Blusukan ke Pasar Loak El Rastro Spanyol, Asyik!

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Blusukan ke Pasar Loak El Rastro Spanyol, Asyik!

Py Djarot Sujarwo - detikTravel
Senin, 28 Mar 2016 10:55 WIB
loading...
Py Djarot Sujarwo
El Rastro
Saatnya belanja
Suasana pasar yang ramai
Blusukan ke Pasar Loak El Rastro Spanyol, Asyik!
Blusukan ke Pasar Loak El Rastro Spanyol, Asyik!
Blusukan ke Pasar Loak El Rastro Spanyol, Asyik!
Jakarta - Pasar loak di Madrid, Spanyol yang disebut El Rasto memiliki sekitar 3.500 kios. Traveler dari berbagai negara bisa belanja puas di sini.Sudah hampir seminggu saya berada di Madrid. Tinggal di apartemen Sergio Roche Castro dan kekasihnya Luciana Musumeci, banyak tempat yang telah saya kunjungi di Ibukota Spanyol tersebut. Misalnya berjalan menyusuri area The Royal Palace, istana kerajaan terbesar dan paling mengesankan di Eropa dengan struktur bangunan yang begitu indah.Di sekitar Royal Palace, dengan mudah kita bisa melihat banyak tempat yang tak terlupakan. Madrid nol kilometer, Plaza Mayor, Plaza de Cibeles, Plaza de Espana, El Retiro Park, dan masih banyak tempat lainnya. Daerah-daerah yang saya sebutkan tadi merupakan wilayah di Madrid yang sarat akan sejarah. Selama hampir seminggu saya berada di Madrid, banyak pula peristiwa menarik yang saya alami.Bersepeda menelusuri tepian sungai Manzanares, sungai yang membelah kota Madrid di mana ratusan tahun lalu, bangsa Moor, orang-orang Islam dari Afrika Utara membangun markas mereka untuk kemudian menguasai seluruh Spanyol dan juga sebagian Prancis dan Portugal.Di tepian sungai ini pula dengan jelas saya melihat Estadio Vicente Calderon. Stadion markasnya klub sepakbola Atletico Madrid tersebut begitu dekat di depan mata saya. Tidak hanya lokasi-lokasi tua dan sarat sejarah. Wilayah paling modern pun saya lalui di Madrid. Mulai dari Puerta de Europa towers atau pintu gerbang Eropa, gedung kembar yang berfungsi sebagai perkantoran.Berdiri miring seperti mengucapkan 'Welcome' kepada siapa saja yang datang ke Madrid. Dari pintu gerbang Eropa ini saya pun menyusuri daerah modern di Madrid.β€œOrang-orang kaya di Madrid tinggal di daerah ini,” kata Sergio yang menemani saya. Di sepanjang jalan itu pula saya bertemu dengan bangunan yang telah lama saya impikan. BangunanΒ  yang selama ini hanya saya lihat di televisi dengan gegap gempita ribuan manusia. Bangunan yang membuat saya harus terjaga sampai pagi.Duduk bersama teman-teman di warung kopi yang menyediakan proyektor. Di dalam bangunan ini ada tim sepokbola favorit saya. Tim kebanggaan ibukota, Real Madrid. Bangunan ini bernama Santiago Bernabeu Stadium. Dan masih belum dapat saya percaya, bahwa waktu itu saya tepat berada di depannya. Setelah puas berlama-lama di Santiago Bernabeu, saya dan Sergio terus menelusuri jalan raya, hingga akhirnya bendera Spanyol yang sangat besar. Berkibar-kibar di angkasa menemani musim dingin dengan gembira.Tak jauh dari bendera raksasa tersebut, berdiri dengan gagah, patung penemu benua Amerika, Christopher Colombus. Dan banyak lagi tempat di Madrid yang saya kunjungi. Tapi perjalanan saya selama di Madrid serasa belum lengkap. Kemana-mana saya hanya ditemani Sergio. Sedangkan di apartemen tempat saya menginap masih ada seorang lagi, Luciana. Krisis ekonomi yang melanda Spanyol berdampak buruk bagi Sergio. Dia kehilangan pekerjaannya.Sementara Luciana, setiap harinya harus bekerja. Sebelum saya bangun pagi, Luciana sudah pergi. Dan baru kembali ketika langit di Madrid sudah gelap. Kemudian dia akan merasa sangat lelah karena seharian bekerja. Kami hanya punya kesempatan berkumpul bersama Luciana beberapa jam di meja makan.