Kuy, Jelajah 3 Kelenteng Bersejarah di Ibu Kota
Kamis, 07 Mar 2019 09:30 WIB

Dodi Wijoseno

Jakarta - Weekend ini kenapa tidak mencoba sesuatu yang beda mengisi waktu luang? Yuk jelajah 3 kelenteng bersejarah di Kota Jakarta dan kenali budaya Tionghoa.Jakarta, dalam sejarah panjang perjalanannya sebagai sebuah kota tentu memiliki banyak kisah mengenai penduduknya yang terdiri atas berbagai macam suku, agama, bahasa dan budaya. Seiring perjalanan sejarahnya, Jakarta yang pernah memiliki beberapa nama di masa lampau, seperti: Sunda Kelapa, Jayakarta, dan Batavia, sudah tersohor hingga ke mancanegara sebagai salah satu pusat perdagangan. Banyak pelaut dan pedagang manca negara singgah di kota pelabuhan ini.Dalam buku 'Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta' karya A. Heuken Sj dituliskan bahwa sebagai Kota Pelabuhan, Jakarta sudah bercorak internasional sejak masih disebut Sunda Kelapa. Dan sejak berabad-abad yang lalu orang dari berbagai macam latar belakang suku, budaya dan agama sudah berinteraksi di tempat ini (A. Heuken Sj, 1997: 13). Interaksi sejak berabad-abad yang lalu tersebutΒ masih terus berlangsung hingga saat ini, memberikan warna dan keunikan tersendiri dalam kehidupan penduduknya.Terdapat banyak peninggalan bersejarah yang dapat bercerita mengenai interaksi dari berbagai macam suku, agama bahasa dan budaya yang telah terjadi sejak masa lampau di kota ini. Salah satunya adalah Rumah Peribadatan warga dari etnis Tionghoa yaitu kelenteng.Dari beberapa sumber sejarah kita mengetahui bahwa pada abad ke-16 pedagang-pedagang dan pelaut Tionghoa menjadi saingan kuatΓΒ pedagang-pedagang Portugis, Inggris dan Belanda. Pedagang dan pelaut dari Tionghoa tersebut tentu pernah singgah dan berlabuh di pelabuhan Sunda Kelapa.Ketika para pedagang dan pelaut itu berada di perantauan tentu saja mereka memiliki kebutuhan untuk menjaga identitas spiritualnya dan untuk memenuhi kebutuhan itu mereka membangun Kelenteng dimana mereka bisa saling berinteraksi, berkumpul dan berdoa dalam keyakinan dan tradisi mereka. Kelenteng-Kelenteng yang didirikan pun biasanya memiliki kisah-kisah yang berkaitan dengan kehidupan spiritual dan tradisi masyarakat yang mendirikannya. Beberapa pedagang dan pelaut Tionghoa tersebut ada yang akhirnya menetap di seputaran Batavia, bekerja sebagai nelayan, pedagang, petani. dan sebagainya.Di Jakarta terdapat beberapa Kelenteng bersejarah yang telah berusia ratusan tahun dan beberapa di antaranya telah menjadi cagar budaya karena tingginya nilai sejarahnya. Menurut penjelasan pemandu wisata dan beberapa sumber informasi, di Indonesia terkadang Kelenteng disamakan dengan Vihara, meskipun sebenarnya Kelenteng dan Vihara adalah berbeda.Kelenteng merupakan tempat peribadatan umat Konghucu sementara Vihara merupakan tempat peribadatan umat Budha. Kerancuan ini terjadi karena setelah terjadinya peristiwa politik pada tahun 1965, pada tahun setelahnya ada pembatasan segala sesuatu yang mengandung unsur budaya Tionghoa.Sehingga banyak umat Konghucu bergabung dengan salah satu agama dari 5 agama yang diakui negara saat itu, salah satunya adalah Budha yang mungkin lebih dekat secara tradisi. Begitu pula tempat peribadatannya mulai bergabung dan menggunakan nama Vihara. Namun seiring perjalanan waktu dan sejarah, pada saat ini Tahun Baru Imlek sudah diakui dan ditetapkan sebagai hari Libur Nasional. Bertepatan dengan hari raya Imlek tanggal 5 Februari 2019 yang lalu saya berkesempatan mengikuti tour berkeliling beberapa Kelenteng bersejarah di Jakarta bersama komunitas wisatakreatif Jakarta yang dipandu oleh Ibu Ira dan Ibu Ameliya dari Team wisatakreatif Jakarta.Bersama rombongan tur yang berjumlah sekitar 20 orang saya berkeliling ke beberapa Kelenteng bersejarah di