Lombok Itu Beda dengan Bali!

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Lombok Itu Beda dengan Bali!

Rika Melati - detikTravel
Jumat, 06 Jan 2012 15:53 WIB
loading...
Rika Melati
Sunset Point - Gili Trawangan
Mengejar Sunrise- Gili Trawangan
Welcome to Gili Trawangan
Penginapan IDR 100 K/ Night
Lombok Itu Beda dengan Bali!
Lombok Itu Beda dengan Bali!
Lombok Itu Beda dengan Bali!
Lombok Itu Beda dengan Bali!
Jakarta - Dimana ada kemauan, di situ ada jalan. Keinginan cuma satu, jalan-jalan. Lalu sabtu-minggu, berasa macam mimpi, pergilah saya dan seorang kawan lama ke Lombok.Tujuan awal kami sebenarnya adalah ke Belitung. Namun, ternyata tiketnya luar biasa mahal karena bertepatan dengan Sail Belitung. Di sisi lain saya juga ingin ke Bali tapi harga tiketnya juga tak mau kalah dengan Belitung. Kembali berburu tiket, akhirnya kami memutuskan untuk ke Makassar. Sudah dua kali mem-booking tiket tapi saya ragu, Makassar memang menarik tapi saya belum kebelet kepingin ke sana. Walhasil, iseng-iseng mencari tiket promo lagi dan kejutan sekali, kami mendapatka promo tiket murah Rp500.000,00 sekali jalan Jakarta-Lombok.Berangkatlah kami dari Jakarta pukul 07.00 WIB dan tiba di Lombok International Airport (LIA) pukul 10.00 WITA. Tujuan kami ke Lombok hanya ingin mengunjungi Gili Trawangan untuk pantai dan senjanya yang indah.Sebelum menuju Gili Trawangan, kami harus terlebih dahulu menuju Kota Mataram. Dan, untuk menuju ke sana saya menggunakan bus Damri. Menurut kondekturnya, kalau mau ke Senggigi cukup naik bus itu. Di bandara, kami sempat menghampiri konter travel agent untuk bertanya mengenai penginapan di Gili Trawangan, ternyata biayanya cukup tinggi. Kami sempat ketar-ketir juga, apalagi menurut informasi dari seorang teman, di sana tak ada listrik dan ATM. Dengan uang cash seadanya akhirnya kami nekat pergi ke Gili Trawangan. Masa bodoh yang penting ada niat, "Lho." Ternyata sesampainya di Gili Trawangan jangankan ATM, di sana juga tersedia beberapa money changer. Pelajaran moral pertama, re-check lagi informasi yang belum jelas kebenarannya!Sumpah, Bandara International Lombok yang dibangun di Lombok Tengah itu jauhnya minta ampun. Kondektur bus sempat menanyakan tujuan kami. Sambil cengengesan, saya bilang mau ke Senggigi. Ternyata Damri di sana memang hanya menempuh satu rute dengan tujuan akhir Sengigi. Alurnya begini, bandara-Kota Mataram- Senggigi.Awalnya saya membayangkan akan banyak travel agent dan penyewaan motor. Akan tetapi, Lombok tak seramai Bali. Ketika sudah hampir mendekati pool damri, akhirnya kami minta diturunkan di tempat agen perjalanan wisata. Rencana awal, kami akan menyewa motor menuju pelabuhan. Tapi rencana bisa berubah bukan? Ternyata dari Sengigi ke pelabuhan memakan waktu sekitar 45 menit. Akhirnya kami memilih satu paket, yaitu transport bolak balik ke Senggigi-pelabuhan-Senggigi, penyeberangan bolak balik Gili-Mataram, dan Damri ke bandara. Untuk satu paket ini kami hanya dikenakan biaya Rp200.000,00 per orang. Damri di sini nggak sama dengan Jakarta, kalau sedang tidak ada penumpang, ya tidak jalan. Jadi, harus di booking dulu.Sesampainya di Senggigi, saya merasa seperti di luar negeri. Dominasi wisatawan asing, deretan pub dan cafe yang menawarkan western food, siaran channe-channel asing, serta penduduknya yang lebih jago bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia. Kebetulan, sore itu sedang ada siaran pertandingan rugby, banyak turis berbondong-bondong menuju cafe, kemudian riuh rendah suara membahana di pulau kecil itu. Bukankah di Indonesia suasana tersebut lebih identik dengan pertandingan sepakbola?Untuk mengelilingi pulau kecil ini, saya memilih menyewa sepeda. Harga sewa untuk satu sepeda dikenakan biaya Rp50.000,00 per hari tapi kami mendapatkan sepeda dengan harga Rp15.000,00 per hari. Di Gili Trawangan memang tidak ada kendaraan bermotor. Oya, senja di sana sangat indah. Sambil mengendarai sepeda, terseok-seok melewati jalanan yang didominasi pasir putih, saya menuju Sunset Point. Tempat ini merupakan sisi terbaik di Gili Trawangan untuk menikmati matahari tenggelam. Sunrise dan sunset memang dua hal di awal dan akhir yang meyakinkan saya bahwa selalu ada hari yang luar biasa dalam hidup.Malamnya, setelah menikmati makan malam di Pasar Seni, saya sempat nongkrong di cafe yanag berada di pinggir pantai bersama dengan dua