Sejak mendarat di Jayapura, saya melihat banyak sekali aksesories berbau bendera New Guinea yang dipakai oleh masyarakat. Bentuknya boleh jadi berupa kaos, tas cangklong, atau topi. Dari fenomena tersebut saya menjadi yakin bahwa hubungan kedua negara begitu bebas, sangat baik dalam koridor bilateral.
Saya dan Mas Sukma jadi tertarik untuk melongok pintu perbatasan antara kedua negara yang tidak terlalu jauh dari Jayapura. Bisa ditempuh dalam waktu dua jam perjalanan dari pusat kota. Kami sendiri menggunakan mobil sewaan yang melaju dengan kecepatan rata-rata.
Daerah perbatasan ini dikenal dengan nama βSkouw-Wutungβ, masing-masing adalah bagian terluar dari Indonesia dan Papua New Guinea. Akses menuju tapal batas ini sangat mudah, sebuah jalan beraspal mulus mulai dikerjakan sejak Presiden Megawati Soekarnoputri, melakukan kunjungan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekitar dua kilometer sebelum memasuki pintu perbatasan, tampak sebuah pos keamanan yang dijaga oleh tentara nasional. Dari dalam mobil saya melihat sebuah senapan bidik yang bersiap di depan pos. Barangkali untuk memberikan tembakan peringatan bagi para pelintas batas yang bandel.
Semakin dekat menuju perbatasan Skouw-Wutung, semakin banyak pula kantor TNI dan Polisi yang berjajar. Masalah perbatasan begini memang urusan paling sensitif dalam kajian bilateral, karena sudah menyangkut kedaulatan sebuah negara. Seingat saya konflik yang terjadi di perbatasan dengan Papua New Guinea memang tidak sebanyak konflik dengan Malaysia. Tapi tetap saja ada. βSekitar setahun yang lalu, ada seorang sopir wisata, seperti saya, yang tiba-tiba ditembak saat mengantar tamu ke perbatasan. Pelakunya lari ke arah hutan di perbatasan PNG,β kata Salim.
Setelah memeriksa identitas dan menitipkan KTP, saya pun resmi dperbolehkan masuk ke wilayah PNG. Ada perasaan aneh tentu saja, karena saya memasuki negara lain tanpa passport atau urusan birokrasi kependudukan lainnya. βTapi kalau sudah masuk wilayah PNG tolong jangan keluarkan kamera ya, Dik,β perintah anggota kepolisian yang memeriksa dan menemukan kamera dalam tas saya.
Saya baru tahu, kalau batas antar negara sesederhana ini; dua buah pintu besi geser, satu milik RI satu lagi milik PNG. Diantara kedua pagar itu ada jarak sekitar tiga meter untuk daerah bebas. No authority.
Setiap hari ada begitu banyak orang yang melintasi perbatasan ini. Untuk bertemu sanak famili, berdagang, atau sekedar melancong seperti kami. Di batas kedua negara ada banyak penjual souvenir yang siap menerima mata uang kedua belah negara. Saya melihat ada kaos, kain pantai, topi, mug, asbak, dan segala sesuatu yang dicap dengan bendera PNG. Merah kuning hitam.
Tapi saya tidak tertarik membeli barang-barang tersebut. Saya justru tertarik untuk mencoba kulinernya. Seperti yang saya dengar, produk peternakan di PNG itu jagoan. Sapi dan domba memiliki rasa khas PNG, dan konon rendah lemak, tidak seperti sapi Wagyu yang penuh kolestreol itu.
Akhirnya saya mendatangi kios domba bakar. Jangan imajinasikan kios ini seperti Abuba Steak yang ramai itu. Ini hanyalah sebuah kios sepi dengan penjual wanitanya yang berkaos singlet. Makanannya juga jauh dari perkiraan saya yang istimewa, karena ternyata hanyalah daging domba sekepalan tangan yang dibakar, lalu diberi saus sambal botolan di atasnya.
Tapi hidangan sederhana seharga Rp 30.000,- itu tetap saja kami makan. Saya potong sedikit demi sedikit bergantian dengan Mas Sukma dan Mas Yamin, guide kami. Kami nikmati saja sambil melihat senja di perbatasan. Sedangkan Salim, sang sopir sedang terlelap di balik kemudi mobil. Kecapekan. []












































Komentar Terbanyak
Awal Mula PB XIV Purbaya Gabung Ormas GRIB Jaya dan Jadi Pembina
Fadli Zon Bantah Tudingan Kubu PB XIV Purbaya Lecehkan Adat dan Berat Sebelah
5 Negara yang Melarang Perayaan Natal, Ini Alasannya