Hati-hati, Modus Pemerasan di Pura Besakih
Senin, 06 Okt 2014 10:50 WIB

Rizky Indonesia
Jakarta - Bali sungguh menarik hati para wisatawan untuk datang. Pura Besakih misalnya, memikat semua wisatawan. Namun, hati-hati dengan aneka modus pemerasan di sana. Bagaimana ceritanya?Besakih, pura terbesar umat Hindu merupakan salah satu objek wisata yang membuat saya penasaran semasa tinggal di Bali. Tidak lengkap rasanya meninggalkan Bali tanpa pernah berkunjung ke mari. Jadilah saya menyempatkan diri bersama seorang teman untuk berkunjung.Perjalananan kami terhitung spontan. Awalnya kami hanya ingin mengunjungi istana Tampaksiring. Namun, karena kurang informasi, kami tidak tahu jika untuk memasuki istana tersebut butuh izin khusus. Alhasil kami hanya sampai pada gerbang istana Tampaksiring tanpa pernah menginjakkan kaki di dalam istana.Karena hari masih siang, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Pura Besakih via Kintamani. Perjalanan menuju kesana sebenarnya cukup menarik. Namun sayangnya, saya tidak banyak memotret karena dua hal: mengejar waktu dan saya yang mengemudikan motor (kami mengandalkan motor sewaan untuk keliling Bali).Sampai di Pura Besakih pada sore hari, sekitar pukul 16.00 Wita, kami langsung diserbu anak-anak kecil dan ABG yang menjajakan dagangan berupa kartu pos dan penyewaan sarung. Jurus marketing yang dilancarkan ABG penyewa sarung ialah tidak boleh masuk jika tidak pakai sarung dan selendang (belakangan saya baru tahu jika ada fasilitas peminjaman sarung dan selendang gratis untuk pengunjung yang bercelana pendek).Saya dan teman saya diminta Rp 50 ribu untuk sewa sarung dan selendang (sewa, bukan beli!). Tidak lupa juga guide yang menjelaskan panjang lebar tentang aturan dan syarat untuk mengunjungi Pura ini. Menurut guide yang memperkenalkan diri dengan nama Kadek, untuk bisa memasuki Pura Besakih, turis harus didampingi pemandu.Saya tanya, berapa biayanya? Kadek bilang bebas, silahkan berikan sesuai dengan kepuasan mas, demikian katanya. Tidak lupa Kadek memberikan embel-embel marketing dengan mengatakan bahwa dana ini disalurkan untuk tiga lembaga, bla-bla-bla. Namun, saya tidak mendapatkan tiket atau kuitansi untuk jasa pemandu ini.Baiklah, itu keanehan yang saya simpan dalam hati selama mengunjungi pura ini. Selain itu, saya dan teman saya cukup direpotkan oleh anak-anak yang menjajakan dagangan berupa kartu pos yang dibandrol 10 ribu untuk 3 lembar. Awalnya saya membeli satu lembar saja dengan uang 5 ribu. Saya pikir, untuk apa juga banyak-banyak kartu pos seperti itu? Toh nantinya hanya menjadi sampah sepulangnya dari sini.Waktu itu saya membeli karena simpati saja, dan itulah kesalahan saya. Begitu membeli satu, teman-temannya di bagian lain langsung menyerbu. Bahkan, ada satu anak dengan gigih menawarkan dengan sangat memaksa dagangannya. Berbagai jurus dia keluarkan, mulai dari untuk beli buku sekolah, untuk makan, dan lain-lain khas argumen anak jalanan.Ah, bagi saya anak ini jauh lebih keras kepala dan lihai daripada anak-anak jalanan. Penolakan 7-8 kali belum cukup untuk membuatnya mundur. Anak ini menghiasi kunjungan kami kira-kira setengah perjalanan. Luar biasa! Saya membatin dalam hati, semoga anak ini diberikan fitrah untuk cita-cita besar dengan kengototan seperti itu.Di samping keriuhan anak tadi, keinginan saya untuk lebih memahami Hindu Bali sedikit terpenuhi. Saya dipersilakan untuk ikut sembahyang oleh Kadek, sehingga bisa sedikit memahami kebijaksanaan Hindu Bali dalam ritual tersebut. Termasuk berdoa, meskipun Kadek bilang ditujukan kepada Dewa Penghuni Gunung ini, saya tetap memanjatkan doa kepada Tuhan YME. Mengenai sikap saya terhadap ritual dan keyakinan beragama, mungkin akan saya ceritakan di lain waktu.Namun, ada hal yang mengganjal saya. Ketika ritual hampir selesai dan saya diminta untuk meletakkan sedekah (berupa uang tunai) dalam sesajen, saya tidak keberatan. Toh, dengan tujuan mengungkapkan rasa syukur kepada Illahi, tidak ada salahnya mengeluarkan sedikit dana, juga untuk menggantikan biaya sesajen ini, pikir saya.Yang membuat saya keberatan ialah Kadek mengatakan jumlah uang yang saya keluarkan kurang, dan menuntut jumlah tertentu untuk diletakkan dalam sesajen tersebut! Astaga. Akhirnya saya bertanya-tanya sendiri dalam hati. Apakah memang seperti ini aturan agamanya? Atau ini hanya kejahatan oknum bernama Kadek saja?Mood saya langsung jelek setelah kejadian ini. Rasanya ingin cepat mengakhiri kunjungan ini. Coba tebak? Di akhir kunjungan, lagi-lagi Kadek mengatakan uang yang kami berikan kurang dan meminta lebih, lengkap dengan jurus-jurus marketingnya. Padahal di perjanjian awal dia tidak mau menyebut harga.Kesan buruk yang sempurna untuk di akhir kunjungan ini. Tadinya saya menyangka saya hanya sial bertemu dengan orang-orang seperti itu. Namun, setelah saya googling, bahkan di detikTravel pun terdapat keluhan serupa terhadap Pura Besakih.
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum
Hutan Amazon Brasil Diserbu Rating Bintang 1 oleh Netizen Indonesia