Kaligua Berkabut
Rabu, 16 Nov 2011 22:29 WIB

Jakarta - Membayangkan hamparan kebun teh nan hijau bergradasi dengan halimun saja sudah membuat hati bergetar. Tapi, bagi saya, mendapatkan laporan pandangan mata yang indah seperti itu tentu sulit dilakukan di luar hari libur. Maka, ketika hari Minggu bisa dikompromi, bertepatan dengan datangnya tawaran menggiurkan dari teman saya (waktu itu sebelum jadi pacar saya) untuk melihat kebun teh dengan jarak yang bisa dijangkau, saya hanya bisa mengangguk senang dan bilang iya.Menempuh perjalanan menggunakan sepeda motor merupakan cara yang paling mudah. Sebab, sepeda motor bisa menyalip bus-bus pariwisata dan mobil-mobil pribadi atau carteran yang biasanya berarakan memadati jalan sempit menuju Kaligua.Sekadar informasi hasil googling di Om Wiki (wikipedia), lokasi wisata agro Kaligua terletak sekitar 10 kilometer dari arah kota Kecamatan Paguyangan, atau sekitar 15 kilometer dari Bumiayu. Jalur tersebut dilewati jalan utama Tegal-Purwokerto, tepat masuk lewat pertigaan Kaligua, Kretek, perjalanan mulai berkelok-kelok, dan naik-turun.Saya sendiri tidak menyangka kalau perjalanan menuju wisata agro di Desa Pandansari, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes tersebut terasa begitu jauh. Syukurlah, saya mendapat hiburan gratis berupa kelebatan cemara, pinus, udara basah, keramahan penduduk, serta kebun-kebun tomat dan kubis. Tapi rasa dingin yang mulai menusuk ke kulit membuat saya resah. Sudah terbalut jaket pun, dingin yang mungkin mencapai 4-12 C itu tetap bisa menggigilkan tubuh.Berangkat ke kaligua dalam kondisi flue seharusnya bukan ide yang baik. Karena udara dingin semakin mempersempit rongga hidung. Solusinya, beli satu pak tissue di dekat pembelian tiket masuk. Dalam hati, ingin sekali membuat survei berapa persen orang yang tidak mengalami bersin dan pilek mendadak di tempat ini.Sebelum berangkat, saya sudah begitu penasaran dengan Telaga Renjeng/Lele. Bukan tempatnya melainkan mitos yang berhembus tentang telaga itu. Saya mendengar, lele disana tidak boleh ditangkap atau dibawa pulang tanpa ijin. Namanya juga telaga keramat. Menurut penduduk sekitar, kenekadan mengambil ikan/lele di telaga itu bisa berbuah bencana. Lupakan mitos! Karena saya memang tidak akan ke tempat βwingitβ itu melainkan ke gua jepang.Setelah memarkir sepeda motor dan merohok kocek Rp2.000,00 (yang ternyata biaya parkirnya tidak disatukan dengan tiket masuk), saya harus menempuh jarak sekitar 250 meter sebelum menikmati sensasi menelusuri lorong gua Jepang. Tanpa pemanasan plus kurang olahraga, membuat nafas terasa berat. Saya membatin, kalau teman saya yang ingin diet alami bisa fitness manual di sini.Gua buatan ini konon dijadikan tempat persembunyian para petinggi tentara Jepang. Berada di bawah bukit kebun teh, gua ini memiliki panjang lorong 800 m, namun untuk keamanan hanya sekitar 300-an meter yang boleh dijelajahi. Kalau hari Minggu neon di dalam lorong gua akan dinyalakan. Tapi, saat saya menyusuri gua yang lembab dengan tetes-tetes air dari beberapa bagian atapnya itu, lampu sempat dimatikan lima menit. Lalu terdengar teriakan-teriakan ABG. katanya itu anggota pramuka yang sedang diberi "shock teraphy". Di samping saya, pemandu dengan sigap menyalakan lampu senternya sehingga mengurangi rasa takut saya terhadap gelap. Pemandu juga memberi banyak penjelasan tentang sejarah dan fungsi ruang-ruang di gua jepang. Ada ruang tawanan, ruang sidang, ruang senjata, ruang penyiksaan, bahkan ruang prostitusi sang jugun ianfu. Ruang berisi sarang kalelawar tidak kami sentuh karena jalurnya memang licin dan parah. Saya sarankan, jangan masuk ke gua jepang tanpa pemandu. Pasalnya, petunjuk arah di dalam gua banyak yang rusak dan hilang. Salah-salah bisa tersesat. Jangan gusar, karena secara tidak langsung pemandu meminta imbalan (seikhlas dan pantasnya).Waktu yang singkat (karena saya sudah di tunggu di Bumiayu untuk makan siang), membuat saya gagal mengunjungi areal wisata lain seperti Tea Walk, Pembibitan Teh, Panen Teh, Pabrik Pengolahan teh, Jasa Layanan teh, Petilasan Van De Jong (Mbah Joko), Turbin Kuno, Teluk Bening, Goa Barat, Telaga Ranjeng dan sebagainya.Sebelum turun bukit, saya mencukup-cukupkan waktu memandang kabut yang terus saja bergulir menyentuh pucuk-pucuk teh Kaligua warisan pemerintahan kolonial Belanda tersebut. Saya tidak menyangka kalau saat saya berdiri di sana saya sebenarnya tengah berada di lereng barat gunung Slamet (3432 m dpl). Dari tempat saya menjejakkan kaki, saya bisa mengagumi keindahan puncak gunung Slamet dari dekat, yaitu puncak Sakub.
(travel/travel)
Komentar Terbanyak
Potret Sri Mulyani Healing di Kota Lama Usai Tak Jadi Menkeu
Keunikan Kontol Kejepit, Jajanan Unik di Pasar Kangen Jogja
Daftar Negara yang Menolak Israel, Tidak Mengakui Keberadaan dan Paspornya