Rasakan Sensasi Menyambut Pagi dari Tana Toraja
Sabtu, 11 Feb 2012 16:21 WIB

GeorgeGuling
Jakarta - Ini lebih dari sekadar jauhnya jarak yang ditempuh, banyaknya tenaga yang terbuang, dan waktu yang terbunuh. Perjalanan ini merupakan proses untuk menemukan kepuasan di alam Tana Toraja.Pukul 09.00 WITA pesawat mendarat di Bandara Hasanudin, Makassar. Dari Sinilah saya memulai perjalanan panjang selam 10 jam melalui alur darat menuju Tana Toraja. Jauhnya perjalanan, jalan yang berliku, tebing, jurang, belum lagi cuaca yang tak menentu menjadi teman dalam perjalanan dan membuat jantuk berdetak tak berirama.Namun, sebuah perjalanan yang panjang bisa memberikan kesempatan menemukan yang juga jauh lebih banyak kan? Saat perjalanan saya sempat menangkap basah seorang anak kecil yang berjalan perlahan, sembunyi-sembunyi dengan pandangan yang awas dan cekatan ia mengambil mangga di pohon milik tentangganya, dan kemudian kabur tak berjejak. Tingkah laku anak kecil tersebut membuat saya tak lagi tertidur hingga akhirnya tiba di tempat peristirahatan yang sangat indah.Pemandangan bukit yang hijau mengusir rasa lelah pergi entah kemana seiring kabut yang turun perlahan dari atas bukit.Konon bumi ini milik mereka yang mau berhenti sejenak untuk melihat-lihat lalu meneruskan perjalanan. -anonymous-Penduduk di sini menyebutnya Gunung Nona. Saya membiarkan pertanyaan akan asal-usul nama gunung ini tetap melayang di pikiran. Hanya perlu duduk manis menikmati kenyamanan ini. Gunung Nona terletak di Desa Bambapuang, Kabupaten Enrekang. Tempat ini bisanya menjadi peristirahatan karena ada begitu banyak tempat, seperti kedai kopi dan restaurant yang berbaris rapi di pinnggir jalan. Keadaan seperti ini membuat Gunung Nona menjadi pilihan utama bagi mereka untuk berhenti sejenak, melihat-lihat, dan kemudian kembali melakukan perjalanannya.Rasanya tidak butuh serangkaian huruf yang tersusun rapi hingga membentuk sebuah kata, tidak perlu menyampaikan secara verbal, hanya butuh dua hal, yaitu memberi senyum dan memahami.Β Menurut data dari Stephen Juan seorang antropolog dari University of Sydney, ragam bahasa yang ada dunia ini berjumlah 6.800 bahasa dan Indonesia memiliki 726 ragam bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari oleh masyarakatnya.Β Inilah satu dari sekian banyak hal yang membuat saya selalu bersemangat setiap melakukan perjalanan, bahasa dan aksen bicara adalah hal pertama yang selalu ingin saya temukan dalam setiap tempat yang baru saya singgahi.Bisa-bisanya dalam satu planet, satu negara, satu pulau, bahkan satu provinsi yang hanya terpisah puluhan atau ratusan kilometer jauhnya, bahasa terkadang menjadi hambatan dalam berkomunikasi. Inilah tantangan sebenarnya dalam setiap melakukan perjalanan.Situasi seperti saya rasakan ketika tiba di desa tempat tinggal kakek saya, Tana Toraja. Sambutan hangat seakan memecah heningnya malam itu.Saya ikut duduk bersama suadara-saudara di ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang makan dan terhubung lansung dengan dapur, bangunan ini berbentuk rumah panggung, berlantaikan kayu dan berdinding ayaman rotan, tak jarang angin akan berhembus masuk melalui celah-celah anyaman rotan.Namun malam ini terasa hangat dari kenyataannya, puluhan manusia duduk melingkar, ditemani ballo' atau tuak kami bercerita mengakrabakan diri dengan satu bahasa yang sampai sekarang tidak saya kuasai. Bahasa Toraja. Ini aneh, saya tidak tau bahasa yang mereka ucapkan, namun saya seakan mengiyakan apa yang mereka katakan dan begitu juga mereka, tidak tau bagaimana prosesnya, tetapi ketika seorang dari kami tertawa, saya juga ikut tertawa, seakan tau apa yang mereka tertawakan.Mungkinkah ini yang disebut bahasa dunia oleh Paulo Coelho dalam The Alchemist?Β Bahasa tidak perlu mempelajari atau menguasai, cukup dua hal, memberi senyum dan keberanian untuk mau memahami.Bangun lebih pagi, membuat kita melihat yang belum sempat terlihat dan menemukan lebih banyak. Good morning, rise and shine! Good morning, Tana Toraja!Alunan musik bambu yang dibawakan oleh angin, bau tanah yang habis diguyur hujan semalam, belum lagi harumnya kandang babi yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah, membuat suasana pagi di sini menjadi tempat yang tidak akan pernah saya temukan di tempat lain.Β Ya, tadi malam saya tiba di tempat ini ketika matahari sudah kembali ke peraduaanya. Jalan di desa tempat kakek tinggal tidak ada penerangan sama sekali, selain cahaya lampu dari rumah penduduk, itupun sudah nampak enggan bercahaya, mungkin karena terlalu setia dengan waktu. Alhasil mata hanya menangkap gelap.Namun itulah malam, selalu menyembunyikan, dan hanya bisa ditemukan oleh mereka yang mau bangun lebih awal. Dan mulai pagi hari ini, hingga beberapa hari ke depan, saya akan mencoba menemukan apapun di tempat ini sebelum kembali disembunyikan."Tana Toraja, negeri orang mati yang hidup" kalimat itulah yang selalu terlintas di pikiran saya jika datang ke Tana Toraja. Tana Toraja adalah salah satu tempat yang memiliki kebudayaan yang luar biasa unik dan memesona, terutama dalam hal upacara adat kematian yang masih bertahan hingga sekarang.Upacara adat kematian, atau dalam bahasa Toraja disebut dengan Rambu Solo memang menjadi daya tarik utama wisatawan lokal maupun mancanegara saat berkunjung ke tempat ini. Menariknya lagi, di Toraja kita masih dapat melihat objek wisata pemakaman masyarakat di zaman dulu. Seperti kuburan di dalam goa yang berada di Londa dan Lemo, kuburan di dalam batu di Lo'Ko Mata, dan kuburan di dalam pohon, Kambira.Begitu luar biasanya tempat ini, maka tak heran jika penulis sekaligus traveler terkenal Patricia Zchults memasukkan Tana Toraja dalam salah satu dari seribu tempat di dunia yang wajib untuk dikunjungi dalam bukunya yang bejudul "1000 Place to See bBefore You Die".Tana Toraja memang salah satu tempat eksotis yang dimiliki oleh Indonesia bahkan dunia. Tana Toraja seakan membuat orang yang menjauh sesaat, tak sabar untuk kembali lagi.
Komentar Terbanyak
Foto: Momen Liburan Sekolah Jokowi Bersama Cucu-cucunya di Pantai
Layangan di Bandara Soetta, Pesawat Terpaksa Muter-muter sampai Divert!
Wapres Gibran di Bali Bicara soal Pariwisata, Keliling Pasar Tradisional