Bertualang ke Kebun Kopi di Kalisat, Bondowoso

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Bertualang ke Kebun Kopi di Kalisat, Bondowoso

Win Ruhdi Bathin - detikTravel
Senin, 12 Mei 2014 15:50 WIB
loading...
Win Ruhdi Bathin
Pusat Pengolahan Arabika Kebun Kalisat/Jampit
Komplek pabrik dan perumahan karyawan PTP XII Kalisat/Jampit
Yanto, pemanggul belerang dari Kawah Ijen
Dataran Tinggi Kalisat, petani Kopi Arabika di lahan Perhutani
Bertualang ke Kebun Kopi di Kalisat, Bondowoso
Bertualang ke Kebun Kopi di Kalisat, Bondowoso
Bertualang ke Kebun Kopi di Kalisat, Bondowoso
Bertualang ke Kebun Kopi di Kalisat, Bondowoso
Jakarta - Wisatawan belum banyak tahu, tapi ada sebuah perkebunan kopi di daerah Kalisat, Bondowoso, tidak jauh dari Kawah Ijen. Perkebunan kopi tersebut dapat menjadi alternatif wisata bagi Anda yang mengunjungi Bondowoso.Wisata kopi di Jawa ternyata demikian menarik. Hanya saja di Jawa, tanah tidak dimiliki masyarakat, tapi milik negara atau Perhutani. Sementara di kampung halaman saya di Gayo, Aceh, kebun-kebun kopi adalah milik rakyat, bukan negara.Kesempatan datang dan segera kuaminkan, apalagi dibiayai Negara. Ah, kenapa tidak bilang dari kemarin. Begitulah ketika saya usai membaca secarik kertas dari Kementerian Riset dan Tehnologi, Deputi Bidang Pendayagunaan Iptek, yang ditandatangani, Drs Sedyatmo, MT, melalui program Diseminasi Spesifik Lokasi (Speklok) dan Teknologi.Rabu, 17 Oktober, tepat di hari ulang tahunku yang kesekian. Selepas siang saya minta izin istri untuk pergi. Tentu saja kalau istri tak mengizinkan, saya tak pergi. Tapi istriku memberi izin dan go. Saya ditemani Kurnia, seorang sarjana jurusan bahasa Inggris UGP. Dia petani tulen dan memiliki lahan sendiri. Dengan bismillah, kumulai mengayunkan gerak langkah kaki dari Tanoh Gayo tecinta.Setelah semalaman perjalanan darat dari Gayo-Medan, kemudian 3 jam berlalu dengan mengarungi gumpalan awan dari Medan-Batam-Surabaya, akhirnya sampai juga di Jawa Timur. Tak ada bagasi kecuali ransel, perjalanan berlanjut. Keluar Bandara, jemputan dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) sudah menunggu.Pak Slamet, driver Balai penelitian dari Jember sudah menunggu. Mulailah bercerita dengan Pak Slamet sepanjang 230 kilometer Surabaya-Jember. Kalau saya bisa tidur sambil Pak Slamet bercerita, Pak Slamet tentu saja harus tetap melek mengemudi.Tanggal 19 Oktober, acara dimulai. Asisten Deputi Iptek Masyarakat (Asdep) Drs Momon Sadiyatmo, MT, memperkenalkan peserta yang hadir pada pihak Balai Penelitian Kopi dan Kakao. Momon berharap peserta yang hadir mampu menjadi agen bagi petani lainnya dari hasil pelatihan yang diberikan. Pihak Balai penelitian Jember, diwakili Sri Mulato, alumnus Universitas Hohenheim, Stuttgart, Jerman bersama Edy Suharyanto, jebolan strata dua Agroteknologi Universitas Jember.Bahkan kotoran hewan bisa dijadikan biogas bagi perorangan dan kelompok. Teknologinya sangat sederhana dan bisa dilakukan siapa saja. Tidak berhenti sampai disana, PPKKI juga mengolah kopi dan coklat berupa minuman dan makanan serta sabun dan produk lainnya.Hari kedua di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, tanggal 20 Oktober 2012, Asisten Deputi Iptek Masyarakat, Sedyatmo mengajak saya untuk mengunjungi PTP Nusantara XII (Persero) kebun Kalisat/Jampit. Melihat bekas perkebunan Belanda yang dikenal dengan Java Coffee yang kini dikelola PTP.Heru, mewakili petani kopi di Kecamatan Sempol Bondowoso, berkisah banyak. Menurut Heru, petani kopi arabika di Bondowoso, baru merasakan manisnya harga Arabika sejak dua tahun belakangan. Sebelumnya harga Arabika yang dihasilkan petani di sana lebih rendah dari kopi Robusta, atau minimal harga Arabika disamakan pembeli dengan Robusta.Setiap kelompok diberi pelatihan dan peralatan mesin paska panen. Seperti mesin giling, mesin pembersih fermentasi, para-para jemur, mesin roasting,dan grinder. Kata Heru, tanah petani kopi di sini adalah tanah Perhutani. Petani memberikan sepertiga dari hasil kopinya kepada Perhutani (disebut cukai).Menurut Heru, ada cerita petani yang menanam kopi arabika yang dulunya harus berhadapan dengan petugas hukum dan pihak lain. Karena adanya perbedaan harga yang mencolok antara Robusta dan Arabika, jumlah petani penggarap arabika terus meningkat sifnifikan. Lahan-lahan perhutani yang tersebar luas selain PTP, terus dibuka warga dengan sistem pembayaran cukai sepertiga hasil kepada Perhutani.Saya menceritakan keadaan sebaliknya kepada Heru. Di Dataran Tinggi Gayo, kopi adalah tanaman rakyat. Siapapun boleh tanam kopi semampunya dengan membuka hutan yang bukan hutan lindung atau kawasan konservasi lainnya. Rakyat berkuasa atas kebun kopi dan berhak mensertifikasinya.Bahkan tanah bekas perkebunan kopi Belanda dulu, dibagikan kepada warga setempat. Peran petani jauh lebih kuat dan mandiri. Dan setiap kilogram kopi arabika Gayo milik rakyat yang dibawa keluar daerah, diberikan rakyat retribusinya kepada Pemda sebesar Rp 250. Ini merupakan pendapatan terbesar Pemda, PAD terbesar dari kopi rakyat yang mencapai belasan milyar rupiah setiap tahunnya.Contoh paling menarik dari perkebunan kopi seputaran Ijen ini adalah petani kopi di Dusun Pedati, yang berketinggian sekitar 1.400 mdpl. Di lokasi ini, warga setempat mendapat bantuan berlimpah dari Pemda setempat kepada kelompok tani.Seperti penyuluhan hingga penanganan paska panen. Kelompok tani bisa menjual kopinya berupa bubuk kopi dengan bantuan tersebut. Hebat, lagi-lagi berbanding terbalik dengan Gayo soal mekanisasi pertanian ini.Hasil kopi disini, antara 1,5-2 ton/hektar/tahun. Menurut Joko, peneliti Jember lainnya, kopi di lokasi ini, diolah dengan cara olahan kering. Kopi gabah dijemur hingga kering sebelum menjadi green beans berstandar SNI. Kemudian dijual ke eksportir atau penyangrai.Banyak perbandingan yang bisa diambil dari kunjungan ini, salah satunya perbedaan fisik kopi Jawa dan Gayo. Kopi Gayo tumbuh ditanah subur Andosol dengan curahan hujan yang cukup serta iklim mendukung. Daun kopi Gayo lebih lebar dan tebal serta tampak hijau segar meski tidak dipupuk.Sementara kopi di Jawa mengalami masa kemarau yang panjang dan membuat kopi tampak kekurangan air. Daunnya lebih kecil dan tipis. Kopi Gayo dikenal dengan Kopi Organik dengan multi varietas beraroma dan rasa yang khas. Hanya saja, produksi kopi di Jawa khususnya, lebih tinggi dengan sistem naungan yang rapi dan terawat.Jika Pemda mampu menaikkan produksi petani dari 600-700 kilogram/hektar/tahun, bukan tidak mungkin, kopi menjadi kekuatan ekonomi tak terbatas yang mensejahterakan banyak pihak. Selain itu, cita-cita kalangan muda Gayo untuk menjadikan Aceh Tengah sebagai Kabupaten Kopi dapat segera terwujud.Apalagi bagi rakyat Gayo, kopi sudah merupakan darah dan daging. Seperti yang ditulis Fikar W Eda, kopi sudah ada sebelum Belanda tiba tahun 1904. Kala itu disebut Kawa. Dijadikan pagar, tumbuh menjulang.Mengakhiri kunjungan di Kalisat Bondowoso, rombongan Asisten Deputi Iptek Masyarakat berencana mengunjungi kawasan Ijen. Sambil rehat di dekat lokasi Ijen, tampak seorang pekerja yang mengambil belerang melintas. Namanya Yanto, berusia 47 tahun dari Blitar.Yanto memanggul tak kurang dari 80 kilogram belerang di pundaknya. Menurut Yanto, setiap hari dia memanggul belerang sejauh 4 kilometer dari kawasan terjal Ijen ke lokasi penjualan. 1 Kg belerang dijual Rp 900. Ada 300 orang lebih yang bekerja sepertinya. Namun ajaibnya belerang kawah Ijen tak pernah habis. Kata Yanto malah berbahaya kalau tidak diambil.Diceriterakan Yanto, belerang keluar dari kawah Ijen berupa cairan. Hanya beberapa menit kemudian cairan ini kemudian membeku dan berwarna kuning. Inilah yang diambil setiap hari. Kegiatan Yanto dan kawan-kawannya di kawah Ijen menjadi tontonan menarik bagi banyak wisatawan lokal dan mancanegara.Hingga setiap hari wisatawan mengabadikan Yanto dan yang lainnya. Namun Yanto tampak sudah biasa menghadapi lensa kamera. Yanto terus bekerja dan seolah menjadikan pekerjaan mengambil belerang Ijen, sebagai seni dan ritual yang khusyuk.
Hide Ads