Senin, 06 Mei 2019 07:00 WIB
D'TRAVELERS STORIES
Touring Motor dan Wisata Kuliner dari Jakarta ke Dieng
andra filemon
d'Traveler
detikTravel Community - Touring motor adalah kegiatan wisata petualangan yang seru dilakukan. Apalagi menyusuri Pantura Jawa yang punya banyak objek wisata dan tempat kuliner.Meninggalkan Jakarta menuju Jawa Tengah di awal tahun dengan sepeda motor sebenarnya bukan ide yang bagus. Cuaca sedang tidak bersahabat, ditemani adik sepupu yang mengendarai Yamaha MT-25 hujan deras mengguyur sejak pagi dan langit masih sibuk bermain dengan warna gelap dan basah hingga siang hari. Tetapi windshield yang cukup tinggi dari Himalayan ini cukup melindungi dari terpaan angin, kombinasi jas hujan dan jaket waterproof dengan protektor membuat badan tetap kering.Di jalan lingkar luar Karawang, hujan deras dan angin kencang menerpa sepeda motor turing adventure ini, sosoknya tetap stabil di jalan terbuka. Berkubikasi mesin 410 cc dengan monoshock-monoshock pertama dari seluruh seri motor keluaran Royal Enfield, membuat Himalayan lebih stabil di jalan menikung dan bergelombang. Tenaga yang disemburkan lebih dari cukup untuk motor turing. Kecuali Anda berharap loncatan tenaga yang besar di awal, Anda layak memikirkan motor sport lansiran pabrikan Jepang. Royal Enfield Himalayan memang dirancang untuk memberikan kenyamanan turing jarak jauh dan masih mumpuni di medan off-road ringan, bukan untuk beradu kecepatan.Memasuki Cirebon, ketika beberapa kali berhenti di lampu merah, desain dan bentuk motor berwarna putih ini menarik banyak perhatian. Meskipun seat levelnya setara dengan motor kebanyakan di Indonesia 800mm dari permukaan tanah, dashboard dan buritannya tetap lebih tinggi, terlihat jangkung dengan garpu teleskopik menjulang tinggi di depan. Apalagi desain dual-purpose yang ditegaskan dengan ukuran ban depan pelk jari-jari ring 21 dan belakang ring 18 yang dibungkus dengan ban dual-purpose MT-60 keluaran Pirelli, motor ini nyaman dikendarai oleh pria dewasa dengan tinggi badan rata-rata di Indonesia.Turing, Kuliner dan WisataBelum main ke Cirebon kalau belum makan Nasi Jamblang atau Empal Gentong. Akhirnya kami berbelok ke Nasi Jamblang Mang Dul di Jalan Cipto Mangunkusumo. Di kedai makan ini banyak pengunjung yang hanya meminta nasi sedikit, namun lauk yang mereka makan bisa lebih banyak. Yang menjadi ciri khas Nasi Jamblang adalah nasi yang dibungkus daun jati, sambel khas Cirebon yang disebut Jamblang dan lauk pauk yang beraneka ragam.Sayang sekali saat kami tiba di warung nasi Jamblang Mang Dul, tahu berisi oncom pedas favorit belum tersedia. Tahu itu mirip tahu isi di Jakarta, tetapi isinya bukan sayuran, melainkan oncom pedas. Tahunya empuk dan dibungkus tepung yang juga empuk, tidak kriuk seperti tahu isi di Jakarta. Duh, sedikit menyesal tetapi tetap terbayar dengan lauk lainnya yang tidak kalah enak. Mari makan, nyam nyaam nyaaam.Setelah kenyang, hasrat untuk menggeber motor ini menuju Jawa Tengah seperti tak terbendung lagi. Jalanan relatif lancar dan cuaca lebih bersahabat. Himalayan sungguh nyaman untuk menjelajah jalanan pantai utara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Handlingnya enak untuk meliuk di antara kepadatan truk dan lalu lintas siang hari.Sebelum Pekalongan, GPS menunjukkan jalan berbelok ke kanan, ke arah selatan. Kurang dari 50 km, kabupaten pesisir Pekalongan memiliki wilayah di ketinggian lebih dari 1.160 mdpl. Hari menjelang meredup ketika roda Himalayan menyentuh bumi Petungkriyono. Sisa air hujan masih membasahi daun-daun di hutan lindung milik Perum Perhutani. Beberapa monyet liar berloncatan di dahan pepohonan seperti mengucapkan selamat datang.Petungkriyono adalah kota kecamatan di Kabupaten Pekalongan. Dalam satu lokasi di sini terdapat banyak atraksi wisata seperti Curug Bajing, Wana Wisata Curug Lawe, bumi perkemahan, River Tubing, telaga yang bening hingga menyusuri sungai dengan tebing yang fantastis di Black Canyon. Lebih unik lagi adalah kopi yang seharusnya bisa menjadi komoditi unggulan Petungkriyono. Kopi Petung dibuat dari tumbuhan kopi alami atau liar yang hidup di antara pepohonan hutan lindung, jadi sangat berbeda dengan kopi yang dipanen dari hasil kebun. Jenisnya pun ada arabica dan