Yoseph Yapi Taum: Ironi Ini Menyakitkan

Yuk ceritain perjalananmu dan bagikan foto menariknya di sini!
bg-escape

Yoseph Yapi Taum: Ironi Ini Menyakitkan

Warisan Indonesia - detikTravel
Senin, 21 Nov 2011 16:29 WIB
loading...
Warisan Indonesia
Dok. Archadius Budi Adi Santosa
Yoseph Yapi Taum: Ironi Ini Menyakitkan
Jakarta - Selain memiliki ragam budaya, keindahan, dan kekayaan alam, orang Flores juga dikenal ramah dan memiliki solidaritas tinggi. Namun, di balik semua itu, pulau yang menjadi incaran pelaut-pelaut Semenanjung Iberia (Portugis dan Spanyol) pada abad ke-15 itu menyimpan sejumlah paradoks. Mengapa demikian?Dalam dua kesempatan, Singgir Kartana dari Warisan Indonesia berbincang dengan Yoseph Yapi Taum, putra Flores, yang juga pengajar di Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, untuk mengurai apa yang sesungguhnya terjadi di sana.Kandidat doktor kelahiran Ataili, Lembata, Flores, 16 Desember 1964, itu sejak puluhan tahun menaruh perhatian pada budaya tanah kelahirannya yang dituangkan dalam berbagai artikel, jurnal penelitian, dan buku. Berikut petikan wawancaranya.Flores kaya sumber daya alam serta seni budaya, tetapi kawasan itu justru dikenal sebagai daerah miskin. Mengapa ini terjadi? Memang benar, Flores kaya sumber daya alam. Memiliki tempat wisata elok, seperti Danau Kelimutu, Taman Nasional Komodo, dan bahkan potensi tambang emas di Pulau Lembata dan Manggarai Barat, misalnya. Juga banyak potensi wisata sejarah ataupun budaya yang tak kalah dengan kawasan lain di negeri ini. Namun, semua itu belum mampu meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.Saya menduga, ada kesalahan pengelolaan. Selain itu, juga ada kendala, baik kultural maupun sosial untuk pengembangan potensi tersebut demi kesejahteraan masyarakat. Alhasil, sampai saat ini sebagian besar masyarakat Flores hidup di bawah garis kemiskinan. Fakta tentang keindahan dan kekayaan sumber daya alam itu menjadi sebuah ironi dan paradoks yang menyakitkan.Meski dikenal sebagai kawasan miskin, Flores mampu melahirkan banyak intelektual yang berpengaruh di negeri ini. Kondisi sosial seperti apa hingga mampu melahirkan kaum intelektual ini? Masyarakat di Pulau Flores mewarisi tradisi pendidikan misi Katolik yang cukup kuat, terutama sampai sekitar tahun 1970-an. Banyak intelektual berpengaruh yang dihasilkan oleh sistem pendidikan Katolik ini. Akan tetapi, mulai sekitar tahun 1980-an, pemerintahan Orde Baru menerapkan kebijakan sekolah-sekolah inpres (instruksi presiden). Negara mulai mengambil alih banyak sekolah Katolik. Pengaruh sekolah misionaris mulai berkurang.Masyarakat Flores semula konon berbasis budaya kelautan sebagai nelayan dan pedagang. Misionarislah yang mengubahnya menjadi manusia daratan sebagai pegawai, guru, suster, dan pastor. Benarkah demikian? Begini ya, masyarakat Flores adalah masyarakat agraris. Hanya ada satu desa nelayan yang benar-benar berbasis budaya kelautan, yaitu Desa Lamalera di Pulau Lembata. Berabad-abad, penduduk desa ini mengandalkan hidupnya dari hasil laut, terutama memburu dan menangkap ikan paus. Ketika misionaris Katolik datang, upacara adat menjelang perburuan ikan paus diadopsi dan disesuaikan dengan tata cara ritual dan iman Katolik. Upacara-upacara adat tradisional itu tidak dihilangkan, tetapi mengalami semacam inkulturasi ke dalam terang iman Katolik. Agama Katolik tidak melarang perburuan ikan paus dan tidak menghilangkan budaya kelautan.Fakta yang sekarang terjadi, banyak organisasi dunia seperti World Wildlife Foundation (WWF) yang secara sistematis ingin menghilangkan tradisi penangkapan paus dengan dalih binatang itu merupakan binatang langka yang dilindungi. Jadi, tidak benar kedatangan misionaris Katolik menghilangkan tradisi mereka. (Singgir Kartana)— Baca artikel lengkapnya di Majalah Warisan Indonesia Vol.01 No.10 —
Hide Ads