β€œKita harus menghabiskan waktu bersama di hari minggu nanti,” Kata Luciana suatu hari saat kami makan malam. Tentu saja saya menyetujuinya. Tapi hendak kemana kita?β€œAda satu tempat yang belum kamu kunjungi dan harus kamu kunjungi,” Sergio menimpali, β€œtempat itu bernama El Rastro.β€β€œTempat apa itu?” saya bertanya.Kemudian Sergio menjelaskan bahwa El Rastro merupakan pasar loak yang dibuka untuk umum setiap hari Minggu mulai dari jam sembilan pagi sampai jam dua siang. Di tempat ini terdapat banyak sekali barang bekas dan baru mulai dari buku dan majalah tua, perabotan rumah tangga, pakaian, bahkan barang-barang antik yang usianya sudah ratusan tahun.Setiap hari minggu tempat ini akan dipenuhi dengan ribuan manusia. Sebagian mereka datang untuk membeli barang-barang loakan tersebut, sebagian yang lain hanya datang untuk berjalan-jalan sambil menikmati sensasi berada dikerumunan. Saya senang mendengarnya. Kemudian menyetujui usulan tersebut. Cuma Sergio memperingatkan untuk tidak membawa barang-barang berharga karena ada banyak copet bertebaran di tempat tersebut.El Rastro adalah pasar jalanan (loak) yang berasal dari abad pertengahan. Pasar ini dibuka sepanjang tahun setiap hari Minggu dan terletak di sepanjang Plaza De Cascorro dan de Ribera Curtidores, antara Calle Embajadores dan the Ronda de Toledo.Secara etimologi, El Rastro berarti jejak. Nama El Rastro untuk pasar loak ini barangkali berasal dari tempat memasak kulit binatang agar menjadi berwarna dan tahan lama (penyamakan) yang berlokasi di Ribera de Curtidores.Proses pengangkutan sapi yang dipotong dari tempat penjagalan ke penyamakan kulit meninggalkan jejak (rastro) darah di sepanjang jalan. Atau ada juga yang berpendapat bahwa El Rastro berarti di luar. Yang mengacu pada fakta bahwa daerah ini pernah berada di luar daerah yuridiksi pengadilan walikota.Terlepas dari dua etimologi tersebut, hari ini, setiap hari minggu pagi sampai pukul dua siang, El Rastro adalah kawasan yang dipadati oleh ribuan pengunjung. Dan hari minggu tersebut saya, Sergio, dan Luciana menjadi bagian dari ribuan pengunjung tersebut.Dari apartemen kami menuju stasiun metro terdekat. Kemudian berhenti di stasiun metro La Latina. Kemudian tak jauh setelah keluar dari stasiun La Latina, menuju ke arah selatan, saya menemukan suasana yang berbeda. Sergio tidak berbohong.Jalanan ditutup untuk kendaraan. Ada ratusan lapak yang berderet sepanjang jalan dengan berbagai macam barang bekas. Dan kami seperti tak bisa bergerak. Penuh dengan lautan manusia. Orang-orang berwajah latin, orang-orang berkulit hitam, orang-orang asia, orang-orang bermata biru, orang-orang berambut pirang, dan tak ketinggalan turis-turis asing, berkumpul menjadi satu. Kami melewati Plaza de Cascorro. β€œDi tempat ini ada sekitar 3.500 kios yang menjual barang antik, pakaian, souvenir, dan berbagai barang bekas lainnya,” Ucap Sergio.3.500 kios? Saya terkejut. Sepertinya tempat ini tidak terlalu besar. Mana mungkin bisa memuat 3.500 kios. Tapi sebelum saya protes, Sergio kembali menjelaskan bahwa di Plaza de Cascorro bukan hanya satu lorong jalan saja. Tapi ada banyak persimpangan yang begitu luas. Persimpangan tersebut terbagi ke dalam beberapa wilayah dengan kelompok barang-barang tertentu. Ini luar biasa. Seumur hidup saya, inilah pertama kalinya saya mendengar bahasa Spanyol berdengung seperti lebah di udara. Tentu saja bahasa