Asyiknya Bisa ke Markas Juventus, Inter & AC Milan!
Jumat, 03 Jan 2014 18:50 WIB

Nandaka Bimantara
Jakarta - Penggemar bola tentu tak asing dengan klub Italia, seperti AC Milan, Inter Milan, dan Juventus. Jika bosan melihat dari layar kaca saja, datanglah langsung ke Stadion San Siro dan Juventus Arena, di Kota Milan dan Turin.Sebagai salah satu orang yang diberkahi dengan kesempatan tinggal dan belajar di Eropa, tentunya saya tidak ingin membuang kesempatan ini untuk traveling. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Eropa adalah salah satu destinasi traveling terbaik di dunia.Mulai dari pemandangan indah seperti kastil-kastil tua di puncak gunung, hingga hamparan hijau pedesaan hingga kota-kota dengan konstruksi canggih, semua ada di benua ini. Semua itu didukung oleh bagusnya sarana transportasi di sini, sehingga tidak heran banyak traveler dari seluruh dunia yang memilih benua Eropa untuk liburan.Walaupun sudah lama tinggal di sini, jangan dikira pelajar di sini kerjaannya cuma pelesir. Kalau ingin jalan-jalan, harus pintar mengakali jadwal kampus. Untungnya, universitas-universitas di sini memberi libur seminggu pada tiap awal pergantian musim. Tahun ini, saya manfaatkan spring break untuk jalan-jalan. Kali ini destinasi saya adalah 2 kota cantik di utara Italia, Milan dan Turin.Sebenarnya Milan dan Turin bukanlah tujuan utama saya, karena saya tidak terlalu tahu banyak tentang kota ini selain klub sepakbolanya. Maklum, sebagai penggemar bola, saya selalu mengidentifikasi kota-kota di dunia lewat klub sepak bolanya. Namun, karena kebetulan saat itu Ryanair sedang menjual tiket murah untuk rute ini, maka saya dan dua teman saya pun tak banyak pikir untuk memilih kota ini. Harga tiketnya sekitar 50 Euro pulang pergi atau kalau dikonversi ke Rupiah sekitar Rp 650 ribu (kurs saat itu masih Rp 12.500/Euro). Ditambah menginap di hostel 6 Euro/malam, maka untuk total akomodasi 3 hari 2 malam, saya cuma mengeluarkan 62 Euro. Murah, kan?Satu hal yang bikin saya cukup surprised adalah murahnya harga tiket kereta di Italia. Jauh sekali dengan di Belanda yang sangat mahal, padahal perjalanan yang ditempuh lebih dekat karena ukuran negaranya yang lebih kecil. Seperti di Indonesia, kereta api di Italia pun juga punya kelas-kelas.Karena ingin menekan bujet, kami pun membeli tiket kereta kelas ekonomi secara online melalui situs Trenitalia, atau kalau di Indonesia sama dengan PT KAI. Saran saya, belilah tiket kereta secara online. Di situs Trenitalia, semua tarif ditampilkan dengan jelas, jadi Anda bisa memilih harga termurah kalau memesan jauh hari. Kalau beruntung, bisa dapat tarif promo juga, yang susah didapatkan kalau membeli tiket di stasiun.Walaupun punya embel-embel kelas ekonomi, namun fasilitasnya sama sekali tidak mencerminkan namanya. Kereta bernama Frecciarossa ini adalah kereta high-speed dengan fasilitas yang menakjubkan. Di setiap bangku ada power plug, wi-fi pun tersedia dengan membayar 50 sen. Kursinya empuk, lantainya bersih, dan gerbongnya wangi. Dengan harga tiket pulang pergi hanya 20 Euro, sekitar Rp 331.000, kami pun bisa menikmati perjalanan Milan-Turin dengan nyaman.Hal pertama yang muncul di pikiran saya ketika masuk Kota Milan adalah, kota ini cukup kuno. Gedung-gedungnya sudah tua dan usang, jalanannya cukup kumuh untuk kota sebesar ini. Saya malah merasa seperti berada di daerah Pasar Besar Kota Malang. Tapi saya maklum, mengingat negeri ini memang negeri yang selalu dilanda krisis di Eropa.Milan adalah ibukota Provinsi Lombardy yang terletak di utara Italia. Kalau dengar nama kota ini, mungkin hal pertama yang muncul di benak kita adalah perkara fashion. Tidak heran memang, karena banyak perusahaan-perusahaan mode dunia yang memiliki kantor pusat di sini, seperti Versace, Armani, Prada, dll.Selain itu, Milan