orang kenalan. Sayang pukul 11.00 cafe sudah tutup. Cukup mengherankan karena 90% wisatawan di sini adalah bule. Ternyata pestanya sudah kemarin malam, kind of Party Friday Night. Oya, kalau soal biaya untuk ukuran tempat sebagus ini relatif murah. Peralatan snorkeling bisa disewa dengan harga Rp25.000,00 mulai dari pukul 06.00 WITA sampai pukul 18.00 WITA. Kalau nggak mau ke tengah naik kapal, cukup snorkeling di pinggir pantai yang masih jernih. Soal penginapan juga masih terjangkau, saaya mendapat penginapan dengan harga Rp100.000,00 per malam. Kalau bisa extend libur lebih lama, banyak tourism agent menyediakan kapal yang langsung menuju ke Labuan Bajo dengan tujuan Pulau Komodo atau Fery ke Nusa Dua, Bali.Ada kejadian menarik saat memarkir sepeda di Pasar Seni. Ketika akan pulang, saya kaget setengah mati karena sepedanya hilang. Panik juga, sampai seorang pedagang minuman dekat parkiran mendekati saya dan bilang sepedanya dibawa sama yang punya. "Oh, ya sudah," batin saya. Lalu saya meneruskan jalan-jalan (berjalan kaki) dan saya menemukan sepeda itu teronggok masih bersama minuman saya yang berada di keranjangnya. Saat mau pulang, saya bilang ke Mas yang menyewakan, kalau tadi malam sepeda tersebut diambil yang punya. Masnya malah terkejut, saya pun bingung. Sepertinya kepemilikan barang di pulau sekecil itu memang sulit ditandai. Sampai sekarang saya nggak tahu kelanjutan cerita sepeda itu. Pelajaran moral kedua, jagalah barang-barang baik milik sendiri maupun barang sewaan.Minggu pagi, kami sudah stay di pantai untuk mengejar sunrise dan tentu saja mandi. Kami juga sempat mengobrol dengan seorang ibu yang datang jauh-jauh dari suatu daerah di NTB, saya lupa nama daerahnya. Ia menjelaskan, menurut kepercayaan di sana mandi air laut pagi-pagi bisa menghilangkan penyakit. Timbal baliknya, si Ibu menanyai saya. Dan beberapa kali ia menyebut Subhanallah mendengar cerita saya yang baru datang kemarin sore, cuma berdua temen, lalu akan kembali ke Jakarta sore ini. Pelajaran moral ketiga, berceritalah yang perlu saja, jangan terlalu jujur.Sesampainya di pelabuhan saya menaiki cidomo menuju terminal, ongkosnya hanya Rp15.000,00 untuk 2 orang. Cidomo merupakan kendaraan khas Lombok yang dijalankan oleh seekor kuda dan hanya muat untuk 2-3 penumpang.Sekitar pukul 11.00 WITA kami sudah kembali berada di Daerah Wisata Senggigi. Sebuah skuter sewaan sudah menanti untuk diajak berkeliling. Tujuan pertama, Pura Ratu Bolong yang terletak di pinggir Pantai Senggigi. Waktu itu sedang ada upacara sehingga hanya bisa foto-foto dari luar. Lanjut tujuan kedua, tentu saja berkeliling Kota Mataram, pastinya tanpa peta dan petunjuk apapun.Dalam waktu 30 menit saya sudah mampu melampaui Senggigi-Mataram. Menjelang siang, perut kami terasa keroncongan. Keliling-keliling, akhirnya kami menemukan satu resto ayam taliwang. Agak sepi memang tapi dengan keyakinan saya tetap mencoba. Ternyata, "Yummy... sambalnya enak banget."Bagi Anda yang ingin ke Mataram, di daerah ini itu banyak jalan satu arah. Beberapa kali saya bertanya dan entah mengapa penduduk di sana sulit menjelaskan sesuatu. Perlu beberapa kali mengkonfirmasi pada orang berbeda hanya untuk satu pertanyaan. Prediksi saya sih karena kendala bahasa yang sulit dimengerti, "But I enjoy of being lost, so much I mean." Pelajaran moral keempat, kita nggak selalu butuh peta dalam hidup, hanya perlu banyak bertanya.Perjalanan pulang dari Kota Mataram, kami menyempatkan diri untuk mampir dan foto-foto di bandara Lombok yang lama, lalu ke pusat cinderamata untuk beli oleh-oleh mutiara (palsu), kaos khas Lombok, kemudian kembali ke Sengigi mengembalikan skuter. Pukul 16.00 WITA, Damri yang mengangkut kami sudah siap sedia. Lagi-lagi hanya ada 5 penumpang, 3 orang bule dan sisanya kami. Di perjalanan sempat ketemu serombongan orang, menghadang jalan, sambil teriak-teriak. Terbesit juga jangan-jangan ada kerusuhan. Bule-bulenya malah keliatan kaget banget. Tapi tenang, Indonesia memang kaya akan tradisi. Ternyata itu upacara adat memeriahkan acara sunatan.Memang macam petir, tiba-tiba dan sangat singkat. Tapi kadang kala singkatnya waktu membuat perjalanan menjadi bermakna. Mungkin karena tipikal saya yang suka spontanitas, "I always enjoy of being somewhere, nothing to do, nothing to think. The joy of enjoying." Bukankah hidup begitu? Cukup dinikmati saja.
Hide Ads