Jatuh Cinta di Bumi Tengger
Rabu, 21 Nov 2012 18:50 WIB

Jakarta - Gunung Bromo tercipta bersama seribu pesona yang tak pernah gagal menghipnotis siapa saja yang jadi tamunya. Cantik malam berbeda dengan cantik panorama kala siang. Sulit rasanya untuk menolak jatuh cinta dengan Bromo. Tiada habisnya Bumi Tengger membisikkan mantra mengundang pemuja keindahan alam. Panorama Bromo sudah seperti candu, tak heran banyak kaum globetrotter terhipnotis di sini dan selalu ingin kembali. Terletak di antara Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Probolinggo, saya menempuh perjalanan selama 6 jam dari Kota Blitar. Saya berangkat pukul 15.00 WIB sore dan tiba di Desa Sukapura selepas Isya. Beruntung di sini saya masih bisa mendapatkan homestay tanpa booking terlebih dahulu. Dengan tarif per malam Rp 300.000, saya memperoleh sebuah penginapan sederhana dengan fasilitas 2 kamar tidur dengan kamar mandi dalam dan ruang keluarga. Baru semenit turun dari mobil, saya merasakan dingin yang menusuk hingga tulang sendi. Bergegas ingin mandi, namun ketika merasakan dinginnya air, saya pun menyerah sebelum telanjang. Sepertinya air panas tidak mampu mempertahankan suhunya di atas kulit saya. Menjelang tengah malam rasa kantuk tak kunjung datang, dan secangkir kopi buatan mama siap menemani. Tapi lagi-lagi, dinginnya Bromo melenyapkan asa. Kopi itu sudah dingin meskipun baru beberapa menit diseduh. Bromo memang ingin memaksa saya untuk benar-benar menikmati bahwa inilah iklimnya. Jemari tangan mulai kaku membuat saya harus ekstra melawan hawa beku. Tidak bisa berbuat banyak selain menarik selimut dan harapan dari baju berlapis yang saya kenakan masih saja tidak mampu menolong. Seperti tak berdaya, saya memilih tidur di mobil dan menghidupkan penghangat. Jam 3 pagi saya harus bangun untuk segera bersiap dijemput Jeep Hardtop sewaan menuju ke view point di Pananjakan. Carter Jeep Hardtop yang saya dapatkan tarifnya Rp 300.000, dan jeep ini bisa diisi 6 orang. Supir hanya akan mengantar sampai di titik terbawah Bukit Pananjakan. Di sini mama saya memilih naik kuda dengan tarif Rp 50.000 untuk pulang dan pergi. Sedangkan saya, ayah dan adik memilih jalan kaki. Baru kali ini tubuh melepas keringat, dan itu cukup melemaskan persendian saya yang kaku karena kedinginan semalaman. Hanya 15 menit berjalan kaki, sampailah saya di view point Pananjakan. Tepat pukul 03.30 WIB pagi, langit masih berwarna keunguan berselimut kabut. Tak lama, sang fajar seolah malu-malu mengintip dari balik gunung. Bias cahaya kuningnya membelah langit, seolah Tuhan sedang melukis di atas Bromo menunjukkan kuasa-Nya. Mata pun tak ingin berpaling, tubuh berdiri mematung ketika saya merasakan bak di atas negeri awan. Embun pagi menyelipkan rasa takjub akan ilusi nyata, dan "Allahu Akbar..." Mengagumi kebesaran Tuhan membuat saya berlinang air mata. Entah kenapa, setiap kali saya berkunjung ke suatu tempat di mana Tuhan menorehkan tinta keindahan-Nya, semakin besar kecintaan saya kepada-Nya. Ya, alam pandai menyimpan amanat, menabur iman di setiap sudutnya. Puas mengabadikan sunrise di Bukit Pananjakan, saya dan keluarga segera turun dan Jeep Hardtop sewaan kami tadi berpacu