juga merupakan pusat perekonomian Italia. Banyak perusahaan-perusahaan besar di Italia berpusat disini, contohnya Sky Italia, Pirelli, hingga Alfa Romeo. Di samping itu, Milan juga sangat kaya akan warisan histori dan kebudayaannya. Di kota ini bisa dijumpai banyak museum dan galeri seni.Setelah satu jam perjalanan, bus kami pun sampai di stasiun utama Kota Milan, Milan Centrale. Sungguh, ini adalah stasiun terbesar, terindah, dan termegah yang pernah saya lihat. Atapnya menjulang tinggi, ditambah dengan pahatan-pahatan indah di dinding dan atapnya. Stasiun ini sungguh mempesona. Saya merasa seperti berada di gedung-gedung Romawi Kuno. Kalau di Indonesia ada gedung seperti ini, pastilah sudah diubah fungsi jadi museum.Hari pertama di kota Milan kami habiskan dengan berjalan-jalan di tengah kotanya. Kalau Anda masih ingin menekan bujet di Milan, naiklah tram! Mengapa? Karena si kondektur tidak pernah memeriksa karcis. Tiket transportasi sebenarnya bisa dibeli di banyak tempat, seperti kios koran, tabacchi (kios rokok), stasiun, dll.Nah, karcis ini sebenarnya harus distempel menggunakan alat stempel yang ada di tiap kendaraan transportasi. Namun karena saat itu kami tidak tahu, kami pun cuek saja naik tram, karena kami pikir karcisnya bisa dibeli di tram. Tapi ternyata sama sekali tidak ada pemeriksaan dan kami perhatikan semua penumpang juga naik turun tram seenaknya. Kami pun tertawa sendiri, mengetahui bahwa kami tidak akan mengeluarkan sepeser pun untuk transportasi.Landmark paling terkenal di Kota Milan adalah Duomo Cathedral. Ini adalah katedral terbesar keempat di dunia. Ketedral bergaya ghotik-neoklasikal ini dibangun pada tahun 1386, dan baru selesai hampir 600 tahun kemudian. Pada masa itu, katedral ini bisa menampung seluruh warga kota Milan yang berjumlah 40.000 jiwa.Katedral ini memiliki ribuan patung yang ditata di seluruh penjuru katedral, menciptakan nuansa gotik nan mistis. Namun katedral ini memang sungguh cantik. Apalagi letaknya yang berada tepat di sebelah Galleria Vittorio Emmanuelle II, sebuah shopping arcade super mewah yang banyak dihuni outlet-outlet desainer ternama. Harganya pun bikin geleng-geleng, tas wanita merk Prada dibandrol 3.500 Euro. Saya pun membatin, siapa ya yang mau beli tas segitu mahalnya? Saya jadi berpikir, mungkin ini alasan mengapa Milan dijuluki kota mode.Sayangnya keindahan tempat ini sangat terganggu oleh banyaknya penjual suvenir imigran yang suka menarget turis. Saya pun menjadi korbannya. Cara kerja mereka memang cerdik, ada yang menjual gelang kain atau menawarkan segenggam jagung untuk memberi makan burung-burung yang ada di situ.Begitu si korban menunjukkan tanda-tanda mengalah, kawanan mereka pun datang mengelilingi si korban, sehingga si korban menjadi gugup dan terpaksa menerima tawaran mereka. Harganya pun gila, untuk segenggam jagung, mereka minta 20 Euro. Karena kami terpojok, terpaksa lah kami memberi mereka uang itu. Walaupun kami sangat menyesal, yah kami pikir tidak apalah, hitung-hitung amal.Jalan-jalan kami lanjutkan ke daerah sekitar Piazza del Duomo. Ternyata di daerah sini banyak sekali toko-toko yang cukup menarik. Toko suvenir pun bertebaran di daerah sini. Namun, satu toko yang mampu menarik perhatian kami adalah toko suvenir kerajinan kayu. Mengapa toko ini unik? Karena toko ini memajang patung Pinokio (Pinocchio nama Italianya) di depan toko mereka.Cerita Pinocchio memang cerita fiksi anak-anak yang berasal dari negeri ini, yang ditulis pada tahun 1883 oleh Carlo Collodi. Sebagai salah satu warisan budayanya, tidak heran tokoh ini menjadi salah satu simbol pengenal negara ini.Landmark kedua yang kami kunjungi adalah Castello Sforzesco, sebuh kastil yang dibangun pada abad ke-14. Kastil ini dibangun oleh bangsawan Milan, Francesco Sforza. Dulunya, kastil ini difungsikan