi dan realita akan berbenturan atau melebur bersama hari-hari yang saya lewati ke depan.
Komentar Terbanyak
Didemo Pelaku Wisata, Gubernur Dedi: Jelas Sudah Study Tour Itu Piknik
Forum Orang Tua Siswa: Study Tour Ngabisin Duit!
Pendemo: Dedi Mulyadi Tidak Punya Nyali Ketemu Peserta Demo Study Tour