robusta, harganya per gelas siap saji cukup murah, hanya Rp 10.000. Duren juga tersedia sesuai musim, harganya lebih terjangkau dibanding di kota besar. Sebutir durian sebesar kepala orang dewasa bisa ditebus dengan harga paling mahal Rp 80.000, rasanya sangat manis dan legit. Dagingnya tebal. Jadi, jangan ragu bawa motor kalian ke Petungkriyono. Membuka tenda atau menginap di homestay, semua ada pilihan.Jalan menuju Petungkriyono relatif bagus, sangat mudah dilibas oleh Himalayan. Tidak ada halangan yang berarti buat motor adventure pertama yang diproduksi oleh Royal Enfield ini saat menuju Petungkriyono walaupun beberapa titik jalannya masih berbatu dan terjal. Keesokan harinya perjalanan bersama Himalayan dilanjutkan menuju tanah para dewa, dataran tinggi Dieng.Menuju Dieng bersama Himalayan menikmati jalan berkelok naik turun menembus hutan lindung, berkendara menuju kabut dan hujan gerimis. Handling Himalayan terasa mudah bahkan untuk pengendara pemula sekalipun. Ditopang oleh cradle frame, mesinnya menggunakan konfigurasi 1 silinder, SOHC, 4 langkah, berpendingin udara, bertenaga puncak 24,5 hp pada 6.500 rpm dengan torsi 36 Nm pada 4.250 rpm. Koplingnya ringan, dan akselerasinya halus. Meski begitu, mesin ini cukup bisa diandalkan saat melalui turunan cukup terjal dan ketika mendaki tanjakan di jalan berbatu bercampur tanah.Bicara soal kaki-kaki, travel suspensi depan Himalayan sepanjang 220 mm lebih dari cukup untuk melintasi medan light off-road di Indonesia. Travel suspensi belakang sepanjang 180 mm mampu menyerap benturan dengan baik. Kekurangan kecilnya adalah pada peredaman shock belakang yang diatur sangat lembut, sehingga tidak memberikan sokongan maksimal ketika dibesut kencang melintasi whoops (gundukan kecil di lintasan off-road) atau ketika menikung cepat.Rasio gigi satu dan dua yang panjang membuatnya nyaman dipakai melahap jalur cross country. Himalayan mudah dikendalikan dan dirancang bagi mereka yang suka berpetualang, jangan berharap banyak pada performanya, karena motor ini lebih tepat bagi mereka yang suka pada tampilan klasik dan berkendara santai di jalan raya tapi tetap trengginas di jalur off-road ringan. Dengan bobot 191 kg, jangan perlakukan motor ini seperti dirt-bike. Serius!Tiba di Dieng, hari sudah gelap, langsung saja hidung Himalayan ini mengarah ke sebuah rumah makan yang terlihat hangat dengan interiornya yang didominasi lampu kuning, rumah makan Selera Raja. Suhu masih menunjukkan 16 derajat C di sore hari, jadi walaupun dingin, kita masih tenang-tenang saja. Semangkuk mie ongklok dan sepiring tempe kemul tersaji ditemani segelas purwaceng panas, ketiga menu ini adalah kuliner khas dataran tinggi Dieng. Mie Ongklok biasa disajikan bersama dengan sate sapi atau telur ceplok. Hmmm, nikmat sekali.Usai makan, kami sepakat mendirikan tenda di area Candi Arjuna. Menjelang tengah malam, suhu turun drastis hingga 11 derajat C, kami mulai resah. Sungguh sebuah perjuangan untuk melewati malam itu. Jam 3 dini hari kami memutuskan pindah ke homestay yang dilengkapi penghangat ruangan, hahaha. Keesokan harinya, matahari bersinar cerah. Suhu sedikit hangat walaupun masih terbilang dingin. Sarapan kami sedikit berbeda, yaitu nasi megono Dieng yang sedikit berbeda dengan nasi megono khas Pekalongan. Nasi ini dimasak dengan tambahan bumbu dan disajikan tercampur dengan tambahan sayur, teri asin dan parutan kelapa. Lauknya tempe kemul dan telur ceplok lagi dan ditemani secangkir teh panas yang cepat dingin. Usai sarapan kami mengunjungi candi Arjuna, candi Hindu yang diperkirakan dibangun pada sekitar abad ke-7 pada masa pemerintahan kerajaan Mataram Kuno.Kebetulan hari itu adalah long weekend, sehingga banyak pengunjung mendatangi candi yang terletak di ketinggian 2.093 mdpl. Pengunjung didominasi siswa sekolah dan karena ada pemandu yang menceritakan tentang sejarah candi ini, kami mendapat pengetahuan tentang candi yang ternyata ditemukan oleh seorang tentara Inggris pada tahun 1814. Pada waktu pertama kali ditemukan, kondisi Kompleks Candi Arjuna tengah dalam keadaan terendam air telaga. Selesai berkeliling di kompleks candi yang tidak luas ini, kami berkemas kembali menuju Jakarta dan menikmati perjalanan bersama Himalayan. Bruuuuummmm.