sebagai rumah sang bangsawan. Karena begitu kayanya kastil ini akan barang-barang artistik, kastil ini sekarang difungsikan sebagai museum. Kastil ini berbentuk segi empat, dengan sebuah menara megah di pintu masuknya, dan lapangan luas di tengah-tengahnya. Berdinding batu bata merah, tempat ini membawa kesan nyaman bagi yang melihatnya.Sebagai penggemar berat sepak bola, saya selalu menargetkan untuk pergi mengunjungi stadion-stadion utama di tiap kota yang saya kunjungi, tak terkecuali di Milan. Walaupun saya sebenarnya bukan penggemar kedua klub asal kota ini, maka kami melanjutkan perjalanan ke salah satu stadion ternama di dunia, kandang dua klub terbesar asal kota ini, AC Milan dan Inter Milan, San Siro atau juga disebut Stadio Giuseppe Meazza. Letaknya cukup jauh dari pusat kota, tidak mungkin ditempuh dengan tram, jadi kami harus naik kereta bawah tanah.Kesan pertama yang muncul begitu melihat stadion ini adalah kekecewaan. Mengapa? Karena ternyata stadion yang nampak megah dan modern di TV itu tidaklah semegah aslinya. Lokasinya yang di pinggiran kota dan dikelilingi rumah-rumah kecil pun menambah kesan kurang modern. Saya jadi ingat stadion Kanjuruhan Malang, yang lokasinya di tengah sawah dan jauh dari pusat kota. Namun karena sudah kepalang, saya pun membeli tiket tur stadion. Murah, hanya 7 Euro/orang, atau sekitar Rp 116.000.Tur dimulai dengan mengelilingi tribun penonton. Kami pun diajak untuk melihat tribun VVIP yang khusus untuk tamu undangan dan petinggi klub. Dari situ, saya bisa membayangkan betapa nyamannya menonton pertandingan bola. Walaupun stadion ini adalah milik pemerintah Kota Milan, namun pada awalnya stadion ini adalah kandang AC Milan. Klub tetangganya, Inter Milan, ikut menyewa stadion ini pada tahun 1947 hingga sekarang. Bagi penggemar bola, pasti tahu rivalitas kedua klub. Maka tidak heran di stadion ini tribun penontonnya dipisahkan untuk suporter kedua klub; suporter AC Milan di tribun timur, dan Inter Milan di tribun barat untuk menghindari bentrokan.Tur dilanjutkan menuju ruang ganti dua klub. Karena digunakan untuk dua klub, maka stadion ini memiliki tiga ruang ganti; satu untuk AC Milan, satu untuk Inter Milan, dan satu lagi untuk tim tamu yang bertanding melawan mereka. Ruang ganti kedua kubu tuan rumah memiliki perbedaan yang sangat jauh. Ruang ganti AC Milan memiliki kursi nyaman untuk setiap pemain utama, posisinya mengelilingi meja bundar untuk tempat penyimpanan perlengkapan pertandingan.Beberapa kursi berada terpisah di ruangan lain, kursi-kursi ini adalah untuk pemain-pemain muda yang jarang bermain. Sedangkan ruang ganti Inter Milan jauh lebih sederhana. Tidak ada kursi empuk yang eksklusif untuk tiap pemain, yang ada hanyalah bangku berbentuk melingkar tanpa pembatas. Menurut guide, hal ini sejalan dengan filosofi klub yang memang menerapkan prinsip kesederajatan pada semua pemainnya.Tur dilanjutkan ke ruang-ruang fasilitas lainnya, seperti ruang kesehatan, ruang tes doping, lounge, hingga ruang jumpa pers. Tur diakhiri dengan mengunjungi museum stadion. Museum ini digunakan untuk memajang memorabilia kedua tim. Sebagai simbol kedua klub, patung Paolo Maldini dan Javier Zanetti dipajang di pintu masuknya. Mereka adalah pemain legenda dari kedua tim yang sangat dihormati, maka tidak salah jika patung mereka dipilih untuk mewakili kedua klub.Setelah mengunjungi museum, kami sempat berkunjung ke fanstore stadion. Tempatnya cukup kecil, terbagi menjadi dua bagian, suvenir AC Milan dan Inter Milan. Meski begitu, nampaknya barang-barang yang dijual cukup terbatas.Lelah berjalan-jalan seharian, kami pun kembali ke hostel. Tapi sebelumnya, kami tentu tidak ingin melewatkan wisata kuliner ala Italia yang sudah tershohor itu. Apalagi kalau bukan pizza! Yap, makanan ini memang sudah mendunia dan menjadi signature dish negara ini. Pizza asli Italia tidak mengenal filling roti pinggiran seperti yang disajikan restoran pizza cepat saji yang terkenal itu. Rotinya pun lebih tipis.Harga pizza di kelas warung seperti ini pun ternyata sangat murah. 