Akses jalan menuju ke aliran sungai bisa menggunakan kendaraan roda dua untuk sampai di Penambangan pasir Desa ceruk dimana desa tersebut terdapat juga Wisata alami air terjun yang sangat ramai dikunjung warga Natuna. Aliran air yang sejuk dari kaki gunung Ranai menyusuri anak sungai. Udara pagi dingin serta tiupan angin sepoi melambai. Suasana asri alam dari hutan balik kaki gunung tak mampu menghentikan cucuran peluh mereka mengais pasir. Maklum, tidak sedikit energi yang mereka keluarkan. Memasukkan pasir ke dalam dua buah keranjang dari anyaman rotan, lalu memikulnya dan menurunkan di tepi sungai. Begitu seterusnya.
Sesekali mereka duduk dan menghela napas panjang. Wajah lelah bersimbah peluh seperti bening butiran Kristal bercucur terlihat dari wajah lelaki bernama Saleh (58), saat mengetahui kehadiran podiuminteraktif dia duduk sejenak di pinggiran bibir kali batu cadas, dan mengahampiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Soleh. adalah pendatang. Hijrah dari Jawa, lebih dari lima tahun lalu, dan dia menjalani profesi buruh angkut pasir. Menurutnya, buruh pasir rata-rata adalah orang pendatang. Rakyat kecil seperti kami ini, harus banting tulang untuk mendapatkan sedikit uang untuk menghidupi keluarga, katanya, bukan dalam nada memelas, malah terdengar semangat. Tentu sangat jauh berbeda dengan pata pejabat pemerintahan.
Tetapi tiap orang punya rejekinya sendiri, biar pendapatan kami kecil, kata dia, asal halal. Soleh antusias bercerita soal pekerjaan yang dia tekuni. Namun tak sedikit pula dia memberikan kritik pada penjabat korup. Tampaknya ia gerah dengan akutnya korupsi di negeri ini. Kalau pejabat kan ada yang korupsi hingga miliaran, hidup senang. Tapi itu kan tidak halal ibarat hari ini madu besok bisa berubah menjadi racun .
"Lebih berharga pekerjaan angkut pasir ini, iya, gak, pak?" tegasnya, tapi tetap dalam nada bertanya meminta persetujuan podiuminteraktid, yang kemudian disambut tawa para buruh lainnya.
Penambang pasir Kampung Sedulang Desa Ceruk menyebutkan kandungan pasir sungai di lingkungannya sempat menipis beberapa minggu lalu karena dangkal dan kecilnya badan sungai karena curah hujan tidak turun.
Dalam satu hari, Soleh dan kawan-kawanya bisa mengantongi Rp70 ribu-Rp100 ribu. Itu kalau permintaan pasir cukup banyak terkadang pada musim bulan Juni hingga penghujung tahun di bulan Desember. Kalau orang ramai membangun rumah serta proyek pemerintahan Kabupaten Natuna lagi ada pengerjaan, ya banyak dapat. Tapi kalau sepi, sedikit, kata nya sambil menarik sebatang rokok dan secangkir kopi di tanggan kirinya.
Dalam sehari bisa mengumpulkan sebanyak dua truk pasir berukuran sedang dan dihargai 200 ribu rupiah. Hasil penjualan ini, kemudian dibagi berempat setelah dikurangi jatah untuk juragan pasir. Setidaknya masing-masing penambang bisa mengantongi upah 30 ribu rupiah tiap pertripnya. Namun saat musim kemarau, seakan menjadi ujian berat bagi para penambang. Untuk memenuhi pesanan pasir sebanyak satu truk berukuran sedang saja, mereka dapat memenuhinya dalam waktu semingggu.
Disaat-saat seperti inilah, mereka harus pandai menyiasati hidup, mengatur pengeluaran sebijak mungkin. Waktu terus berjalan, namun Soleh tak pernah lupa akan impiannya, memperbaiki nasib hidupnya. Ia hanya punya satu cara, dengan memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Menurut bapak empat anak yang tinggal tak jauh dari lokasi penambangan, penghasilan yang dia dapatkan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Dapat uang hari ini, ya habis untuk hari ini juga. Bisalah nabung paling Rp20 ribu. Nah, itu juga digunakan untuk bayar listrik, katanya getir.
saya masih bisa menghela nafas karena biaya pendidikan di Natuna serba gratis sehingga tidak terlampau disulitkan beban saya. ujarnya. (Riky Rinovsky)
Komentar Terbanyak
Bangunan yang Dirusak Massa di Sukabumi Itu Villa, Bukan Gereja
Aturan Baru Bagasi Lion Air, Berlaku Mulai 17 Juli 2025
Brasil Ancam Seret Kasus Kematian Juliana ke Jalur Hukum