Jakarta diantaranya yang akan dibahas dalam tulisan ringan ini adalah: Kelenteng Jin de Yuan (Vihara Dharma Bhakti) di Glodok, Kelenteng Sin Tek Bio (Vihara Dharma Jaya) di Pasar Baru ,dan Kelenteng Ancol (Vihara Bahtera Bhakti)1. Kelenteng Jin de yuan (Vihara Dharma Bhakti)Kelenteng Jin De Yuan atau dikenal juga dengan nama Vihara Dharma Bhakti, ini terletak di seputaran kawasan Glodok tepatnya di Jl. Petak Sembilan, RT.1/RW.6, Kota Tua, Pinangsia, Tamansari, Kota Jakarta Barat. Menurut penjelasan pemandu wisata, Kelenteng Jin de Yuan adalah salah satu Kelenteng tertua yang ada di Jakarta, dibangun pada pertengahan abad ke-17 atau di sekitaran tahun 1650-an.Pada hari raya Imlek kemarin, Kelenteng ini dipadati oleh umat untuk melakukan doa dan peribadatan menyambut Tahun Baru Imlek. Banyak terdapat lilin-lilin besar berwarna merah yang juga banyak terdapat di Kelenteng-Kelenteng lainnya, menurut informasi dari pemandu lilin memiliki makna sebagai cahaya bagi kehidupan yang berkaitan juga dengan keberkahan, peruntungan hidup dan rejeki yang baik.Di Kelenteng ini kami juga menyaksikan pelepasan burung pipit yang secara tradisi dimaknai sebagai kebebasan dan untuk mendapatkan karma yang baik dalam perjalanan kehidupan. Kelihatannya prosesi ini menjadi salah satu prosesi yang juga ditunggu oleh para pengunjung, karena selain umat yang beribadat untuk merayakan tahun baru Imlek, banyak pengunjung yang juga hadir untuk menyaksikan kemeriahan prosesi Tahun Baru Imlek ataupun hanya sekedar melihat-lihat Kelenteng untuk menambah wawasan.Dari sudut pandang sejarahnya, mengutip dari apa yang dituliskan oleh A. Heuken, Sj dalam buku 'Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta' sekitar tahun 1650 Letnan Tionghoa Guo Xun-guan mendirikan sebuah kelenteng untuk menghormati Guan-yin di Glodok. Guan-yin adalah dewi belas kasih Budhis, yang lazim dikenal sebagai Kwan-Im. Pada tahun 1755, seorang kapten Tionghoa menamai kembali Kelenteng yang dipugar ini dengan nama Jin-de Yuan-Kelenteng 'Kebajikan Emas'. Orang setempat menyebut Kelenteng ini dengan nama Kelenteng Kim Tek I (A. Heuken Sj, 1997: 181).Ramainya suasana peribadatan umat menyambut Imlek di Kelenteng ini kemarin memperlihatkan bahwa Kelenteng ini secara historis memiliki posisi yang penting bagi umat Konghucu dan Budha di Jakarta. Satu catatan penting karena yang dikunjungi adalah rumah peribadatan dan tempat untuk berdoa, sikap dan perilaku sopan santun harus tetap kita jaga ketika berada di dalam tempat ini2. Kelenteng Sin Tek Bio (Vihara Dharma Jaya)Di tengah padatnya gedung- gedung bertingkat di pusat perbelanjaan Pasar Baru Jakarta Pusat, terdapat sebuah Kelenteng tua bersejarah yang bernama Kelenteng Sin Tek Bio. Kelenteng Sin Tek Bio ini juga dikenal pula dengan nama Vihara Dharma Jaya.Diperlukan sedikit kejelian untuk mencari lokasinya karena kita harus menyusuri gang-gang sempit di sekitar Pasar Baru untuk mencapai lokasinya. Lokasi Kelenteng ini tidak begitu jauh dari 2 warung Bakmi legendaris Ibu Kota, yaitu: bakmi Aboen dan Bakmi Gang Kelinci.Plakat yang ada di Kelenteng ini menunjukkan bahwa Kelenteng ini dibangun pada tahun 1698, Jadi Kelenteng ini sudah berusia lebih dari 3 abad. Menurut beberapa sumber, Kelenteng ini diduga dibangun oleh para petani Tionghoa yang bermukim di seputaran sungai Ciliwung.Pada hari raya Imlek kemarin, sama seperti Kelenteng-Kelenteng lainnya. Kelenteng ini begitu semarak dengan nuansa merah. Lampion-lampion merah menghiasi langit-langitnya, lilin-lilin besar menyala yang berwarna merah memenuhi ruang utama dan altar-altarnyaDi dalam Kelenteng ini terdapat ukiran ornamen makhluk mitologi Naga yang sedang melilit tiang utamanya. Terdapat beberapa Altar pemujaan dan ratusan patung di dalam