1 Loyang besar pizza seharga 4-5 Euro. Kami pun membeli 3 varian pizza sekaligus. Penjualnya pun juga sangat ramah. Memang orang Italia dikenal sangat ramah dan ekspresif. Mereka sangat suka berbicara dengan bahasa tubuh mereka yang khas, mengerucutkan tangan dan menggerakkannya di sekitar bibir, seperti menirukan gaya orang makan.Kami pun berbincang-bincang dengan bapak penjual pizza itu. Ternyata beliau adalah imigran Muslim dari Mesir yang sudah lama tinggal di sini. Setelah menyadari kalau saya juga seorang Muslim, beliau pun tampak sumringah. Beliau pun menggratiskan semua minuman yang kami beli. Wah, senang sekali rasanya hati kami. Inilah istimewanya traveling, bertemu orang-orang asing yang tidak kita kira bisa memberi kita perasaan hangat dan nyaman.Perasaan bahwa walaupun kita datang dengan latar belakang yang berbeda, namun ada saja hal-hal kecil yang mampu menghubungkan kita sebagai manusia. Setelah membayar makanan kami, kami pun kembali ke hostel. Dihinggapi perasaan bahagia, kami berjalan menikmati senja cantik di kota Milan.Rencana hari kedua kami di Itali adalah pergi ke Turin. Mengapa Turin? Inilah alasannya, teman seperjalanan saya adalah seorang penggemar berat Juventus, klub sepak bola asal kota tersebut. Tujuan kami ke kota itu hanyalah untuk mengunjungi stadion klub Juventus Arena. Ditambah lagi karena kami memang tidak bisa berlama-lama di Turin dan harus kembali ke Milan hari itu juga, sebab kami harus mengejar penerbangan kami kembali ke Eindhoven esok paginya. Sangat disayangkan memang, padahal di Turin ada cukup banyak tempat-tempat cantik yang harus dikunjungi. Tapi tak apalah, yang penting pernah menginjak Kota Turin, pikir saya.Perjalanan dari Milan ke Turin ditempuh dalam waktu tidak sampai 2 jam. Dalam hati, saya sebenarnya berharap perjalanan yang lebih panjang, karena perjalanan kereta api ini sungguh sangat nyaman. Fasilitas yang bagus dan tentu saja pemandangan indah pedesaan Italia yang sangat memikat. Ingin rasanya saya tinggal di salah satu desa itu, hidup berternak sapi atau domba, menikmati pemandangan ini setiap harinya. Ah, damai pasti.Sekitar pukul 12.00 kereta kami sampai di Stasiun Torino Porta Nuova. Saya tidak tahu apakah ini stasiun utama kota ini, namun melihat ukuran stasiunnya sih tampaknya begitu. Stasiun ini walaupun tidak sebesar di Milan, namun jelas keindahannya tidak kalah. Seperti biasa, pahatan dan patung-patung adalah dekorasi utama di stasiun ini. Saya jadi berpikir, apa stasiun-stasiun utama lain di negeri ini juga sama indahnya.Turin adalah kota bergaya baroque dan neo-classical yang juga ibukota Provinsi Piedmont. Seperti Kota Milan, kota ini juga memiliki kekayaan historis dan kebudayaan yang besar. Bisa dibuktikan dengan banyaknya museum, galeri, dan kastil-kastil maupun gereja di kota ini. Selain itu, kota ini juga dikenal sebagai kota industri manufaktur. Kota inilah rumah bagi salah satu perusahaan otomotif di Itali, Fiat.Satu hal yang saya pikir membuat perbedaan dengan Kota Milan adalah jalanannya yang masih tampak kuno. Kalau di Milan sudah banyak jalan beraspal, di sini masih banyak jalanan batu. Menambah kesan kuno klasik dari kota ini. Gedung-gedungnya juga lebih bernuansa kelam, seperti menyimpan misteri di dalamnya. Inilah yang saya sukai dari kota ini. Saya kemudian meratapi nasib tidak bisa berjalan-jalan lebih lama di kota ini.Kami punya waktu empat jam di kota ini sebelum kereta kami berangkat sorenya. Dengan waktu sesempit itu, kami tidak ingin membuang waktu. Kami pun segera menuju ke stadion yang letaknya juga berada di luar