menuju Pura Luhur Poten membelah lautan pasir di kaki Bromo. Pura ini adalah tempat suci bagi umat Hindu suku Tengger. Di sekeliling pura terdapat beberapa warung tenda yang menjajakan makanan ringan dan bakso, namun Anda tidak akan menemukan warung yang menyediakan minuman dingin. Toilet yang ada cukup bersih dan semua fasilitas terorganisir pengelolaannya. Sang bayu menyambut sejuk meski tanah tak berpohon. Saya dan adik berlomba menyusuri lembah pasir menapaki tubuh Bromo yang gagah menuju ke puncak. Anda bisa saja naik kuda, tentunya dengan ditemani si pemilik kuda dengan tarif Rp 50.000 untuk pulang dan pergi. Jangan malu untuk menawar, karena di sini saya mengetahui untuk beberapa wisatawan ada yang dikenai tarif sewa sebesar Rp 100.000. Melihat ratusan anak tangga menjulang menuju puncak sedikit menambah rasa lelah. Tapi untuk menghibur diri, saya dan adik iseng menghitung jumlah anak tangga itu. Beberapa saat hitungan terhenti karena separuh tangga berselimut pasir membuyarkan konsentrasi. Seketika saya berpaling untuk mengamati sajian alam sekitar, ini mengingatkan saya ketika berkunjung ke Wadi Rum di Yordania. Benar-benar padang gersang yang eksotis. Tidak lama pendakian santai berlalu, ternyata kami sudah sampai di bibir Kawah Bromo. Jantung pun berdebar karena kawah berpasir ini tidak berpagar. Melangkah beberapa sentimeter saja dari kaki berpijak, mungkin tubuh saya yang kurus ini begitu mudahnya terperosok jatuh. Ngeri dan kagum beradu melihat lubang hitam Kawah Bromo, seperti hendak menelan siapapun yang berani melongoknya. Angin semilir menyertakan debu, namun tak berhenti menebar pesona Bromo dari sisi ini. Keindahan Bromo tak hanya sampai di kawah, panorama savana di balik gunung sudah menanti. Untuk mencapai savana, perjalanan berlanjut sebentar, hanya 10 menit dari Pura Luhur Ponten. Lagi-lagi saya terpana. Lembah rumput menghijau setelah beberapa kali hujan mengguyur. Sejauh mata menatap, berbanding terbalik dengan gersangnya pasir Gunung Bromo. Di sini sangat hijau. Akhir tahun lalu saya mengunjungi Hobbiton, Selandia Baru dan atmosfir savana ini tak kalah indahnya. Puas melepas penat di hamparan rumput savana, Bromo masih menyimpan romantisme alam di Pasir Berbisik. Bebatuan karang menebar di beberapa sudut yang tak terbendung. Sangat luas dan ketika angin berhembus inilah yang terdengar seperti pasir sedang berbisik. Ketika terik matahari mulai menyengat, mengingatkan rahasia terbesar saya hari itu. "Sssst, saya kan nggak mandi sejak semalam, hehehe". Dan berakhir sudah memadu asmara dengan alam di sini. Siang itu juga saya harus pulang dengan berat hati dan hanya membawa potret Maha Karya Tuhan yang tersimpan di ingatan. Memang, tiada habisnya Bumi Tengger membisikkan mantra mengundang pemuja keindahan alam. Panorama Bromo sudah seperti candu, suatu hari saya pasti akan kembali lagi, begitu juga dengan Anda yang sudah pernah ke sini. Saya berani bertaruh untuk itu.
(travel/travel)
Komentar Terbanyak
Cerita Tiara Andini Menolak Tukar Kursi sama 'Menteri' di Pesawat Garuda
Terpopuler: Dedi Mulyadi Terancam Dicopot, Ini Penjelasan DPRD Jabar
Aneka Gaya Ahmad Sahroni di Luar Negeri dari Paris sampai Tokyo