Kelenteng ini. Menurut beberapa sumber, banyak arca dan patungnya yang telah berusia ratusan tahun. Di bagian belakang Kelenteng ini ada patung Budha besar yang sedang tersenyum.Menurut informasi, dalam kesehariannya Kelenteng ini juga sering dikunjungi oleh turis lokal maupun manca negara. Kelenteng ini memiliki pesona sisi kuno dan tradisi historis dari masa lalu. Semoga bangunan tua ini dapat terus terjaga kelestariannya karena tingginya nilai sejarahnya yang telah berjalan seiring dengan perjalanan kota Jakarta sendiri3. Kelenteng Ancol (Vihara Bahtera Bhakti)Di dekat pantai dan lokasi wisata Ancol terdapat sebuah Kelenteng megah yang juga bersejarah dan telah berusia cukup tua. Menurut pemandu, Kelenteng Ancol yang juga dikenal dengan nama Vihara Bahtera Bhakti adalah salah satu Kelenteng tertua di Jakarta bersama Kelenteng Jin de yuan Glodok yang dibangun sekitar pertengahan abad ke-17 atau seputaran tahun 1650-anPintu masuk Kelenteng ini dihiasi oleh ornamen Naga yang sedang berebut mustika di bagian atasnya. Kelenteng ini cukup megah dengan halaman luas di bagian depannya. Selain nuansa warna merah yang dominan di Kelenteng ini terdapat nuansa warna cerah lainnya pada ornamen dan relief-reliefnya.Di bagian dalamnya terdapat dua ruangan besar , ruangan yang satu berisi Altar Budha dengan relief Candi Borobudur, sedangkan di ruangan lainnya terdapat Γ Altar Dewi Kwan Im. Selain itu terdapat beberapa relief di dinding-dindingnya, salah satunya relief lukisan pada dinding yang menceritakan perjalanan ke barat Biksu Tong Sam Cong.Kisah yang paling dikenal tentang asal-usul Kelenteng Ancol ini sebagaimana dituliskan dalam Γ’β¬ΕTempat-tempat bersejarah di Jakarta karya A. Heuken, Sj (Bab: Kelenteng dan Kuburan Tionghoa), dikisahkan suatu ketika seorang juru mudi kapal Tionghoa tiba di tempat ini dan jatuh cinta dengan seorang ronggeng Sunda.Singkat kata juru mudi Tionghoa tersebut melamar wanita itu dan karena wanita itu seorang muslim, maka sebelum menikah mereka berjanji satu sama lain, bahwa mereka tidak akan pernah makan daging babi yang dianggap haram oleh kaum Muslim atau masak petai yang oleh orang Tionghoa totok dianggap menjijikkan karena baunya (A. Heuken Sj, 1997: 187). Karenanya sampai saat ini kedua makanan tersebut tidak boleh dibawa dan dikonsumsi di area Kelenteng Ancol ini. Hal tersebut juga menjadi keunikan di Kelenteng ini.Ketika suatu hari juru mudi tersebut hendak berlayar jauh, maka ia menyuruh seorang membangun sebuah Kelenteng, tetapi sebelum Kelenteng itu diselesaikan juru mudi dan istrinya Sitiwati meninggal. Mereka dikuburkan dalam Kelenteng bersama-sama dengan adik istrinya Ibu Mone (A. Heuken Sj, 1997: 188).Juru mudi kapal tersebut mempunyai Majikan yang dikenal sebagai orang tersohor, dia mendaratkan kapalnya dekat Semarang di Jawa Tengah antara tahun 1405 dan 1413. Ada hubungan erat antara Kelenteng Ancol dan Kelenteng di Jawa Tengah tersebut. (A. Heuken Sj, 1997: 189).Tentu saja masih banyak hal yang terlewatkan dari tulisan ringan ini namun secara pribadi, bagi saya ada nilai positif dari kegiatan mengunjung Kelenteng bersejarah di Jakarta ini. Kegiatan seperti ini menambah wawasan akan keberagaman agama dan keyakinan warga Jakarta yang juga telah menjadi bagian dari perjalanan panjang sejarah kota Jakarta.Bertambahnya wawasan akan keberagaman agama dan keyakinan lain diharapkan mampu memupuk dan menumbukan toleransi di antara pemeluk agama sehingga akan mempererat persatuan yang menjadi kekuatan dalam membangun negeri besar ini: Indonesia.
Komentar Terbanyak
Prabowo Mau Borong 50 Boeing 777, Berapa Harga per Unit?
Skandal 'Miss Golf' Gemparkan Thailand, Biksu-biksu Diperas Pakai Video Seks
Prabowo Mau Beli 50 Pesawat Boeing dari AS, Garuda Ngaku Butuh 120 Unit