kota Turin. Kami sempat tersesat mencari halte bus menuju stadion. Untungnya kami tidak membuang waktu di jalan. Hanya butuh 30 menit perjalanan bus untuk menuju stadion ini.Juventus Arena adalah kandang baru bagi klub Juventus. Sebelumnya mereka bermain di Stadion Delle Alpi. Stadion baru mereka memang sangat megah. Jauh lebih megah dari San Siro. Pintu masuk menuju stadion terdiri dari dua ring. Ring pertama adalah pintu masuk pertama, yang juga difungsikan sebagai mall. Bisa dibayangkan kalau mau nonton bola disini, kalau lapar tinggal keluar stadion sudah banyak restoran-restoran.Ring kedua adalah halaman dalam stadion. Di sinilah loket masuk stadion berada. Selain itu, museum stadion juga berada di sini. Kami pun membeli tiket tur stadion yang harganya lebih mahal daripada di San Siro, 10 Euro/orang, sekitar Rp 165.000. Agak kecewa sih, selain karena Juventus adalah klub yang tidak saya sukai, tiketnya juga mahal, tidak ada guide yang berbahasa Inggris pula. Sebagai gantinya, kami diberi radio rekaman tentang penjelasan-penjelasan stadion ini.Tur dimulai dari lounge klub, atau yang disebut Gianni e Umberto Agnelli, dinamai dari salah satu nama tokoh penting dalam sejarah klub ini. Lounge ini difungsikan untuk tamu-tamu VVIP untuk bersantai dan menikmati hidangan sebelum pertandingan dimulai. Mewah sekali ruangannya, mau nonton bola saja pakai acara makan segala.Kemudian tur dilanjutkan ke tribun penonton. Sesuai warna kebesaran klub, yaitu hitam putih, tribun penonton diberi warna hitam putih, dengan motif bergambar pemain bola. Stadion ini memang sudah modern, rumputnya terawat, dan bangku penontonnya pun nyaman. Memang, Juventus adalah salah satu klub tersukses di Italia, tidak heran mereka memiliki "rumah" sebagus ini.Ruang ganti klub adalah tempat favorit saya. Saya bisa merasakan duduk di kursi yang diduduki oleh pemain-pemain ternama dunia. Sayangnya disini dilarang mengambil gambar. Kalau ingin punya kenang-kenangan di ruang ganti ini, disediakan fotografer khusus. Tentu saja, bayar lagi.Satu hal yang saya sukai dari stadion ini adalah banyaknya foto-foto maupun kutipan-kutipan dari pemain legendaris klub ini yang dipajang di dinding-dinding koridor stadion. Kesan dan citra klub sebagai salah satu klub terbesar di dunia pun sangat terasa. Apalagi di museum klub. Jauh lebih mewah dan berkelas dibanding San Siro. Koleksinya pun juga lebih lengkap, padahal San Siro dihuni dua klub.Tur pun diakhiri dengan mengunjungi official store Juventus. Toko resmi klub ini berada di dalam mall yang terletak di ring pertama, jadi tidak heran kalau lokasinya lebih besar daripada fanstore di San Siro. Barang-barang yang dijual pun juga cukup variatif dan menarik. Saya pun teringat salah seorang teman baik saya yang penggemar berat Juventus dan membelikannya sebuah syal kecil berlambangkan logo klub. Puas berjalan-jalan, kami pun kembali ke stasiun untuk pulang ke Milan.Di sinilah perjalanan kami di tanah negeri Pizza ini berakhir. Walaupun terasa singkat, tapi kami sudah cukup puas dengan perjalanan kami. Meski tidak bisa dikatakan mewakili seluruh kehidupan di negara ini, namun sudah cukup bagi kami untuk membayangkan kehidupan di kota-kota lain di negara ini. Perjalanan ini sudah memperkaya jiwa kami, memperluas horizon pengetahuan kami, memang itulah sebenarnya esensi dari sebuah perjalanan.Suara bising mesin pesawat mengantarkan kami terbang kembali ke Belanda. Kota Milan pun perlahan tampak sirna dari pandangan, namun kesan-kesan yang diberikan kota itu akan selalu ada di hati saya. Saya pasti kembali lagi ke negara ini, semoga.
Komentar Terbanyak
Buntut Insiden Pembakaran Turis Malaysia, Thailand Ketar-ketir
Pesona Patung Rp 53 Miliar di Baubau, Sulawesi Tenggara Ini Faktanya!
Profil PT KWE yang Disebut-sebut Mau Bikin 600 Vila di Pulau Padar