Inggris dan bahasa Eropa lainnya sempat saya dengar, tapi langsung lenyap dihantam dengunan percakapan orang-orang Hispanic tersebut. Di tengah-tengah Plaza de Cascorro berdiri patung Eloy Gonzalo, seorang prajurit muda yang menjadi pahlawan Spanyol pada perang Kuba tahun 1896. Pada peperangan tersebut, memang Spanyol takluk dengan Amerika Serikat dan harus meninggalkan Kuba.Selain itu Spanyol juga harus menyerahkan beberapa daerah jajahannya kepada Amerika Serikat seperti Puerto Rico, Guam, dan Filipina. Namun meskipun Spanyol menderita kekalahan, sosok Eloy Gonzalo adalah pahlawan yang tak bisa dilupakan begitu saja. Karena itulah kemudian patungnya berdiri di tengah-tengah Plaza de Cascorro. Patung Eloy Gonzalo memegang gas kaleng dan obor yang mengingatkan Madrilenos (orang-orang Madrid) akan keberaniannya membakar sebuah bangunan ketika kubu Spanyol terus menerus dibombardir oleh musuh.Dulu, orang-orang membicarakan Eloy Gonzalo sebagai pahlawan perang. Hari ini, orang-orang menyebut patung Eloy Gonzalo sebagai meeting point, jika mereka membuat janji untuk bertemu di pasar loak El Rastro. Dari patung Eloy Gonzalo kami bertiga menyusuri pasar loak menuju kawasanΒ  Calle Ribera de Curtidores. Di daerah ini khusus dijual beraneka kerajinan tangan, barang-barang antik, dan juga beraneka pakaian yang dijahit dengan tangan.Seorang anak terlihat menangis, merengek-rengek kepada ibunya agar dibelikan boneka kayu pinokio. Tapi sang ibu sepertinya keberatan. Barangkali karena ia gagal melakukan tawar-menawar harga dengan si penjual. Akhirnya, anak tersebut berhasil ditenangkan oleh ayahnya yang menggendong si anak ke pundaknya. Saya tertarik dengan sebuah tas tangan yang bergambar seorang pemimpin komunis Vietnam, Ho Chi Minh. Berada di tumpukan tas bekas, wajah Ho Chi Minh terlihat tersenyum sumringah mengenakan topi bergambar bintang merah. Sayang saya tak punya budget untuk berbelanja.Saya sempatkan untuk memotret. Lumayanlah, tidak mampu membeli, tapi bisa memiliki fotonya. Sementara suara dari orang-orang yang bercakap-cakap dengan bahasa Spanyol terus mendengung seperti ribuan lebah di udara. Dari kawasan Calle Ribera de Curtidores, kami berbelok ke sebuah lorong yang dikenal dengan daerah Calle San Cayetano. Di lorong ini tidak seramai seperti daerah sebelumnya.Ada banyak lukisan dipajang di sini dan juga berbagai macam replika karya seni. Di kiri-kanan lorong terdapat banyak toko seni dan juga toko buku bekas. Menurut Sergio, toko yang menjual barang-barang seni tersebut tetap buka sepanjang minggu. Di daerah ini pula saya mendengar suara gitar Spanyol mengalun begitu merdu. Tampaknya suara gitar Spanyol itu berasal dari salah sebuah toko seni. Seorang perempuan duduk di meja kasir yang pintunya terbukaSeluruh tubuhnya rapat dibalut jaket tebal, jeans, dan sepatu boot. Tapi tetap saja aku berhasil mencuri pandang wajahnya yang begitu cantik. β€œseperti Salma Hayek,” gumam saya dalam hati. Tak jauh dari deretan toko-toko seni tersebut, saya melihat beberapa orang berkulit menggelar tikar yang di atasnya bertumpuk beraneka barang. Ada kaos kaki, perabotan antik, pakaian bekas, dan pernak-pernik souvenir lainnya. Luciana bercerita bahwa mereka adalah imigran dari Afrika. Kami terus menelusuri lorong demi lorong di El Rastro. Masuk ke wilayahΒ  Plaza del General Vara del Rey, terdapat banyak pakaian bekas, dan juga kios-kios yang berisi barang-barang furniture. Di daerah Calle Rodas, kembali kami menjumpai beraneka barang-barang antik.Masuk ke wilayah Campillo terrace barang-barang yang ditawarkan semakin beragam. Ada perkakas pertukangan, peralatan dapur, pakaian, alat-alat musik, dan juga majalah-majalah tua. Tempat ini begitu luas. Tak cukup dua jam untuk mengitarinya. Dengan kamera kesayangannya, Sergio tampak sibuk memotret berbagai macam objek. Berada di kerumunan ribuan manusia sungguh pengalaman menyenangkan bagi saya.Meskipun demikian saya harus tetap berhati-hati terhadap barang-barang yang saya bawa seperti paspor, dompet, dan juga telepon seluler. Tak ada yang bisa menduga pencopet berada di mana. Luciana berkali-kali memperingatkan saya.Tentu saja menjaga barang dari pencopet adalah hal yang biasa saya lakukan. Di Indonesia, jangankan di tempat-tempat seperti ini, bahkan di beberapa mal pun, pencopet berkeliaran. Hingga akhirnya setelah berkeliling kesana-kemari, kami kembali bertemu dengan patung Eloy Gonzalo. Tapi kali ini suasananya berbeda seperti dua jam yang lalu. Terlihat orang-orang berkerumun. Kami mendekat.Di salah satu sisi pagar yang mengelilingi patung pahlawan Spanyol tersebut, duduk seorang tua dengan meja yang terhampar berpuluh-puluh gelas kaca. Ajaib. Dengan sedikit sentuhan jari jemarinya di bibir gelas-gelas kaca tersebut, suara musik yang indah mengalun.Lelaki itu sedang mengadakan konser yang mampu menyedot perhatian orang-orang. Suara musik yang keluar dari gelas-gelas kaca tersebut mampu menghipnotis orang-orang dan juga saya untuk melemparkan koin Euro maupun uang kertas ke dalam kaleng yang terletak di sampingnya. Saya tertegun. β€œWaktunya makan siang. Vamos por unas canas! (Mari masuk ke dalam bar!)” Sergio menarik tangan saya yang masih asik menikmati suara musik dari gelas-gelas kaca tersebut. Kemudian kami berjalan menuju salah satu tempat makan yang terletak tak jauh dari tempat kami berada. Betapa terkejutnya saya ketika masuk ke dalam tempat tersebut.Ini bukan sebuah restoran yang besar. Terlihat seperti bar yang berisi berbagai macam makanan seperti roti, seafood, kentang, salad, dan tentu saja bir. Kursi yang disediakan sudah penuh. Sebagian orang yang lain berdiri. Dengung bahasa Spanyol semakin kentara di ruangan tertutup ini. Pemandangan baru yang saya temui adalah orang-orang yang berteriak-teriak. Mereka bukan berkelahi. Melainkan memesan makanan ataupun pelayan yang mencari-cari pelanggannya untuk mengantarkan makanan. Luar biasa.Di tempat-tempat lain, suara teriakan seperti itu barangkali bisa saja berujung dengan perkelahian. Tetapi di sini, tidak sama sekali. Orang-orang Spanyol tersebut terlihat begitu ramah dengan berteriak. Kami memesan bir, roti, cumi, dan juga salad.Agak lama kami menghabiskan waktu di dalam bar tersebut. Sergio sempat bercakap-cakap dengan pemilik bar yang teriakannya paling keras di antara orang-orang yang lain.Pemilik bar ini begitu sibuk memerintahkan anak buahnya untuk mengantarkan pesanan makanan. Dia juga menyuguhkan bir kepada kami. Sergio memotretnya. Dia tampak senang. Tapi kembali berteriak. Oh, luar biasa atmosfir di sini. Keluar dari bar. Hari sudah semakin siang. Sudah hampir jam dua. Beberapa kios tampak sudah tutup. Sementara yang lainnya tampak masih sibuk menawarkan barang-barang mereka kepada para pengunjung. Kami berjalan keluar dari El Rastro.Menyusuri lorong-lorong di Madrid. Saya sempatkan menoleh ke belakang. Mengucapkan selamat tinggal kepada Eloy Gonzalo yang akan selalu berdiri tegar memegang kaleng gas dan obor. Siap membakar semangat para Madrilenos ketika tengah dilanda krisis ekonomi yang semakin mencekam.
Hide Ads